Nasib Seorang Buruh
Sumber foto: MalangTIMES

Oleh: Alvin
Justisia.com – Orang-orang kampung biasa memanggilku Supin. Anak dari seorang kyai dan juga pemilik toko meuble yang di segani. Ketika lewat, orang-orang memanggilnya BOS YAI. Sebab begitu tingginya derajat orang tuaku di masyarakat. Namun, dengan keadaan orang tuaku yang serba berkecukupan, aku lebih memilih meninggalkan bangku kuliah untuk menjadi seorang buruh pabrik yang setiap harinya hanyalah babu dari orang-orang pendatang.
Embun selalu menutupi fajar sebelum matahari terbit. Begitupula pekerjaanku yang tiada henti, bagai menutupi kebahagiaan seorang buruh pabrik. Kehidupan saat ini seakan telah mati akan warna-warni dunia. Semua nampak abu-abu, apalagi nasib seorang buruh pabrik yang keseharianya hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja.
“Supin bangun sudah adzan subuh.” suara itu biasa aku dengar setiap pagi. siapa lagi kalau bukan ibuku,
“iya bu..” Akupun beranjak dari kasur yang serba putih. Bergegas wudhu lalu menunaikan sholat. Ayahku seperti biasa, ia lebih dahulu berangkat ke masjid, karena ayahlah yang selau menjadi imam sholatnya.
Setelah sholat subuh, seperti biasa aku menyiapkan segala hal untuk berangkat ke pabrik.
“Buk.. seragamku di mana ?” ibuku tidak langsung menyauti pertanyaanku. Ia masih sibuk mempersiapkan makanan dengan bibi di dapur. Dengan terpaksa aku mencarinya sendiri.
“Sudah ketemu seragamnya pin ?” tanya ibu sambil berjalan ke kamarku lalu menyuruhku untuk bergegas menuju meja makan sebab Bapak sudah menunggu.
Ternyata benar, di balik tirai bapak sudah menungguku di meja makan dengan tanganya yang selalu memainkan tasbih putih miliknya. Bibi mengantarkan teh dan nasi pecel. Bibi datang tidak merangkak- rangkak seperti pada majikan umumnya. Tentu saja, karna bibi sudah lama hidup di keluarga kami. Sudah hampir 15 tahunan. Ibu, Bapak, maupun aku tidak pernah menganggap bibi seorang pembantu, tetapi menganggap bibi adalah bagian dari keluarga kami.
“Pin kamu berangkat ke pabrik Bapak antar ya ? motor yang satunya sedang rusak.” ucap
bapak sambil asik berburu nasi yang masuk di gigi yang berlubangnya.
“Iya pak” ucapku singkat lalu balik ke kamar untuk mengambil kartu karyawan.
Bapak sudah menungguku di depan rumah, ketika aku sudah rapi dan siap berangkat.
Kali ini, aku berangkat bekerja di antar bapak layaknya anak SD. Di perjalanan, tepatnya di penyebrangan dari gang rumahku menuju jalan raya, seorang pengemudi mobil truk yang ugal-ugalan menabrak motor yang Bapak kendarai denganku. Aku dan bapakku terjatuh seketika, tetapi Truk tersebut justru pergi begitu saja. Aku panik karena bagian lengan dan pelipis mata bapak terlihat berdarah. Aku spontan mencopot seragam pabrikku untuk membersihkan darah yang mulai memenuhi wajah Bapak.
“Sudah pin tenang saja. Kita lanjutkan perjalanan ke pabrik. Bapak tidak apa-apa, walaupun bapak terluka insyaAllah Allah akan memberi hikmah dari kecelakaan ini. Yang penting kamu sampai ke Pabrikmu dulu,”
“Tidak pak! Kita pulang kerumah saja biar ibu mengobati luka bapak, masalah kerjaanku gampang.” Nadaku berubah tinggi, karena panik.
Aku bingung kepada bapak kenapa ia masih tenang- tenang saja. Aku menilai perkataan bapak, menurutku disinilah Tuhan, agama, dan doa bekerja. Ia selalu menjadi penenang jiwa.
Ibu panik ketika melihat aku pulang bersama Bapak dengan kondisi terluka. “Cepat ambilkan bubuk kopi di dapur, biar tidak sampai pendarahan,” perintahnya.
Ibuku terlihat berbeda. Bibir yang biasanya terlihat seperti pelangi, kini menjadi garis lurus. Ibu meneliti luka bapak sangat tajam, seperti gagak yang mengintai calon bangkai.
Minggu berikutnya, aku berangkat ke pabrik sendirian. seperti biasa, sesampainya di pabrik aku selalu absen dengan menggunakan kartu karyawanku. Akan tetapi, pagi ini kartuku tiba-tiba tak dapat digunakan. Akupun segera pergi ke kantor untuk menanyakan perihal kartuku yang nampaknya sudah tidak berfungsi. Aku melaporkan kartuku kepada wanita di kantor yang sedang bertugas. Akupun memberikan kartuku kepadanya, wanita itu langsung mengecek kartuku.
“Gimana mbak, apakah kartunya rusak ?” tanyaku kesal karna sudah hampir satu jam menunggunya.
“Kayaknya iya mas. Mungkin mas bisa pulang dulu.” Ucap wanita itu dengan santai.
Akupun langsung pulang kerumah dengan perasaan yang gelisah. takutnya terjadi sesuatu dengan pekerjaanku, karna sudah 4 kali dalam sebulan ini aku tidak berangkat ke pabrik karena mengurus Bapak dan perihal lainnya.
Aku bangun pukul dua Siang. Keadaan rumahku setiap siang sepi karena bapak dan ibu menjaga toko meuble dan Bibi pulang kerumahnya. Aku lalu mandi dan wudhu untuk sholat dzuhur.
Selesai sholat dzuhur aku membuka handphoneku yang kuletakkan di atas lemari buku,
“anjing !!!” tanpa kusadari kata-kata itu keluar dari mulutku ketika melihat pesan masuk. Aku di PHK secara sepihak tanpa uang pesangon. Itu pesan yang tertera dilayar handphoneku.
Aku kebingungan, takut, cemas, semuanya menyatu dalam kepalaku. Ditambah lagi dengan suara jarum jam tak tuk tak tuk yang semakin keras terdengar olehku. Kini aku hanya bisa duduk terpaku di kamar, merenungi betapa kuasanya kekuatan kapitalis. Rakyat kecil bagaikan tikus dan para cukong yang harus selalu siap menjadi pesuruh para penguasa dengan semprotan-semprotan uang gajian.
Angin santer, kaca jendela basah, musim gugur. Beginilah kehidupan seorang buruh. Aku lebih memilih diam daripada melawan karna aku tahu percuma aku melawan aku sempat berpikir meminta tolong kepada kawan-kawanku dulu yang sedang berada di bangku kuliah. Namun rasanya percuma, sepertinya mereka tidak akan meresponnya. Mahasiwa sekarang sudah lupa cerita lama mahasiwa dulu, tentang semangat yang membara melawan penindasan terhadap rakyat pekerja, seperti aku ini.
Mahasiswa suaranya telah usang dimakan zaman. Semangatnya luntur terkikis kemewahan. Mahasiswa saat ini tidak seperti mahasiswa dulu, dimana suara lantangnya menggetarkan istana penguasa. Di mana coretan-coretan tintanya menjadi senjata tuk melawan kemunafikan yang membuat sengsara.
“Supin buka gerbangnya…” teriakan ibu di luar rumah membuyarkan lamunanku.
“iya bu bentar…” secepatnya aku keluar untuk membukakan pintu,
“tumben sekali kamu sudah pulang Pin ?” Tanya bapak dengan raut muka heran.
Aku duduk di ruang makan dengan alas kebingungan dengan tangan yang menyangga kepala.
“Kamu kenapa pin ?” teguran bapak memecahkan pikiran kosongku
“tidak papa pak,” ucapku singkat.
“Tidak usah bohong, tadi bapak liat puisi-puisimu berceceran di kasur kamarmu. Terus bapak baca puisimu, isinya hampir sama semua tentang kesemena-menanya penguasa,” ucap bapak sambil sedikit tersenyum.
“Supin di PHK pak,” ucapku singkat
“nggak papa pin, ambil hikmahnya saja. InsyaAllah Allah akan memberikan pekerjaan untuk kamu yang lebih bagus,” ucapan Bapak seketika menenangkan hatiku.
Sekian…