LBH Semarang Gelar Diskusi Liberalisasi Pengelolaan SDA
kredit foto: LBHSemarang.id

Semarang, Justisia.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menggelar diskusi online melalui meeting room Zoom pada hari Kamis, (26/11).
Kegiatan yang mengangkat tema “Tafsir Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Liberalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara” dimulai pada pukul 10.00 WIB.
Berdasarkan Term of Reference (TOR), diskusi tersebut merupakan bentuk tindak lanjut dari diskusi yang telah dilaksanakan pada 12 November 2020 menyoal tentang potensi pelanggaran HAM pasca disahkannya revisi UU Minerba.
Dalam diskusi tersebut, LBH Semarang menghadirkan dua narasumber yakni, salah seorang dosen di Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati, dan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah. Dengan jumlah peserta diskusi lebih dari 30 peserta.
Menurut Haris Retno, adanya UU Minerba dan Omnibus Law adalah tanda kembalinya Domen Verklaring, dengan tujuan untuk menguasai tanah negara.
“Yang menjadi pemilik tanah adalah rakyat bukan pemerintah,” tutur alumnus doktoral Universitas Hasanuddin. Masih menurut Haris Retno, keberadaan omnibus law dan UU Minerba yang saling berkelindan adalah pelecehan secara konstitusional melanggar pasal 33 UUD 1945.
“UU Cipta Kerja dan UU Minerba hanya menguntungkan kapitalis. Bukan untuk kesejahteraan rakyat,” jelasnya.
Di samping itu, Koordinator Jatam, Merah Johansyah memaparkan, UU Minerba atau Omnibus Law yang diklaim pemerintah sebagai upaya pemulihan ekonomi patut dipertanyakan.
“Tafsir mengenai pemulihan ekonomi perlu diperjelas lagi, apakah pemulihan ekonomi nasional atau hanya upaya untuk memulihkan ekonomi para kapitalis,” tutur Merah saat memaparkan materi.
Merah menambahkan, rakyat perlu memiliki imajinasi politik yang melampaui pemerintah. Bukan hanya menanggapi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Pada sesi tanya jawab, Haris Retno menjelaskan bahwa UU 3 Tahun 2020 (UU Minerba) akan mengakibatkan kerugian terhadap negara. Menurutnya, hal tersebut disebabkan kembalinya hubungan antara pemerintah dan perusahaan tambang ke sistem kontrak sebagaimana UU tahun 2001, yang mana pada UU 4 Tahun 2009 telah diubah menjadi sistem izin.
“Dalam sistem kontrak, negara yang diwakili oleh pemerintah akan turut bertanggung jawab atas persoalan yang mungkin terjadi. Sebagaimana dalam kasus Lapindo, pemerintah lebih banyak mengeluarkan anggaran dibandingkan perusahaan,” timpalnya.
Diskusi tersebut ditutup oleh moderator, Cornel Gea setelah para narasumber menjawab berbagai pertanyaan dari peserta diskusi. [Rep. Lisana, Ircham / Red. Sidiq]