Kemendikbud Gabut
Sumber gambar: Liputan6.com

Justisia.com – Kopi, rokok, dan hujan rintik-rintik yang menemani Supin tidak membuat hatinya tenang. Semua berawal dari cerita adiknya, bahwa dia tidak memiliki buku paket, karna buku paket hanya ready sedikit itupun harus pesan dan pesannya cukup lama hampir satu bulan, padahal sebenarnya pihak sekolah bisa memperbanyak stok, akan tetapi pihak sekolah tidak berani dikarenakan takut terkena sanksi plagiat.
Terus bagaimana caranya belajar untuk siswa-siswi yang belum punya buku paket? Adik Supin menjawab, biasanya satu buku paket untuk tiga sampe empat orang. Luar biasa mantap Kurikulum 2013 memang jos gandos.
Apa susahnya sih, lembaga yang bertanggung jawab menilai dan mengecek kelas di sekolah-sekolah? Mengecek, mengamati keadaan siswa-siswi di sekolah kan perlu juga untuk masa depan negeri tercinta ini. Bukannya 15-20 negeri ini dipimpin oleh bibit-bibit ini?
Di tengah pandemi seperti ini, pembelajaran tentu saja terganggu. Nilai diambil dari sinyal, kok bisa? Tentu saja bisa, siswa-siswi di era pandemi ini melakukan pembelajaran dengan cara online, lah apabila ada siswa atau siswi yang di rumahnya sinyalnya jelek atau tidak punya kuota internet, otomatis nilainya jelek juga dikarenakan tidak bisa mengikuti pelajarannya.
Supin benar-benar naik darah, kemarahannya sudah sampai puncak. Baru saja dia melihat berita bahwa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana membuat mata pelajaran sejarah menjadi tidak wajib dipelajari siswa SMA dan sederajat. Di kelas 10, sejarah digabung dengan mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS). Sementara Bagi kelas 11 dan 12 mata pelajaran sejarah hanya masuk dalam kelompok peminatan yang tak bersifat wajib. Hal itu tertuang dalam rencana penyederhanaan kurikulum yang akan diterapkan Maret 2021. (Jumat, 18/09/2020)
Menurut Supin, wacana ini tidak pas dikarenakan kita dalam keadaan genting, entah dari segi perekonomian, pendidikan dan lain sebagainya. Dan jikalau Kemendikbud bersikeras agar wacana ini dilakukan seharusnya, penerapan di lapangan harus dipikirkan secara matang oleh Kemendikbud. Perubahan kurikulum 2013 ke 2021 harus dimulai dengan pemetaan yang teliti. Seperti kemampuan guru dan siswa per-kabupaten/kota, serta memetakan kendala pendidikan di lapangan.
Begitu, isi berita yang membuat Supin mencapai puncak kemarahannya. Mengapa pelajaran sejarah tidak di wajibkan? Tentu saja aneh. Yang pasti nantinya siswa makin bebas karna pelajaran sekolahnya dikurangi.
Padahal, mata pelajaran Sejarah sangatlah penting untuk calon-calon pemegang estafet pemimpin bangsa ini. Bayangkan saja jika wacana ini dilaksanakan kemungkinan besar siswa-siswi akan lupa sejarah bangsanya sendiri dan tentu saja akan menimbulkan masalah besar. Contohnya: siswa-siswi akan luntur cintanya terhadap tanah air, siswa-siswi tidak mengenal pahlawan-pahlawan yang berjuang sampai darah penghabisan untuk memerdekakan negeri ini dan lain sebagainya.
Supin teringat perkataan Sukarno, bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya” sekarang sudah sangat jelas ketika Kemendikbud berencana menghapus mata pelajaran sejarah bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kecil.
Sesekali Supin menyeruput kopi yang sudah hampir dingin, juga gerimis yang sudah reda. Sesudah menyeruput kopi, pikiran Supin makin liar ia kepikiran tentang Kemendikbud merupakan kementerian yang sangat taat kepada Presiden Republik Indonesia, Jokowi. Yang jargonnya: kerja, kerja, kerja.
Apa mungkin? karna sejarah itu bukan ilmu praktis, bukan ilmu pragmatis, jadi tidak bisa diharapkan untuk melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan bergengsi. Seperti perusahaan batu bara, perusahaan sawit, atau perusahaan minyak bumi?
Ya. Begitulah gambaran pendidikan karakter versi Kemendikbud yang gabut.
Penulis: Alvin Hidayat
Editor: Nur Hikmah