Learn, Unlearn, Relearn: Memaknai Ulang Konsep Buta Huruf

foto: medium.com
Oleh: Asror Midkhal
Belajar, merupakan kebutuhan setiap orang untuk bisa menambah wawasan yang dimiliki. Belajar bisa dari mana saja. Namun yang paling pokok melalui bangku sekolah, di mana mulai pembelajaran tingkat dasar sampai tingkat lanjut dipelajari.
Sebagai contoh yaitu membaca dan menulis sebagai dasar dari belajar, dan penunjang kehidupan seperti matematika sebagai penunjang kehidupan bersosial.
Kemampuan tingkat dasar harus dimiliki oleh semua orang, tidak terkecuali mereka yang mampu secara finansial, maupun mereka yang kurang mampu dan hanya bisa belajar sampai tingkat dasar karena alasan finansial keluarga.
Namun satu yang perlu dimiliki adalah kemampuan tingkat dasar seperti membaca dan menulis.
Kemampuan membaca dan menulis sering disebut sebagai melek aksara, atau tahu atau paham perihal huruf, dengan lawan katanya adalah buta huruf.
Kemampuan baca sendiri menurut wikipedia, untuk negara-negara di asia selatan, timur tengah dan afrika masih menjadi masalah, karena memiliki persentasi angka yang bisa dibilang tinggi, bahkan negara-negara amerika sendiri masih memiliki nilai persentasi 10-15%.
Nilai tersebut didasarkan kepada persentasi populasi dewasa yang memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Pengertian melek aksara sendiri di dunia modern saat ini semakin berkembang, dimulai dari mampu membaca dan menulis dengan baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau seseorang itu dikatakan mampu menyampikan ide yang dimaksud kepada lawan bicaranya ataupun kepada masyarakat yang mampu baca tulis dengan baik.
Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) memiliki definisi sebagai berikut:
“Melek aksara adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi”.[1]
Kemampuan melek aksara merupakan bagian yang penting untuk saat ini, karena akan dipergunakan dalam pendidikan tingkat lanjut dan juga agar dapat tetap bisa menggunakan teknologi yang serba digital seperti saat ini yang semuanya memodelkan kepada tulisan.
Bahkan saat ini sedikit yang menggunakan model video atau berbicara, karena banyak informasi yang memiliki tingkat keakurasian cukup tinggi akan dimuat dalam bentuk tulisan. Sehingga kemampuan membaca dan menulis merupakan kebutuhan pokok untuk saat ini.
Bahkan Alvin Toffler, seorang penulis dan futurolog Amerika, yang dikenal karena karya-karyanya membahas mengenai revolusi digital, revolusi komunikasi, dan singularitas teknologi[2], mengatakan:
“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” (Alvin Toffler)
Kalau diartikan, kata-kata diatas akan memiliki arti, “Mereka yang disebut buta huruf (illiterate) di abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak bisa learn, un-learn, dan re-learn.”
Ada tiga kata yang harus diartikan secara lebih mendalam, yaitu learn, un-learn, dan re-learn.
Secara terjemahan bahasa Indonesia, learn berarti belajar, re-learn diartikan belajar kembali, dan un-learn yang sedikit menimbulkan pemahaman yang berbeda, kalau kita mengartikannya dengan berhenti sejenak untuk ketahan selanjutnya yaitu re-learn, maka hal ini tidak akan menimbulkan perdebatan, bahkan bagi Alvin Toffler sendiri.
Namun saat kita mengartikannya sebagai menanggalkan sesuatu yang kita pelajari, itu akan sedikit bisa terkoneksi dengan kedua kata lainnya.
Banyak yang menyangkut pautkan “learn, unlearn dan relearn” dengan revolusi 4.0 yang sedang berlangsung, bahkan Luthfie Wijaya dalam tulisannya di medium.com mengatakan bahwa “Learn, unlearn, relearn tidak lain dan tidak bukan merupakan bentuk kompleks dari learn. Yang juga ra sebagai dimensi lain pembelajaran.”
“Terdiri dari 3 fase yang berkaitan satu sama lain. Awalnya, kita menyerap informasi, mengadopsi nilai, membangun pemahaman terkait suatu hal (learn). Lalu, di suatu titik kita mengkoreksi, membuang atau meninggalkan hal-hal tadi karena melihat ada bagian yang keliru, menyimpang, kurang lengkap ataupun tidak lagi relevan (unlearn).
Selanjutnya, kita memperbaiki, meluruskan, melengkapi, meningkatkan, menyempurnakan atau bahkan menggantinya dengan pemahaman yang benar-benar baru (relearn)”.[3]
Ketiga proses diatas bukanlah proses yang mudah untuk dilakukan, karena kita diharuskan untuk menganalisa terlebih dahulu terkait banyak hal. Menganalisa sendiri bukanlah mudah untuk dilakukan karena kita harus belajar terlebih dahulu secara menyeluruh terkait apa yang ingin kita analisa.
Setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam menganalisa, baru kita bisa beranjak ke proses memilah dan melilih, apakah ada hal-hal yang perlu ditanggalkan atau butuh dilengkapi, pada intinya kita dalam proses ini akan memunculkan sebuah koreksi dalam hal yang kita bahas tadinya.
Tahap terakhir adalah relearn, atau tahap perbaikan atau tahap penyempurnaan untuk hal-hal yang sudah dikoreksi dalam tahap sebelumnya, dalam tahap ini juga dimungkinkan penggantian pemahaman dengan pemahaman yang baru.
Sebagai contoh saja, kita yang mungkin sudah terbiasa dalam penggunaan kendaraan yang berbahan bakar fosil, akan dipaksa untuk menggunakan konsep learn, unlearn dan relearn.
Tahap pertama, learn. Disini kita akan mendapati data bahwa kendaraan berbahan bakar fosil, mudah digunakan, memiliki harga yang relatif murah, memilki efisiensi tinggi, namun karena bahan bakar fosil membutuhkan proses yang cukup lama.
Tahap kedua, unlearn. Hal yang perlu dikoreksi, yaitu terkait penggunaan bahan bakar fosil yang membutuhkan prposes pembentukan yang cukup lama dan hal ini menandakan bahwa hal ini rentan untuk habis sewaktu waktu, terlebih lagi hasil pembakaran bahan bakar fosil juga menambah panjang pentetan pemanasan globaln yang berakibat buruk kepada bumi.
Tahap ketiga, relearn. Hal ini karena kita punya problem terkait penggunaan bahan bakar fosil, maka kita harus menggantikannya dengan sesuatu yang bisa digunakan sebagai pengganti, namun tidak melupakan efisiensi harganya yang tidak terlalu memberatkan, yaitu menggunakan baterai.
Memang benar bahwa baterai bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil, namun hal ini juga membutuhkan modifikasi dari mesin, sehingga produsen kendaraan bermotor membutuhkan waktu yang lebih untuk memperbaharui sistem yang ada didalamnya.
Dari penjelasan di atas menandakan bahwa proses learn, unlearn, relearn akan terjadi dibanyak hal dikehidupan kita, itulah mengapa Alvin Toffler mengatakan bahwa buta huruf bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, namun mereka yang tidak mampu menerapkan konsep itu agar bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman saat ini, maka pilihannya hanya satu, terus berinovasi dan berkembang sesuai zaman atau dipaksa menjadi penonton dan menikmati menjadi buta huruf.
Referensi:
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Melek_aksara, diakses pada 15 November 2020 pukul 19:00 WIB
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Alvin_Toffler, diakses pada 14 November 2020 pukul 08:46 WIB
[3] https://medium.com/@tenddensi/konsep-learn-unlearn-relearn-b6e9bd16d390, diakses pada 14 November 2020 pukul 09:38 WIB.