Solidaritas Rakyat Di Musim Pandemi Wujud Hidupnya Rasa Empati

Justisia.com – Sejak diumumkan ada dua WNI yang terjangkit corona oleh Presiden RI Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Pemerintahpun selanjutnya menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana berskala nasional pada 14 maret 2020. Penetapan tersebut berbuntut pada pemberlakuan kebijakan social distancing, atau dengan sederhana kita mengenal istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dengan begitu bekerja pun dilakukan dengan cara WFH (Work From Home).
Imbas dari wabah pandemi Covid-19 yang berujung dengan kebijakan physical distancing, telah mendompleng perekonomian tidak hanya tingkat nasional tetapi hingga global. Kehidupan sehari-hari di masyarakat perlahan berbalik 180 derajat, dikarenakan pendapatan mulai menurun tajam.
Kerugian yang dialami oleh masyarakat perekonomian menengah ke bawah semakin dirasa tatkala banyak sekali kasus PHK di berbagai perusahaan. Melansir dari detik.com (30/04) sekitar 45000 buruh di Jawa tengah mengalami PHK akibat Covid-19. Ini berdasarkan penuturan dari gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Memang tidak hanya di Jawa Tengah saja, hampir di seluruh Indonesia banyak sekali Perusahaan yang merumahkan atau bahkan mem-PHK buruhnya.
Menyusul dari adanya kasus PHK besar-besaran tersebut, penerapan karantina wilayah dan juga WFH (Work From Home) tidak dipatuhi oleh semua pihak. Pasalnya, tidak semua masyarakat Indonesia adalah pekerja kantoran dan masih banyak juga masyarakat yang bermata pencaharian informal serta berpenghasilan harian.
Pemberlakuan social distancing juga WFH memang tidak bisa dipaksakan ke semua pihak. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa semua masyarakat membutuhkan bahan pokok untuk keberlangsungan hidup. Di lain sisi belum tentu mereka memiliki pendapatan yang sama seperti sebelum adanya pandemi, bahkan bisa jadi tidak ada pendapatan sama sekali.
Tidak cukup dalam persoalan ekonomi, masyarakat juga semakin dipelintir keresahan dengan kesehatan yang kurang terjamin menghadapi wabah Covid-19. Tidak lain seperti sulitnya mendapat masker ataupun handsanitizer bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang terpaksa turun ke jalan atau lapangan untuk bekerja.
Kegelisahan perihal jaminan kesehatan juga dialami oleh para tenaga medis. Sulitnya mendapatkan APD (Alat Perlindungan Diri) menjadi penghambat bagi para tenaga medis untuk menangani pasien positif corona.
Perlu ditekankan kembali bahwasannya hak untuk hidup merupakan hak setiap orang begitupun hak untuk mendapat jaminan kesehatan. Hak tersebut secara pasti telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 A untuk hak hidup dan pasal 28 H untuk hak atas kesehatan.
Dalam situasi pandemi seperti ini setiap orang tetap dijamin hak atas keberlangsungan hidup, ini berarti negara harus tetap menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya, terlebih lagi masyarakat dengan kelas perekonomian bawah. Selain itu Negara juga harus memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat tanpa memandang kelas, ras, ataupun agama tertentu. Seperti halnya memudahkan masyarakat untuk mendapat masker dan handsanitizer.
Kelangkaan masker maupun handsanitizer yang pernah terjadi di berbagai wilayah semestinya menjadi bahan evaluasi dari berbagai pihak terutama pemerintah karena hal tersebut menyangkut hak untuk sehat bahkan hak untuk hidup setiap warga negara.
Aksi Solidaritas dan Social Media Campaign
Pandemi Covid-19 sangat berengaruh dengan aktivitas sehari-hari. Masih teringat bagaimana sebelum adanya pandemi rebahan menjadi satu bentuk kegiatan yang terhina. Namun, disaat pandemi seperti ini menjalani aktivitas rebahan seperti diharuskan. Rebahan disini punya arti lain yaitu menjalani aktivitas sehari-hari dengan cara online. Mulai dari sekolah atau kuliah, kerja, rapat diskusi semua dilakukan dengan cara online.
Mengalihkan aktivitas dari dunia nyata ke dunia maya tentu membutuhkan adaptasi baru. Namun yang menarik disini, ditengah situasi pandemi masyarakat dengan rasa empatinya justru berondong-bondong menggelar aksi solidaritas melalui media.
Menurut Sofia dalam tulisannya di ibtimes.id (13/04), fenomena masyarakat jaringan ini memungkinkan adanya kelompok sosial yang melakukan aktifitas di media digital mampu membentuk partisipasi digital melalui postingan di media sosial terkait fenomena sosial yang terjadi selama krisis wabah pandemi Covid-19.
Partisipasi digital yang dimaksud merupakan tindakan komunikasi digital sebagai bentuk mobilisasi dan selaras dengan partisipasi permasalahan social. Apabila dikaitkan dengan pandemi saat ini maka masyarakat telah sadar untuk bersolidaritas melalui media sosial.
Solidaritas digital ini termasuk dalam tindakan kolektif. Di samping itu aksi solidaritas digital membentuk connective action, yang mana disini terbentuk pola partisipasi individual yang terhubung di media digital. Seperti halnya dalam penggunaan tagar ataupun hashtag yang diviralkan di sosial media mampu menggiring opini ke arah kesadaran isu yang dibangun kemudian timbulkan ajakan untuk berpartisipasi menyikapi isu permasalahan yang terjadi.
Rakyat Sigap Bergerak di Luar Kebijakan
Merespon dari lambannya pemerintah menanggapi wabah Covid-19, tidak heran jika akhirnya masyarakat melakukan aksi solidaritas secara virtual. Melansir dari The Conversation (4/05), menurut Fina Itriyati selaku dosen departemen sosiologi FISIP UGM ketidakpastian pemerintah menjadi basis atau dasar pengambilan keputusan masyarakat. Alasan tidak adanya informasi yang jelas terhadap cara melakukan proteksi diri di tengah pandemi menjadikan masyarakat mengambil inisiasi spontan.
Disamping itu berdasarkan survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada 17 april 2020 Mayoritas (52%) warga menganggap pemerintah pusat cepat menangani wabah Corona, sementara 41% menganggap lambat. Terdapat perbedaan antar provinsi. Sementara mayoritas warga Jawa Tengah (61%) dan Jawa Timur (61%) menganggap langkah pemerintah pusat cepat; di Jawa Barat hanya 41% warga menganggap pemerintah pusat bekerja cepat.
Meskipun dari data tersebut terlihat lebih banyak masyarakat yang menggap pemerintah pusat lebih cepat menanggapi corona bukan berarti kesigapan pemerintah dapat dirasakan oleh semua pihak. Terkhusus bagi masyarakat yang bekerja informal dan mengandalkan pendapatan harian. Respon dari tidak meratanya edukasi, informasi kepada kelompok rentan akhirnya menimbulkan kesadaran dikalangan masyarakat untuk melakukan aksi solidaritas.
Kesadaran berempati oleh masyarakat bisa juga dikarenakan budaya di lingkungan kita yang masih menjunjung tinggi gotong royong. Aksi solidaritas di tengah pandemi seperti ini bisa semakin diperkuat dengan adanya peran dari tokoh agama maupun LSM. Solidaritas sosial harus selalu dibangun antar komponen. Rasa peduli antar sesama dan pengalaman masa lalu dalam mengelola bencana di Indonesia membuat insting masyarakat atau lembaga swadaya spontan membuat gerakan mandiri untuk saling tolong menolong.
Pemerintah memang tidak bisa bergerak sendiri, namun keterlibatan masyarakat dalam gerakan saling peduli tidak begitu saja melupakan tanggung jawab pemerintah. Kekuatan masyarakat adalah kekuatan akar rumput untuk membantu kelompok-kelompok rentan yang tidak terjamah oleh pemerintah menghadapi wabah ini. Kekuatan masyarakat yang timbul justru tidak melihat strata kelas sosial. Mahasiswa, pekerja informal, tokoh agama dan lainnya justru bisa saling merasakan pentingnya berempati di situasi seperti ini.
Bisa kita lihat sendiri banyaknya aksi solidaritas yang dilakukan masyarakat di tengah pandemi, seperti aksi solidaritas melalui konser virtual, penggalangan dana dari komunitas tertentu yang memang focus dalam aksi sosial, atau bahkan aksi solidaritas spontan yang dilakukan oleh para influencer. Contoh tersebut sangat melibatkan banyak kalangan dan pemuda bisa menjadi penggerak utama dalam aksi ini. Kepeduilan seperti ini memang harus dikelola, pemerintah dan masyarakat harus seirama sehingga perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat agar pembagian bantuan bisa tepat sasaran.
Penulis: Salwa Nida
Editor: Nur Hikmah