Al-Muhafazatu ‘Ala Al-Qadim Al-Shalih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadid Al-Aslah, Kultur Pesantren di Indonesia (2)
Al-Muhafazatu ‘Ala Al-Qadim Al-Shalih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadid Al-Aslah, Kultur Pesantren di Indonesia (2)
Oleh : Alaik Ridhallah (Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo)
Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kiai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, bahkan luar daerah.[1]
Telah banyak sumber yang menjelaskan mengenai asal-usul pesantren, tentang kapan awal mula berdirinya, bagaimana proses berdirinya dan bahkan istilah-istilah yang ada dalam dunia pesantren pun seperti istilah kiai, santri yang unsurnya masih menjadi perdebatan.
Mengenai sejarah dan latar historis berdirinya pesantren di Indonesa berdasarkan Ensiklopedi Islam terdapat beberapa versi pendapat. Pertama, Pendapat yang menjelaskan bahwa asal mula pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat atau tasawuf.
Hal ini karena pesantren memiliki keterkaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat tersebut berdasarkan pada awal penyebaran Agama Islam di Indonesia yang lebih dikenal dengan kegiatan tarekat yang senantiasa melaksanakan zikir dan wirid tertentu.
Pemimpin tarekat ini
disebut dengan kiai dalam melaksanakan ibadah tertentu. Selain itu juga,
biasanya menyediakan kamarkamar kecil yang letaknya di kiri atau kanan masjid
untuk tempat penginapan dan memasak. Sehingga dalam kesehariannya juga
diajarkan kitab-kitab agama, yang kemudian aktifitas itu dinamakan pengajian.[2]Dalam perkembangannya
lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pendidikan
yang disebut pesantren.
Kedua, ada yang berpendapat bahwa pesantren yang tidak asing kita kenal saat ini merupakan pengadopsian sistem pendidikan yang pernah didirikan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Pendapat tersebut berdasar pada terdapatnya fakta bahwa pada masa Pra-Islam di Indonesia telah ditemukan beberapa lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren.
Lembaga tersebut digunakan untuk tempat belajar dan mengajarkan ajaran agama Hindu dalam membentuk kader-kader penyebar ajaran Hindu. Terdapat penguatan dari pendapat lain yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan sejenis pesanren ini tidak ditemukan di negara-negara Islam, melainkan banyak ditemui di negara yang menganut kepercayaan HinduBudha seperti halnya Myanmar dan Thailand.[3]
Pesantren sebagai salah satu sistem pendidikan indegenous yang telah berabad-abad berperan membentuk karakter dan watak umat Islam di Indonesia. Pesantren seharusnya memiliki potensi menjadi salah satu basis baik secara diskursif maupun moral-praktis dalam menyemaikan nilai-nilai perdamaian di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh, pendidikan pesantren pada awal kemunculannya memiliki basis pendidikan perdamaian yang komperhensif.
Sebagaimana dikutip dari Suparno dalam bukunya “Pendidikan Perdamaian” mengemukakan bahwa pendidikan perdamain itu mengacu pada karakteristik perdamaian, yang meliputi: 1) Perdamaian itu bersifat dinamis, 2) perdamaian itu ialah sebuah penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan, 3) perdamaian itu menunjukkan hasil keseimbangan dalam melakukan interaksi sosial, sehingga masyarakat hidup dengan harmoni, 4) perdamaian itu ramah (baik) untuk masyarakat, 5) bila kekerasan merajalela, tentu perdamaian tidak akan tercipta, 6) bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian haruslah berpijak diatas keadilan dan kebebasan (justice and liberty), 7) bila keadilan dihiraukan dan kebebasan dilumpuhkan, maka perdamaian tidak akan tercipta.[4]
Ada sikap yang harus dikembangkan dalam sistem pendidikan di pesantren, dimana pesantren sudah seharusnya mendidik umatnya melalui sikap-sikap dan pemikiran yang moderat.
Dewasa ini, pesantren dituntut untuk menerapkan model pendidikan yang mengkonstekstualisasikan materimateri khas pesantren dengan isu-isu yang up to date.
Materi keislaman yang biasanya hanya berkutat pada kajian kitab turats (kitab-kitab klasik), sekarang ini haruslah mulai nampak diterjemahkan lebih membumi dengan mengintegrasikan terhadap isu-isu kemanusiaan laiknya hak asasi manusia, gender, human traficking, global warming, ekologi, kemajuan teknologi, serta dinamika persoalan humanitas lainnya.[5]
Editor : Afif
KONTEN MERUPAKAN KOLABORASI RAMADHAH BERSAMA NUJATENG.COM X JUSTISIA.COM
[1] Nurcholish Madjid. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Paramadina, 1997).h. 9.
[2] Irfan Setiya Permana W., Implementasi Toleransi Beragama Di Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Universal Bandung), Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama
ISSN 2089-8835 (Vol. 2 Nomor 1 Tahun 2019), h. 3.
[3] Irfa Irfan Setiya Permana W., Implementasi Toleransi Beragama…, h. 4.
[4] Eneng Muslihah, Pesantren Dan Pengembangan Pendidikan Perdamaian Studi Kasus Di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten, ANALISIS : Jurnal Studi Keislaman, (Vol. 14, No. 2, Desember, 2014), h. 316
[5] Eneng Muslihah, Pesantren Dan Pengembangan Pendidikan Perdamaian…., h. 316