Sikap Kang Santri, Soal Nasionalisme atau Fanatisme Fasistik?
sumber foto: nu.online

Oleh: Rusda Khoiruz
Justisia.com – Suata kala, saya pernah mendapat teguran bernada agak sarkas dari seorang teman lama yang beberapa tahun terakhir tepatnya 4 tahunan nggak ketemu, hanya perkara postingan story wa.
Pada mulamya, sih, sekedar basa-basi “Bro, sehat ta?”. Wajar saja saya sempat girang bukan kepalang sebab tumben-kecuali hari raya, ngechat. Kalimat (Bro, sehat ta?) itu ia kirim sekalian menimpali story yang baru sepersekian putaran jarum jam panjang berputar saya post.
Usut punya usut, belum sempat ia menjawab pertanyaan saya “pye kabare awakmu sekeluarga? (Bagaimana kabar kamu sekeluarga?)”. Ia cekatan menimpali, “karuan bahtsul masa’il kang, ceto saksumber e! (Mendingan bahtsup masa’il saja, kang, sumbernya jelas!)”. Sekali lagi, ini hanya soal story wa, saya dibikin tratapan. Persis setelah ia bilang begitu, tanpa pikir panjang saya bergegas memetakan akan ke mana arah polemik bermuara, sekaligus ancang-ancang menyiapkan pilihan kalimat toyyibah yang cocok.
Story yang saya pampang itu sebetulnya cuman sekedar pamflet diskusi. Nggak perlu saya sebutkan apa diskusinya, yang jelas, bagi seorang santri tulen, hanya dengan sekelebatan membacanya saja tentu sudah cukup membuat gusar jiwa nasionalismenya. Prinsip mereka, kan, NKRI Harga Mati!? Sedangkan yang akan kami bahas, kurang-lebih, mengkritisi kebijakan wakil rakyat yang seringkali hanya dengan mendengarnya saja kalau nggak bikin pingin misuh ya ngajak gelut!
Sudah tahu, kan, di mana letak perbedaan pandangan kami?
“Ojo nang njero pondok wae kang (utek e), ben weruh kehidupan nang njobo (jangan hanya di pondok saja, kang, otaknya, supaya tahu bagaimana kondisi di luar)” timpal saya.
“Lah yo, kabeh lak wes ono nak keterangan kitab, tinggal gimana kita mengaplikasikannya, kok repot amat koyok e ngadepi urip! Mbontah-mbantah pemerintah wae!? (Makannya, semua kan sudah ada keterangannya dalam kitab (kuning) tinggal bagaimana kita mengaplikasikannya, kok kayaknya repot amat kamu menghadapi hidup! Membangkang pemerintah terus!?” balasnya.
Skip. Percakapan di bawah terdapat sekian kalimat toyyibah, jadi nggak perlu sekalian saya tampilkan di sini.
Dari sini, apa poin yang bisa saya kuliti cum bisa diambil hikmahnya?
Tepat sekali, permasalahan nasionalisme-bila enggan menyebutnya fanatisme-salah kaprah yang berkembang sebegitu menjalar pada sebagian nalar-nalar kaum muda saat ini. Iya, mengkhawatirkan bagi tumbuh kembang kesehatan wacana dalam demokrasi.
Sebetulnya banyak sekali wujud pandangan kompromistik senada. Daripada memilih jalan terjal untuk memperjuangkan hak, mengkritik, misalkan. Hanya saja, jarang muncul ke permukaan karena-mungkin-para pendaku nasionalisme seperti kasus teman saya di atas, lebih memilih sikap apologetik dan hanya perlu mengeluarkannya sebagai senjata pamungkas ketika ada yang berani-berani menghina pemerintah (red; wakil rakyat. Saya enggan menyebut pemerintah karena sudah salah kaprah sejak definisinya).
Baik, begini. Pertama, konsekuensi logis pandangan teman saya tadi boleh dikatakan nasionalisme fanatis yang menjelma ke bentuk fasisme. Bahkan kata George Orwell; nasionalisme seringkali hanyalah fasisme dengan nama berbeda. Keduanya sama-sama bernafsu menghajar siapa pun yang tak sependapat dengan negara. Dan benar saja, saya telah menemukan contohnya.
Meski teman saya berdalih back to kitab kuning an sich, tapi secara tidak sadar ia hendak menafikan suara lain (pengetahuan) yang dianggapnya bising. Konotasinya memang tidak jauh beda dengan kelompok-kelompok lain penggebuk suara kritis. Hanya saja diksinya terdengar lebih soft and smoot.
Padahal, kalaupun mau, berbekal khazanah turats yang mereka kuasai, bisa saja kemudian mereka merumuskan pandangan atau sikap keagamaan sesuai kenyataan kontemporer di bawah cengkraman kapitalisme! Seperti yang dilakukan K.H A Sahal Mahfudz merumuskan Fiqh Sosialnya tempo hari, mengkontekstualisasi fiqh agar dapat menjawab tantangan zaman. Namun lagi-lagi, simpul itu belum terlihat. Ah, sudahlah. Terlalu panjang kalau dibahas di sini.
Kedua, pandangan fasistik demikian juga merembet ke pemahaman mereka (pandangan nasionalisme fanatis) atas negara. Kalau boleh saya balik bertanya, “berarti kalian nggak mengakui entitas negara (beserta wakil rakyatnya; presiden, DPR, dst) sebagai institusi penegak keadilan dan kesejahteraan?” kami sebagai rakyat menuntut mereka melaksanakan titahnya. Yang bertugas menjamin kehidupan sosial berkeadilan-berkesejahteraan secara hirearkis, ya, negara (beserta wakil rakyat). bukan kita (rakyat sipil). Artinya, ketika mereka berjalan tidak sesuai amanat konstitusi, apa salahnya kita (rakyat/santri) mengkritik?
Posisi negara sejak zaman Sukarno masih sugeng adalah penjamin urusan publik, bukan penyelenggara hajatan, do’a, atau galang dana!
Mereka juga gagal memahami bahwa negara dan wakil rakyat itu merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Negara itu akan tetap ada meski wakil rakyat silih berganti. Mengkritik wakil rakyat bukan berarti hendak menggungat/makar atas negara. Tapi lebih dari itu, yakni mengoreksi bahkan kalau perlu ada reformasi jilid II; revolusi. Sebab, para wakil rakyat sembrono itu juga telah mengacak-ngacak sistem (UU, kebijakan, peraturan, dsb) kita.
Implikasi Logical fallacy demikian bukan main-main. Bisa jadi suatu saat, bukan kita bersatu untuk melawan kesewenang-wenangan para wakil rakyat, malah, bisa saja rakyat (Fanatis) vis a vis rakyat (kritis). Yang tepuk tangan siapa coba? Mbok ya dipikir sejenak.
Ketiga, saya teringat uraian Gus Roy dalam satu sesi diskusi tentang akhlak dan perlawanan, diterangkan bahwa dalam Q.S An-Nisa ayat 59, kepatuhan terhadap ulil amri (wakil rakyat) itu tidak mutlak, tetapi bersyarat (http://indoprogress.com,08/11/2019). Menurutnya, kewajiban patuh kepada ulil amri itu jika ulil amri itu benar-benar dari rakyat dan untuk rakyat, bukan Oligarki. Monggo linknya https://indoprogress.com/2019/11/akhlak-dan-perlawanan/.
Faktanya, ketimpangan sosio-ekonomi-politik, pokoknya ketimpangan multi dimensional, lah, bermula karena kekuasaan-termasuk kekayaan-hanya dikuasi sedikit orang. Merujuk pada data yang ada, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan penduduk. Itu semua mustahil terjadi bilamana wakil rakyat kita tegas, berani, adil dst dst dst terhadap intoleransi (sosial, ekonomi, politik dsb) di negara yang selalu kalian dengung-dengungkan seharga nyawa kalian; harga mati!
Lantas, apa cara pikir kaum sarungan-juga pemuda sekarang-hanya begini-begini saja. Yakin nggak mau berkenalan dengan dunia luar? Eh, kenyataan. Mari diskusikan.