Tumpuan Harapan Masyarakat, RUU PKS Tidak Diprioritaskan
Sumber foto: wijatnikaika.id

Justisia.com – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sudah masuk dalam prolegnas prioritas 2020 dan memberikan satu titik terang tersendiri bagi setidaknya 5.327 kasus kekerasan seksual setiap tahunnya di Indonesia (menurut data kriminal Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018) ternyata mangkrak lagi. Bahkan Komisi VIII DPR-RI pada Maret lalu justru berencana mencabut RUU ini dari Prolegnas prioritas 2020.
RUU PKS sudah seyogyanya menjadi tumpuan harapan bagi setiap warga negara karena siapapun memiliki resiko menjadi penyintas kekerasan seksual tanpa pandang bulu.
Kaum perempuan yang kerap menyandang predikat sebagai golongan yang lemah sudah barang tentu menjadi sasaran empuk bagi ironi yang semakin merajalela ini. Namun, bukan berarti laki-laki dapat terbebas dari ancaman kekerasan seksual. Bahkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat pada 2018 kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Selain perempuan sebagai golongan yang paling terpinggrikan dan terdiskriminasi, penyintas disabilitas juga tak kalah terancam dalam urusan kekerasan seksual. Keterbatasannya dalam membela diri mau tidak mau membuka ruang lebih besar untuk merasakan dampak kekerasan seksual. Pun dengan anak-anak sebagai golongan yang kerap menggantungkan banyak hal pada orang dewasa menjadikannya kerap dirundung aksi kekerasan seksual dari berbagai arah. Sebagaimana catatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bahwa kekerasan terhadap anak kian meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa kelompok tersebut hanya cerminan betapa kekerasan seksual sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia yang menyandang predikat sebagai negara penjunjung adat-adat ketimuran. Di luar itu, kita semua pada dasarnya merupakan kandidat calon penyintas kekerasan seksual tanpa kita sendiri sadari. Fakta-fakta yang tertuang di atas menunjukkan tidak ada satu pun warga negara yang benar-benar aman dari ancaman kekerasan seksual. Kejahatan tersebut sudah merebak pada setiap sudut kehidupan sosial, bahkan sudah dianggap bukan rahasia umum lagi.
Ironisnya, Undang-undang mengenai kekerasan seksual sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 281 hingga 301 belum mengakomodir secara utuh kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, dan justru menjadi alasan 90 persen kasus kekerasan seksual tidak dapat diteruskan ke pengadilan sebagaimana dilansir oleh Tempo.Co.
Adanya RUU PKS menjadi harapan tersendiri untuk memberikan perlawanan lebih masif dan membangkitkan keadilan substansial bagi seluruh korban kekerasan seksual di Indonesia. Cakupan RUU PKS yang tidak hanya terbatas pada pelanggaran-pelanggaran tertentu sebagaimana tertuang dalam Undang-undang mengenai kekerasan seksual, namun merambah hingga ke akar-akar pelanggaran serta payung hukum yang lebih luas mencakup pencegahan, penanganan, dan perlindungan perlu digarisbawahi sebagai alasan kuat RUU ini harus ditindaklanjuti.
Oleh: Ike Maya Sari