Puasa yang Tidak Boleh Ditawar: Kritik Atas Tulisan “Mengganti Puasa Secara Kolektif”

foto: suara.com

Topik tentang memahami kaidah fiqih dan ushul fiqih senantiasa mengundang perhatian. Membahasnya bisa mengundang keseruan tersendiri.

Oleh: Abdullah Faiz

Justisia.com – Hal ini disebabkan bahwa hampir semua perubahan dan pembaharuan hukum Islam dimulai dari upaya utak atik gatuk dari topik ini. Artinya bagaimana kita bisa mengolah dasar hukum Islam melalui teori yang dikemas dalam disiplin ilmu ushul fiqih dan beberapa kaidah fiqih.

Tentu saja ini sangat membantu para ulama dan cendekiawan dalam menggali hukum. Apalagi di musim pandemik seperti ini, banyak persoalan baru yang sifatnya amaliyah membutuhkan jawaban hukum. Contoh kecilnya, sholat Jumat yang harus diganti dengan sholat dzuhur.

Tulisan ini sebuah kritik terhadap essay i.a.w (Ketua Tim Penyusun Kurikulum STID al-Hadid) tentang “Mengganti Puasa Secara Kolektif”. Sebelumnya saya ingin sampaikan bahwa kritik ini tidak bermaksud meluruskan. Kedua, saya ingin menyampaikan bahwa keterangan dalam essay tersebut sudah bagus dan  bahasa yang digunakan santai sehingga tidak melelahkan saat dibaca. Ketiga, pemikiran seperti ini harus diapresiasi sebagai bentuk keluasan ilmu keislaman.

Namun dalam tulisan tersebut ada beberapa hal yang saya kurang sependapat. Salah satunya mengenai pemindahan atau mengganti  puasa secara kolektif (dilaksanakan di bulan lain) dengan pertimbangan yang sifatnya hanya mementingkan substansi. Hemat saya, kajian seperti ini perlu dilihat konteks epistemologinya, kemudian untuk siapa dan di mana ruang lingkup aksiologinya sehingga hasilnya bisa berimbang.

Kewajiban Yang Bersifat Mutlak

Masyarakat Muslim Indonesia yang multikultural tidak semuanya mengalami kondisi yang sama, oleh karena itu tidak bisa dipukul rata dengan argumentasi puasa kolektif. Dalam kajian ushul fiqih ada beberapa ibadah yang sifatnya ma’lumun minaddini bi ad-dharuroh bisa diartikan ibadah yang berstatus kewajiban final atau mengandung maslahah primer dalam Islam memiliki komponen prosedur yang sangat ketat, seperti menjalani ibadah puasa Ramadhan, mengerjakan sholat dan menunaikan ibadah haji.

Ibadah tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada, contohnya sholat dzuhur wajib dilaksanakan pada waktu dzuhur atau tergelincirnya matahari, jadi apabila waktu sholat dzuhur belum masuk maka tidak tidak ada kewajiban melakukan sholat, begitupun puasa Ramadhan dan haji. Akan tetapi dalam pembahasan haji akan saya perinci kembali di bagian akhir. Lantas pembahasan ini diolah dalam ilmu fiqih menjadi syarat sah melaksanakan ibadah.

Al-ibadah muaqqadatun bi waqtin tafutu bi fawati waqtiha illa min udzur

Ibadah yang waktunya telah ditetapkan itu akan habis mengiringi waktuya kecuali terdapat udzur.

Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, apakah hal tersebut bisa dijadikan alasan atau illatul hukmi untuk mengganti puasa secara kolektif? Pembahasan ini masuk dalam lingkup kajian kaidah fiqih tentang mafsadah, mahdhuroh, atau masyaqqoh (kesukaran).

Dalam suatu keterangan kita diperbolehkan meninggalkan sebuah kewajiban atau melakukan sesuatu yang asalnya dilarang dengan alasan mafsadah atau dharurat, namun ada penjelasan lebih lanjut mengenai batasan, yaitu ketika mafsadah sudah diketahui secara jelas (ma’lumun hayyan) dan tidak bisa dikendalikan lagi, seperti kasus kelaparan yang kondisinya mendekati kematian (dharurat/mafsadah), pengalaman orang seperti ini diperbolehkan mengkonsumsi bangkai yang awalnya dalam Islam dihukumi haram.

Kasus demikian tentu saja alasan hukum (illat) dan kebutuhanya (hajat) terjadi bersama’an, berbeda dengan kasus kekhawatiran penularan dibulan Ramadhan mendatang yang masih bersifat peraduga (wahm) bahkan belum sampai prasangka (dzonni) apalagi pada tingkat keyakinan (ma’lumun muayyanun) sedangkan melaksanakan puasa Ramadhan itu sifatnya maslahah primer (dloruriyah) sehingga mafsadah itu belum mampu mengubahnya.

Di sini saya memakai sudut pandang hukum Islam demi kepentingan kemaslahatan banyak orang. Pembahasan mafsadah atau dhorurat itu berlaku bagi perindividu seorang muslim bukan untuk ummat muslim secara kelompok (komunal). Artinya bagi seorang muslim diperbolehkan tidak melakukan puasa ketika terdapat udzur tertentu kemudian menggantinya (qodho) di lain waktu, bukan semua ummat Islam harus melakukan bersama. Pada intinya tidak bisa semua ummat muslim disamaratakan untuk mengganti puasa secara kolektif.

Subtansi Puasa vs Ta’abbud Puasa

Kajian hukum Islam bila didasarkan pada nilai substansi akan menimbulkan ketimpangan yang berlipat dan waktunya tidak akan beraturan, seperti sholat fardu, apabila kita hanya melihat nilai substansinya saja maka tidak akan teratur. Bahkan tidak akan ada istilah qodho. Dalam hal ini saya kurang sependapat karena meskipun substansi puasa bisa dilakukan di lain waktu tetapi unsur nilai kepatuhan (ta’abbud) itu lebih diutamakan. 

Saya analogikan semitsal madzhab Maliki menghukumi anjing tidak najis namun hukum membasuh tujuh kali basuhan tetap wajib,  padahal substansinya kan tidak. Contoh lain seperti perempuan yang menjalani masa iddah, apabila dilihat substansinya tujuannya adalah membersihkan rahim (baroaturrahmi) meskipun ketika diperiksa lewat medis rahimnya dinyatakan bersih,  namun tetap saja diwajibkan menjalani masa iddah sampai batas waktu yang ditentukan, sebab terdapat nilai kepatuhan (ta’abbud) yang sangat diutamakan.

Udzur Pandemi dan Kemanusiaan

Allah SWT tidak memberikan tugas kepada manusia melebihi kadar kemampuannya. Di tengah pandemi ini kita dibingungkan dengan yang sulit dan tidak pasti. Sehingga hal tersebut akan berdampak pada cara beribadah kita, namun agama tidak kehabisan solusi. Menghindari pendemi ini, beberapa masjid tidak digunakan untuk melaksanakan sholat jumat. Sebagai gantinya, diperintahkan menunaikan sholat dhuhur yang dilakukan di rumah masing masing. Perintah tersebut dalam kondisi seperti ini sejalan dengan cita cita Maqoshid Syariah yaitu hifz an-nafs.

Begitu juga ibadah haji, biarpun haji termasuk ibadah yang bersifat primer (dloruri) namun pertimbangan keamanan dalam bepergian sangat diperhatikan dalam hukum Islam, Sehingga haji bisa saja tidak dihukumi wajib lagi di masa pandemi karena tidak memenuhi syarat. Seperti anda mempunyai biaya untuk naik haji tetapi keamanan terganggu maka jangan pergi haji, sebab unsur “mampu” dalam syarat haji itu mencakup keamanan di perjalanan.

Sampai di sini saya hanya menyampaikan bahwa alasan atau pertimbangan mengganti puasa secara kolektif di bulan lain belum memenuhi prosedur yang tepat. Karena melihat Ibadah puasa yang bersifat ma’lumun min ad-dini bi ad-dharuroh artinya tetap melaksanakan puasa seperti biasa bagi yang sehat. Apabila ada sebagian tidak bisa melakukan puasa di bulan Ramadhan dengan udzur tertentu maka diperbolehkan dengan konsekuensi mengqodho.

Sedangkan serangkaian acara kebersamaan di bulan Ramadhan boleh ditiadakan, seperti Sholat Tarawih, Buka bersama dan lainnya. Dalam hal ini tentu harus bisa membangun solidaritas yang sangat kuat antara ulama, umaro dan masyarakat saling menjaga dan melindungi. Tentu saja ini bukan alasan yang bisa menjadi ukuran untuk memindahkan puasa dibulan lain. Karena sejauh ini masih bisa dikendalikan asalkan pemerintah lebih tegas lagi dan masyarakaat diberi edukasi yang memadai agar lebih patuh terhadap  pemerintah.

Bila kita berfikir kembali, justru dengan berpuasa akan lebih lamban penyebaran virus. Sebab, puasa memiliki manfaat dari perspektif kesehatan. Sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad yaitu :

(Shumu tashihhu)
“berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat”.

Hal demikian tidak hanya teori saja, namun sudah dibuktikan secara ilmiah. Apabila hal ini dilakukan di masa pandemik maka sangat membantu pemerintah dalam meminimalisir pergerakan manusia di waktu siang. Okelah kita bisa usul kepada pemerintah untuk lebih tegas dan memberikan edukasi serta meniadakan segala seremonial kebersamaan di bulan puasa tanpa menggantikan puasa secara kolektif,  tentunya anjuran itu nantinya diberlakukan  untuk semua ummat muslim.

Ya kurang lebih begitu, perbedaan pendapat dalam dunia akademis sudah biasa asalkan masing masing dikuatkan dengan dasar yang jelas. Ada satu ayat yang cukup menarik, bagi saya ini sangat menginspirasi

“Dan seandainya kebenaran itu harus menuruti keinginan manusia, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada didalamnya” (QS. Al-Mu’minun:71)

Manusia adalah makhluk yang dibekali akal untuk membedakan dengan makhluk lainya, sehingga bisa bebas memutar segala hal yang ada di bumi ini namun sayangnya akal selalu menjadi dewa dan sering kali melupakan ajaran yang bersifat naqli

Wallahu a’lam bisshowab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *