Diskursus Demokrasi: Antara Islam dan Barat

Sumber foto: t24.com.tr

Oleh: Fajri Kholili Zain

Pada waktu belakangan ini, sering kita dengar tentang perbandingan konsepsi demokrasi yang mengatakan bahwa demokrasi itu berasal dari barat yang tidak sesuai dengan syariat dan nilai-nilai agama Islam.

Mereka berpendapat sistem demokrasi adalah produk orang kafir dan hukum menggunakan atau menerapkan sistem seperti ini adalah haram. Seiring dengan pengharaman itu mereka mengkampanyekan sistem khilafah yang digadang-gadangkan dapat menyelesaikan seluruh problematika di dunia ini.

Salah satu tokoh yang dalam gagasannya banyak menolak konsep demokrasi ini adalah Abu Bakar Ba’asyir yang menyatakan bahwa demokrasi ini tidak hanya bertentangan dengan Islam tetapi demokrasi ini juga merupakan ideologi yang berbahaya bagi umat Islam itu sendiri.

Tak dapat kita ingkari bahwa konsep demokrasi memang muncul dan dikembangkan oleh masyarakat barat. Di mana, konsep ini muncul pada awal abad ke-18 saat revolusi kebebasan di Prancis.

Awalnya ide demokrasi ini secara umum berasal dari nilai-nilai barat seperti nilai persamaan, kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Namun, perbandingan konsepsi yang membandingkan antara barat dan Islam adalah perbandingan yang absurd atau tidak jelas.

Hal ini dikarenakan Islam bukan agama teritorial dan bukan agama yang hanya mewakili teritori tertentu. Islam ya ada di barat juga ada yang di timur dan di seluruh dunia. Sehingga, jika membandingkan demokrasi antara Islam dan barat itu tidak tidak tepat.

Jika kita telaah lebih dalam mengenai konsep demokrasi ini kita akan mengetahui bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi dapat dielaborasikan dengan nilai-nilai keadilan yang ada dalam Islam.

Menurut Thaha Husain, salah satu pemikir Islam asal Mesir, berpendapat bahwa sistem demokrasi itu mampu mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi umat manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu kaum yang lemah, serta melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, dan durhaka.

Kalau kita runut asal usulnya, demokrasi ini memang sangat lekat dan identik dengan sistem kenegaraan. Tetapi dalam pelaksanaannya, demokrasi tidak hanya berlaku di dalam politik saja, nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi juga harus diterapkan di dalam kehidupan.

Banyak nilai/prinsip dari demokrasi ini disebutkan di dalam Al-Quran walaupun tidak secara eksplisit. Namun, nilai-nilai tersebut dapat kita tarik benang merahnya.

Sebagai contoh, sebut saja nilai kesamaan atau kesetaraan, dalam Al-Quran nilai ini dijelasakn secara gamblang pada QS Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” (QS Al-Hujurat:13).

Selain itu ada juga nilai kebebasan menyampaikan pendapat yang dalam bahasa Islaminya disebut dengan istilah bermusyawarah. Dalam QS As-Syura ayat 38 Allah Berfirman: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.

Oleh karena itu kita jangan hanya memahami sesuatu secara tekstual saja, namun kita harus memahaminya secara lebih luas.

Menurut Gus Dur, pada gagasan awalnya demokrasi dapat dipahami bukan hanya sebagai keterwakilan saja, tapi membuka ruang konsesnsus. Sehingga, setiap pribadi punya ruang untuk berpendapat.

Demokrasi jangan hanya dipahami hanya sekedar aturan main kelembagaan yang berdasarkan pada formalitas belaka, tapi tradisi demokrasi harus benar-benar hidup. Nilai demokrasi tentang kesetaraan, keadilan, hak asasi perlu untuk terus dihidupkan.

Demokrasi substantif sangat disuarakan oleh Gus Dur. Gus Dur menekankan bagaimana demokrasi harus benar-berar menjadi spirit dalam kehidupan, baik sebagai aparat pemerintah atau sebagai pribadi.

Sering Gus Dur menentang demokrasi prosedural institusional (demokrasi atas nama pembagian lembaga negara). Karena apabila nilai demokrasi ini tidak hidup dalam setiap pribadi maka akan sama saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *