Bayar UKT Atau Bertahan Hidup?

Sumber foto: Padec.co

Oleh: Safira Nurdiana

Justisia.com – Sudah beberapa bulan ini segala aktivitas terhambat karena pandemi corona, seperti kegiatan sekolah, kampus, bahkan ekonomi misalnya. Sudah empat bulan lamanya segala aktivitas tersendat, bahkan lumpuh total. Tak ada yang dapat memprediksi kapan pandemi ini berakhir. Tapi yang jelas, jumlah pasien corona di Indonesia saat ini semakin tinggi. Dan itu artinya besar kemungkinan pandemi ini masih terus berlangsung. Bagaimana nasib orang-orang kecil di negeri ini? jangan ditanya, merekalah yang paling dirugikan oleh terjadinya pandemi ini. Secara untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi bila mata pencahariannya sehari-hari terhambat. Bantuan pemerintah? jangan ditanya, masih banyak yang belum menerima dan merasakan manfaatnya. Tak jarang, salah sasaran.

Lalu, bagaimana dengan para mahasiswa yang harus tetap membayar ukt tetapi jumlah pengurangan yang didapatkan minim, bahkan persyaratannya pun sangat ribet? Jangan ditanya lagi, betapa terseok-seoknya mereka yang kurang mampu. Pasti saat pergantian semester nanti orangtua mereka, bahkan mereka yang bekerja sendiri untuk tetap bisa berkuliah akan kesusahan dan memutar otak untuk bisa terus bertahan. Bayangkan saja, untuk bertahan hidup disaat pandemi ini sangat sulit. Apalagi untuk memikirkan biaya kuliah yang selangit tetapi fasilitas yang didapat sungguh minim.

Keadaan diatas adalah tantangan bagi salah satu mahasiswa di perguruan tinggi negeri di kota Semarang, sebut saja dia Rizki. Rizki tinggal bersama kedua orangtuanya di rumah yang sederhana. Kedua orangtuanya sebenarnya tak sanggup untuk membiayainya kuliah. Namun, Rizki anak yang mandiri dan ia tak ingin bergantung kepada orang lain sehingga disela-sela waktu kuliahnya ia bekerja. Rizki masuk ke ptn berkat kerja kerasnya untuk mencari beasiswa dan bekerja. Sejak menjadi mahasiswa rizki semakin giat belajar dan tetap bekerja untuk menyambung hidup. Ia sudah berpengalaman berganti-ganti pekerjaan. Semuanya ia lakukan semata-mata untuk tetap bisa berkuliah dan bertahan hidup di tengah hiruk-pikuk kota Semarang yang padat.

Semenjak pandemi, Rizki sudah ketar-ketir karena saat pergantian semester ini beasiswanya sudah berakhir. Untuk semester depan ia sudah harus mendapatkan beasiswa lain atau dana lain demi bisa berkuliah. Segala upayanya untuk mendapatkan beasiswa ditengah pandemi ini belum berhasil. Di tengah kegundahannya, ia menemui Andi sahabatnya.

“Aku harus gimana ndi, sudah berbagai upaya aku lakukan untuk dapat beasiswa. Sampai sekarang hasilnya masih nihil dan dari semua pengumuman beasiswa yang kucoba menolakku. Aku dan bapak ibu saja sudah kesusahan untuk makan sehari-hari sejak pandemi ini, apalagi membayar ukt tiga juta itu” keluh Rizki.

“Bagaimana kalau kamu kubantu mengurus surat pengurangan ukt dari kampusmu? yah walaupun ribet dan hanya dapat potongan 15 persen tapi setidaknya kamu tetap dapat pengurangan ukt” ujar Andi.

“Oke ndi, ayo kita coba” timpal Rizki.

Akhirnya mereka berdua mengumpulkan syarat-syarat untuk bisa mengajukan pengurangan ukt. Jangan ditanya lagi, persyaratannya ribet. Mereka harus mengumpulkan surat keterangan penghasilan orangtua, surat tidak sedang menerima beasiswa, dan lain-lain. Setelah seminggu mengumpulkan semua persyaratannya, akhirnya mereka berhasil menyelesaikannya. Setelah upload data di website kampus, akhirnya mereka bisa sedikit bernafas lega.

“Akhirnya terkumpul juga persyaratannya” ujar Rizki.

“Fiuhh, iya riz. Semoga kamu berhasil” balas Andi.

Akhirnya tiba saatnya pengumuman, dan rizki berhasil mendapatkan pengurangan ukt sebanyak 15 persen itu. Tapi, ia tetap harus bekerja keras untuk melunasi sisa uktnya. Ia memutuskan untuk bekerja di dua tempat sekaligus. Lelah yang ia rasakan di sekujur tubuh rasanya tak sebanding dengan cita-citanya untuk terus berkuliah. Bagi Rizki tak apa ia harus terseok-seok dahulu, yang penting impiannya untuk tetap kuliah bisa terwujud. Ia memilih untuk tetap bekerja keras demi bisa membayar biaya kuliahnya dan untuk tetap bisa bertahan hidup bersama kedua orangtuanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *