Kemuliaan yang Terlupakan: Kritik Lirik Lagu Aisyah Istri Rasulullah
Sumber foto: Youtube

Entah kenapa setelah mendengarkan lagu tersebut terasa ada hal yang mengganjal dalam ingatan saya, ibarat setelah mendengar lagu itu tidak ada lagi warna-warni lagu yang enak didengar.
Oleh: Abdullah Faiz
Justisia.com – Belakangan ini ditengah pandemik Covid 19 yang tak kunjung usai, sebagai warga indonesia yang baik saya mencoba mematuhi himbauan pemerintah untuk diam di rumah saja, jangan ditanya bagaimana rasanya. Tentu saja membosankan akan tetapi saya termasuk pengikut madzhab yang suka memutar musik dengan volume tinggi untuk menghilangkan rasa stress.
Tak disangka dan sangat kebetulan sekali musik yang diputar adalah lagu religi “Aisyah Istri Rasulullah” yang sedang ngehits sekarang ini. Entah kenapa setelah mendengarkan lagu tersebut terasa ada hal yang mengganjal dalam ingatan saya, ibarat setelah mendengar lagu itu tidak ada lagi warna-warni lagu yang enak didengar.
Di berbagai laman media sosial baik itu WhatsApp, Instagram, Facebook semuanya berduyun-duyun mengunggah lagu tersebut. Bahkan di manapun tempat berkumpul yang saya datangi, mereka memutarnya dengan hati bergembira sambil joget-joget dan membayangkan romantisme yang ada dalam liriknya, saya husnudzan saja mungkin dengan lantaran itu termasuk cara mereka untuk mengungkapkan keagungan ummy mukminin. Tapi sebaliknya ya akhi, kalau hanya memutar dan menikmati lirik lagu yang memvisualisasikan fisik romantismenya saja, sangat disayangkan sekali.
Awalnya lagu ini muncul pada tahun 2017 dari grup band Projector asal Malaysia. Namun, sebagian riwayat menyebutkan asal lagu ini judulnya “Aisyah” (Satu Dua Tiga Cinta Kamu) yaitu lagu ini memang bercerita tentang sosok perempuan bernama Aisyah namun yang dikehendaki bukan Sayyidatina Aisyah istri Nabi Muhammad. Kemudian di bulan Agustus 2017 muncul lagu Aisyah versi religi dan sekarang berkat jasa para tukang cover di Indonesia lagu tersebut laris manis dikalangan akhi dan ukhti.
Pertama kali saya memutarnya memang terasa enak untuk didengar apalagi bagi para jomblo radikal, bisa jadi mereka sambil berkata dalam hati “Ya Allah sisakan satu yang seperti ini”.
Awalnya memang menarik tapi setelah sampai pada bagian “dengan baginda kau pernah main lari lari” sudahlah ambyar total lagu ini. Secara spesifik memang menceritakan betapa romantisnya Rasulullah bersama Aisyah dan kisah ini sudah masyhur dalam kajian Shirah Nabawiyyah.
Namun saya justru sangat menyayangkan bila nilai kebaikan yang di ambil hanya romantismenya saja apalagi dengan menyebutkan secara detail tanpa mengimbangi dengan akhlak dan teladan. Bukanya saya mengingkari romantismenya tapi, dalam mempraktikkan nilai kebaikan dalam lagu tersebut kurang etis. Percayalah banyak cara untuk mengungkapkan cinta kepada ummul mukminin.
Setelah beberapa menit saya sempat memutar kembali memori saat dulu kala mengaji kitab Shirah Nabawiyah tentang kemuliaan Sayyidatina Aisyah. Beliau adalah ulama perempuan yang menjadi dokumenter hadis terbanyak melalui keluasan ilmunya. Sampai saat ini, kualitas hadis masih terjaga dan ummat islam sangat berhutang budi kepada beliau.
Bila kita bertanya kenapa Abu Hurairoh cenderung lebih banyak meriwayatkan hadist sedangkan Abu Bakar yang dikenal sangat dekat dengan Rasulallah malah sedikit meriwayatkan hadis, itu menandakan bahwa Rasulallah mewariskan dua hal yang sangat berharga yaitu ilmu (pengetahuan/kekuatan hafalan hadist) yang menjadi karakter Abu Hurairah dan haal (perbuatan nabi yang sangat diteladani) yang melekat didalam jiwa Abu Bakar namun kedua warisan tersebut sangat kental tercermin pada sosok Sayyidatina Aisyah.
Keluasan ilmu dan kecerdasan Aisyah dalam menghimpun ribuan Hadist menunjukan bahwa islam tidak meletakkan akal perempuan di bawah laki-laki. Dalam keterangan lain, Rasulallah menikahi Sayyidatina Aisyah bukan karena cantik dan manisnya apalagi pipinya kemerah merahan akan tetapi karena melihat kecerdasannya kemudian mendesainya menjadi seorang perempuan yang berkompeten dan mampu mendokumenter hadist.
Sehingga Aisyah secara biologis tidak memiliki anak dari Rasulullah tapi terlahir darinya anak anak ideologis yang menjadi maestro dan pilar pilar peradaban ummat islam. Di satu kesempatan Gus Baha’ juga mengatakan bahwa ketika Rasulullah ditanya kenapa menikahi Aisyah? Rasulullah hanya menjawab “Saya ini ditakdirkan dicintakan dengan perempuan” dan yang dikatakan oleh Rasulullah tidak lain adalah wahyu, jadi bukan karena kecantikan dan romantisnya tapi menyiapkan Aisyah untuk dakwah hingga masa yang akan datang.
Bahkan Rasulullah sudah mendapatkan kabar sebelum menikahi Aisyah bahwa ia akan menjadi pasanganya di dunia dan di akhirat.
Semua kemuliaan ini tidak mendapatkan ruang dalam lagu tersebut lagi-lagi menceritakan gambaran fisiknya dengan “Mulia indah cantik berseri kulit putih bersih merah di pipimu” subhanallah indah sekalikan? Tapi kenapa saya merasa mengganjal ketika melisankan tubuh ibunda kaum muslimin dengan menjadikan objek keindahan publik.
Mungkin saja setelah ini kalian akan menyangka hati saya tidak tersentuh atau hati saya telah mengeras sehingga tidak ridho dengan lantunan fisik ibunda kaum muslimin yang menjadi pujian akhi-ukhti ini. hanya saja cara mengambil nilai untuk syiar mengagungkan beliau seharusnya lebih dari sekedar mengenalkan perempuan yang akan dicubit hidungnya ketika Rasulallah marah.
Cobalah ya akhi, kita syiar lagi dengan membuat lirik lagu yang lebih menggambarkan kegigihan Sayyidatina Aisyah dalam memperjuangkan kecerdasan intelektualnya sehingga menjadi rujukan para sahabat atau kepandaianya dalam segala bidang dan masih banyak teladan yang lainya selain menyinggung fisik untuk objek keindahan publik.