Maqashid Syari’ah Ala Gus Dur; Kepedulian Agama Terhadap Misi Kemanusiaan

Menurut Gus Dur, fikih adalah sebagai bentuk kepedulian agama terhadap misi kemanusiaan, tidak lain karena Islam sendiri adalah agama rahmatan lil alamin, sarat dengan nilai-nilai humanistik universal, seperti prinsip persamaan, kebebasan dan pertanggungjawaban publik

Warisan Pemikiran Gus Dur Terhadap Islam Nusantara

Foto Gus Dur. Sumber: tirto.id

Justisia.com – Paradigma konstektual. Itulah kiranya term yang tepat untuk sosok almarhum Gus Dur di dalam melihat, memandang dan mewujudkan semesta kesatuan hukum fikih yang selanjutnya dapat diterapkan dan memenuhi aspek realitas yang terjadi.

Perkembangan aspek realitas yang dominan dalam domain fikih ini bertujuan untuk mencari titik relevansi hukum Islam dengan kebutuhan nyata manusia. Pun demikian, unsur idealisme universal ajaran Islam dan kondisi empirik sama-sama dihayati dipikirkan dalam merumuskan hukum Islam.

Menurut Gus Dur, fikih adalah sebagai bentuk kepedulian agama terhadap misi kemanusiaan, tidak lain karena Islam sendiri adalah agama rahmatan lil alamin, sarat dengan nilai-nilai humanistik universal, seperti prinsip persamaan, kebebasan dan pertanggungjawaban publik.

Pun jalan keluar yang ditawarkan oleh fikih dalam menyelesaikan masalah selalu menimbang dan memperhatikan sisi kemanusiaan juga kesejahteraan. Meminimalisir riskan dibanding mengambil sisi baik yang kadang belum tentu baik. Karena pada dasarnya dar al mafasid muqaddam ala jalb al masalih. Kaidah tersebutlah yang dijadikan ulama salaf salih sebagai fundamen dalam melihat dan memberi jawaban atas suatu problema yang ada.

Karena sesungguhnya, bahwa substansi yang terkandung di dalam fikih itu bersifat dinamis, inklusif, berkembang dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Karenanya jika fikih itu statis (jumud) maka tentu eksistensi dan entitasnya di dalam mengurai problem kehidupan -dengan segala persepsi dan perspektif di dalamnya- sudah tentu hilang ditinggalkan.

Fikih dulu dan sekarang berbeda. Dengan lebih komplek dan universalnya dinamika kehidupan menjadikan fikih sebagai salah satu basis konfigurasi problem solving yang sangat dan sungguh layak untuk dikaji dan dikembangkan lebih.

Merupakan suatu keniscayaan tersendiri bagi fikih. Di samping setiap daerah dan kurun waktu yang berbeda pasti punya tantangan dan sejarah sendiri. Adat dan realita kehidupan setiap daerah yang beragam juga menjadikan kenapa hukum satu dengan yang lainnya berbeda. Tidak bisa dipukul rata ataupun digeneralisasi secara mutlak tanpa pertimbangan selanjutnya.
 
Di dalam fikih terkenal dengan istilah Maqashid Syari’ah, konsep yang berisikan lima asas. Kiranya menjadi pilar utama yang dalam merealisasikan hukum harus ada salah satunya. Tidak bisa ditawar. Butir-butir primer yang memuat sejumlah nilai futuris, filantropis juga humanistis.

Maqashid Syariah


Gus Dur dalam memandang dan menafsirkan Maqashid Syari’ah melalui pendekatan kontekstual. Pendekatan ini yang menyebabkan Gus Dur hampir mengaplikasikan seluruh substansi Maqashid Syari’ah  ke dalam sendi-sendi kehidupan.

Bahkan Gus Dur dalam berpolitik pun acapkali kebijakan dan keputusannya didasarkan atas hal itu. Menjadikan Gus Dur sebagai tokoh visioner – menurut sebagian orang dan kelompok – karena mampu mengakomodasi perspektif dalam berbagai kepentingan dan hal.

Maqashid Syari’ah itu sendiri adalah sebuah gagasan dalam hukum Islam bahwa syariah diturunkan Allah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut para pengusung gagasan ini, tujuan-tujuan ini dapat ditemukan atau disarikan dari sumber utama hukum Islam dan harus senantiasa dijaga saat memutuskan perkara hukum. Terbagi ke dalam kelompok besar: hifd al-nafs (menjaga jiwa), hifd al-din (menjaga agama), hifd al-nasl (menjaga keturunan), hifd al-mal (menjaga harta), dan hifd al-‘aql (menjaga akal).

1) Hifd an-nafs (menjaga jiwa)
Mewujudkan jaminan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar  hukum, lebih dari bagaimana mewujudkan tonggak-tonggak kehidupan secara adil tanpa kecuali atas hak-hak masing. Persamaan hak dan derajat kemanusiaan merupakan kata kunci untuk mengimplementasikan nilai-nilai hifd an-nafs secara objektif-universal.

2) Hifd ad-din (menjaga agama)
Penerimaan seorang terhadap agama dapat tumbuh melalui kesadaran iman. Jaminan keselamatan keyakinan tidak boleh bertentangan dengan jaminan keselamatan jiwa. Dengan pola mengembangkan sikap saling menghargai (toleransi), pandangan tentang pluralisme, dan pandangan kritis atas realitas sejarah. Diwujudkan melalui dua arah: vertikal dan horizontal.

~Pembersihan diri dan penegakan fondasi-fondasi iman dengan cara mengamalkan ajaran-ajaran agama dan berdakwah secara persuasif.

~Saling menghargai dengan penganut agama lain, mempertahankan diri dari segala serangan yang datang dari luar dan menjadikan agama sebagai etika sosial.

3) Hifd an-nasl (menjaga keturunan)
Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan tidak hanya terkait pada masalah kesucian keturunan, tetapi juga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik dalam kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Pada perkembangannya, tidak terbatas pada persoalan individu, tetapi terkait langsung dengan persoalan kemasyarakatan.

4) Hifd al-mal (menjaga harta)
Pemakaian dan pemaknaan yang cukup luas mengenai hifd al-mal tidak terbatas pada larangan mencuri maupun larangan perampasan hak milik secara paksa, tetapi juga menyangkut hak untuk mendapatkan pekerjaan, jaminan hidup layak, dan fungsi sosial harta.

Ekonomi kerakyatan yang pengembangannya mengacu pada prinsip dan nilai-nilai substantif yang mendasari, yaitu tetap pada orientasi ekonomi maslahah, berkeadilan, dan manfaat. Maka dari itu, kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kemaslahatan umat dan kemandirian bangsa sebagaimana dirumuskan dalam kaidah fikih “tasyarraf al imam ala al ra’iyyah manuthun bi al maslahah“.

5) Hifd al-‘aql (menjaga akal)
Optimalisasi peran dan meningkatkan potensi akal secara hissi dapat diwujudkan melalui peningkatan gizi, sedangkan peningkatan secara maknawi dapat diwujudkan melalui kebebasan berpikir dan ta’allum. Gus Dur mengaitkan jaminan kebebasan berpikir, memilih profesi, dan jaminan pendidikan yang merupakan perwujudan dari universalisme Islam.

Kiranya, pemikiran Gus Dur tidak jauh dari implementasi kaidah al maslahah ‘ammah secara inklusif dan konstruksi. Tentunya juga mengedepankan keterangan dan penalaran historis aspek budaya dalam memaksimalkan penggunaan kaidah tersebut, tidak serta merta mentah diejawantahkan begitu saja.

Agama bersumberkan wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Karena sifatnya normatif, maka ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia. Oleh karena itu, ia berkembang sesuai perkembangan zaman dan cenderung selalu berusaha berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan dalam bentuk budaya.

Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Bisa dibandingkan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu adalah filsafat. Diantara keduanya terdapat tumpang tindih sekaligus perbedaan-perbedaan.[Red.Hikmah]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *