Nyai Solichah Wahid; Ibu bagi Orang Banyak
Ulama perempuan yang disegani bukan serta-merta karena istri KH. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama Indonesia pertama) sekaligus putri dari Rais Aam PBNU. Tapi memang karena “kesetiannya” pada proses dengan disertai i’tikad keraslah yang mendaulat beliau menjadi perempuan super dari pesantren yang kudu diteladani.

Foto Nyai Sholichah. Sumber: tebuireng.online
Justisia.com – Umumnya kita membahas pemikiran atau “sepak terjang” Gus Dur dalam berbagai posisi setelah Gus Dur berada pada tingkat kematangan, tetapi tidak ada yang membahas bagaimana proses seorang Abdurrahman Wahid kecil beranjak menjadi remaja, lalu tumbuh menjadi dewasa kemudian menjadi seorang manusia yang utuh.
Siapakah yang membesarkan, mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai utama kehidupan yang kemudian dianut oleh Gus Dur?
Seperti yang kebanyakan kita alami, yang mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai utama kehidupan adalah orang tus yakni ayah dan ibu. Beliau menanamkan nilai-nilai utama kehidupan dengan keteladanan, tidak cukup dengan kata-kata. Beliaulah yang membesarkan dan mendidik sampai kita bisa menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan juga terhadap orang lain.
Tak terkecuali bagi Presiden RI ke-4, Abdurrahaman Wahid atau yang kita kenal dengan Gus Dur. Kiranya nama besar beliau beserta pemikiran dan prestasinya yang sampai sekarang masih banyak dikaji tidak lepas dari usaha tirakat ibunya.
Sosok ibunda yang harusnya dalam menelaah dan membaca riwayat Gus Dur tampaknya tidak bisa lepas kita harus menyertakannya, alih-alih bisa dijadikan ibrah dan uswah bagi ibu-ibu zaman sekarang, untuk ditiru dan digugu dalam membina rumah tangga.
Beliau adalah Nyai Solichah binti KH. Bisri Syansuri, atau yang populer dengan sebutan Ibu Wahid, merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat. Ulama perempuan yang disegani bukan serta-merta karena istri KH. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama Indonesia pertama) sekaligus putri dari Rais Aam PBNU. Tapi memang karena “kesetiannya” pada proses dengan disertai i’tikad keraslah yang mendaulat beliau menjadi perempuan super dari pesantren yang kudu diteladani.
Bagi Gus Dur, Ibu – panggilan akrab Gus Dur dan adik-adiknya kepada Nyai Solichah- tidak hanya semata ibu, tetapi juga sahabat bahkan teman curhat. Tidak heran sepanjang masa hidup beliau, tidak sedikit dari orang luar yang tidak hanya berkunjung silaturahmi tetapi juga mencurah-keluhkan masalah mereka, dari masalah pribadi hingga masalah yang menyangkut umat manusia.
Kedewasan dan kepiawaiannya dalam membina hubungan dengan orang banyak begitu tampak tatkala terjun aktif dalam kegiatan Muslimat NU, yang waktu itu bernama NOM (Nahdlatoel Oelama’ Muslimat). Kontribusinya dalam pembentukan ranting-ranting baru dan juga menjadi penceramah dalam pengajian ibu-ibu Muslimat NU.
Tema yang sering diangkat ialah bagaimana ibu-ibu bisa menjadi “Shoolihatun kaamilatun” yang dijabarkan berdasarkan konteks sosio-kultural yang dihadapi saat itu. Kiranya Nyai Sholichah paham betul mengenai kualitas SDM Indonesia, khususnya kaum wanita. Percuma unggul dalam hal kuantitas jika lemah dalam membangun kualitas.
Menurut Umar, adik Gus Dur, Ibu punya rasa kemanusiaan yang tinggi dan mempunyai kemampuan untuk melakukan hubungan antar manusia dalam tingkat tinggi. Semua orang yang kenal dengan Ibu akan merasa bahwa dirinya adalah orang dekat dengan Ibu. Ibu adalah orang yang punya keluwesan dan ketegasan pada saat bersamaan. Bahkan bisa melakukan multiperan dengan sama baiknya.
Suatu waktu beliau akan berperan sebagai kawan yang mendengar kesulitan orang lain dan membantunya. Beliau juga dapat berperan sebagai seorang Ibu yang mendorong anak-anaknya agar mempunyai keberanian yang bertanggung jawab. Sering kali Ibu berperan sebagai seorang guru yang betul-betul patut digugu dan ditiru.
Salah satu kelebihan beliau yang perlu dicatat ialah semangat dan keberaniannya dalam menghadapi tantangan kehidupan. Ketika KH. Wahid Hasyim wafat, beliau masih berusia sangat muda. Pendidikan formal yang beliau jalani hanyalah Madrasah Tsanawiyyah (setingkat SMP), tetapi beliau tidak merasa rendah diri atau takut menghadapi tantangan hidup untuk membesarkan enam orang anak yang masih kecil-kecil.
Ibu menanamkan nilai-nilai kehidupan tidak hanya melalui kata-kata, tidak hanya secara verbal belaka. Beliau juga melaksanakannya di dalam kehidupan nyata, sehingga dapat dengan mudah dipahami dan dihayati. Kiranya ada beberapa nilai yang perlu kita teladani dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Meniru gaya tarbiyah (pendidikan) dan tahdib (pengajaran) Nyai Solichah dalam mendidik anak-anaknya.
Nilai pertama ialah kejujuran dalam arti luas, termasuk jujur terhadap diri sendiri. Sejauh mana nilai kejujuran itu dapat kami serap tentunya tergantung pada diri masing-masing. Jelas bahwa tidak ada orang yang seratus persen jujur. Termasuk dalam pengertian jujur ialah sikap konsisten (istiqomah) dan sikap konsekuen yaitu satunya kata dengan perbuatan. Keselarasaan antara ucapan kita dengan perbuatan kita.
Nilai kedua ialah keberanian untuk bersikap, keberanian untuk menyampaikan pendapat kita tentang sesuatu dalam meyakini hal itu benar. Tentunya dalam menyampaikan pendapat itu harus melihat cara dan saat yang tepat, dengan kata dan kalimat yang baik. Selaras dengan hal di atas ialah menjauhi sikap oportunis (cari selamat). Perlu dipahami bahwa terkadang sulit untuk membedakan antara sikap (terlalu) hati-hati dengan sikap oportunis.
Termasuk dalam kategori keberanian ialah keberanian untuk memikul tanggung jawab. Tidak boleh lari dari sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita dan menimpakannya kepada orang lain. Juga keberanian dalam mengakui kesalahan dan meminta maaf serta mawas diri dan menjauhi sikap ngotot jika memang kita terbukti salah.
Nilai ketiga ialah egaliter, tidak memandang orang dari kaya atau miskin, orang berpangkat atau tidak, orang pandai atau tidak. Ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang mengatakan bahwa di mata Allah Swt. yang membedakan orang hanyalah ketakwaannya. Senafas dengan nilai itu ialah tidak bersikap sombong serta tidak merendahkan orang lain. Menghargai orang lain dan juga menghargai pendapat orang lain.
Membaca sekilas riwayat Nyai Solichah A. Wahid Hasyim menggugah kesadaran bersama. Betapa tokoh perempuan pesantren ini layak untuk diteladani. Keadaan yang tidak “bersahabat”, tidak membuat Nyai Solichah A. Wahid Hasyim patah semangat. Justru, keadaan yang banyak membatasi berimbas mendaulat beliau menjadi perempuan pesantren yang hebat dan tangguh “Perempuan Super dari Pesantren”.[Red.Hikmah]