Fazlur Rahman: Mamahami Al-qur’an Hendaknya Mengedepankan Sisi Moral Ideal.

Sumber foto: IslamLib

Oleh: Ike Maya Sari

Justisia.com – Fazlur Rahman, tokoh besar dari Pakistan yang hidupnya justru banyak menuai kecaman karena pendapatnya yang dianggap tidak selaras dengan mayoritas pembesar pada masanya.

Fazlur Rahman dianggap sebagai tokoh dengan kompleksitas pemikiran yang liberal. Maka, memahami Fazlur Rahman tidak cukup hanya dengan satu atau dua jam pelajaran, kita dituntut untuk berpikir terbuka agar gagasan demi gagasannya dapat tercerna dengan baik sehingga substansi yang terkandung di dalamnya dapat diterima sebagaimana mestinya.

Beberapa pendapatnya antara lain mengenai karakter kewahyuan yang digambarkan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, wahyu tidak bersifat mekanis sebagaimana yang kerap dijumpai dalam pembahasan ulumul qur’an. Ia menganggap malaikat Jibril bukanlah agen eksternal, namun merupakan ruh yang ada pada diri nabi Muhammad sendiri. Karena setiap kali menggambarkan mengenai turunnya wahyu, Al-qur’an selalu mengatakan ‘ruh’ Bihi ruh al-amin yakni seperti ruh yang dapat dipercaya yang hanya ada di dalam diri nabi Muhammad, tidak sama dengan ruh-ruh pada diri manusia lain. Maka, ayat-ayat Al-qur’an erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan nabi dan situasi sosial yang meliputinya.

Dikarenakan ayat-ayat yang terangkum dalam Al-qur’an tidak terlepas dari kondisi kejiwaan Nabi Saw, maka Rahman menyimpulkan bahwa isi dari Al-qur’an tidak terlepas dari keinginan Rasulullah yang mana dalam kehidupan sehari-hari mengandung bahasa Rasulullah yang merefleksikan apa yang ada dalam jiwa Rasulullah namun sumbernya dari Allah SWT.

Sementara bahasa Al-qur’an yang asli hanya Allah yang tahu. Bahasa Al-qur’an yang khalayak kenal dengan bahasa Arab merupakan kalamullah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa manusia melalui perantara ruh Nabi Muhammad Saw. Inti dari pendapatnya tersebut, Fazlur Rahman ingin menyampaikan bahwasanya untuk memahami Al-qur’an tidak cukup dengan pemahaman tekstual melainkan harus melibatkan situasi sosial yang mengitarinya.

Berkenaan dengan hal tersebut, penafsiran Al-qur’an menurut Fazlurrahman terbagi menjadi dua model. Yang pertama adalah ayat-ayat yang terkait dengan kondisi sosial kemasyarakatan seperti ayat ahkam, ayat yang terkait dengan politik, dsb. Kemudian ayat-ayat yang abadi tanpa dipengaruhi oleh kondisi sosial seperti ayat yang berbunyi Innalallaha ala kuli syai’in qodiir bahwa Allah hanya ingin menunjukkan bahwa diri-Nya Maha Kuasa.

Karena sebagian ayat Al-qur’an tidak terlepas dari kondisi sosial kemasyarakatan pada masanya, maka menurut Rahman memahami Al-qur’an harus dari dua sisi yakni moral ideal dan legal formal.

Moral ideal adalah cita-cita moral yang terdapat dalam sebuah ayat. Kemudian legal formal adalah kekhususan hukum dari ayat tersebut. Seperti dalam Q.S. Al-Maidah ayat 38 yang mengandung legal formal berupa pemotongan tangan bagi orang yang mencuri namun di samping itu juga menunjukkan moral ideal bahwa pencurian merupakan tindakan yang amat keji dan harta kekayaan merupakan sesuatu yang harus dilindungi. Maka Rahman menegaskan bahwa moral ideal harus dikedepankan dalam menafsirkan Al-qur’an karena itulah yang dikehendaki secara abadi di dalam lauhul mahfudz.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *