RUU Cilaka : Mencelakakan Hak Perempuan

Semarang, justisia.com-Jum’at (31/01), Pembahasan mengenai rencana pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) tidak hanya terbatas pada sudut pandang dari segi lingkungan hidup ataupun keadilan bagi buruh secara umum. Hal ini juga menyangkut dengan perlindungan hak asasi yang melekat pada diri perempuan.
Seperti yang disampaikan oleh Hilya, perwakilan aktivis muda bersuara saat menjadi narasumber dalam acara Diskusi Publik bertajuk “Reformasi Dikorupsi, Omnibus Law Karpet Merah Oligarki” di UNISULA Semarang.
Hilya mengatakan hak-hak buruh perempuan yang telah tercantum dalam UU Ketenagakerjaan saat ini meliputi hak kesetaraan upah, hak cuti haid, hak mendapatkan upah ketika haid, hak menyusui ketika bekerja, hak cuti hamil dan melahirkan, hak paska keguguran, serta adanya aturan jam kerja malam bagi perempuan belum diterapkan dengan baik.
Salah satunya dapat ditakar melalui fenomena dalam buruh garmen di KBN Cakung yang memprioritaskan kaum perempuan sebagai penggerak industri tetapi secara sporadis mengabaikan hak untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Kemudian pemerintah justru membuat RUU Cilaka yang tidak menempatkan hak-hak perempuan dengan semestinya.
Hilya menyampaikan ada beberapa alasan mengenai penolakan terhadap RUU Cilaka ini:
Yang Pertama Tidak Ada Jaminan Mengenai Masalah Keamanan Terhadap Pekerja Perempuan.
Dalam Pasal 5 RUU Cilaka menyebutkan “Resiko adalah potensi terjadinya suatu dampak kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan, dan/atau dampak lain yang ditimbulkan oleh suatu usaha .” Dalam Pasal 5 Ayat 4 RUU Cilaka menjelaskan nilai resiko kegiatan meliputi aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan, dan pelestarian SDA. Resiko-resiko tersebut terbagi dalam klaster resiko rendah, sedang, dan tinggi. Sedangkan keamanan dalam UU sebelumnya terdapat dalam pasal 76 Ayat 3 “Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja” dalam bab tentang perempuan.
Kedua, Tidak Ada Hak Cuti Khusus Bagi Perempuan
Dalam RUU Cilaka Pasal 447 mengatur tentang kewajiban membayar pesangon pemutusan hubungan kerja di ayat 4 berbunyi : “Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi; cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur” konteksnya mengatur tentang pemutusan hak pekerja, bukan sebagai pemenuhan hak pekerja. RUU ini tidak mengatur adanya cuti haid, kehamilan, melahirkan, dan keguguran. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan mengatur tentang hak-hak tersebut.
Ketiga, Tidak Ada Hak Menyusui Anak bagi Perempuan Ketika Bekerja
Hal ini diatur pada Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Pekerja/buruh perempuan yang anak masih menyusui harus diberi kesempatan untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Keempat, Sistem Kerja Kontrak (Outsourcing) Sangat Merugikan bagi Perempuan
Pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing dalam RUU Cilaka Pasal 440-442 memiliki kesamaan dengan UU Ketenagakerjaan Pasal 64-66 yang menyatakan bahwa buruh perempuan digaji ketika melakukan aktivitas produksi. Sistem ini memudahkan menerima pekerja sekaligus memutus hubungan kerja (easy hiring easy Filtring)
Dan yang terakhir, RUU Cilaka Memposisikan Perempuan Rentan terhadap Kekerasan Seksual
RUU ini tidak memberikan jaminan keamanan terhadap perempuan saat bekerja terutama pada waktu lembur. Selain itu, kemudahan investor melakukan investasi besar-besaran yang merusak lingkungan akan memungkinkan terjadinya bencana ekologis besar-besaran. Di tempat pengungsian, perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Penulis: Sabil
Editor: Nur Hikmah