Adakah Toleransi Beragama di Ujung Barat Pulau Jawa?
Adakah toleransi dalam beragama?

Kredit foto: segenggamdaun.com
Oleh: Lina Mei Tina
Justisia.com – “Ya awalnya saya juga sempat ragu hendak membangun vihara di sekitar Labuan ini. Saat akan berangkat ke sini sempat bertemu dengan seseorang yang mengatakan saya tidak akan bisa membangun vihara di sana dan pasti tidak akan disambut dengan baik oleh warga sekitar. Ternyata itu semua hoax, tidak benar,” ungkap Pandita Sumedho Pembina Vihara Dhamma Ratana Labuan, Pandeglang, Banten.
Sumedho yang akrab disapa romo mulai masuk ke Labuan tahun 2010. Ia datang ke sana untuk melihat dan mengalami langsung bagaimana penerimaan masyarakat pesisir Banten terhadap keberadaan umat Buddha. Ternyata, lanjut Romo Sumedho, rumor-rumor yang ia dengar mengenai masyarakat Labuan yang mayoritas beragama Islam tidak mau menerima umat agama lain salah besar. Justru pandita disambut sangat baik oleh masyarakat dan tokoh-tokoh agama sekitar.
Demikian uraian romo berusia 61 tahun kepada Justisia pada Sabtu sore (17/10) saat mengisahkan awal mula berdirinya tempat ibadah bernama Vihara Budhha Ratana, Labuan. Bangunan vihara itu sendiri dirintis sejak tahun 1990 dengan menggunakan nama Cetiya Buddha Diepa. Berganti nama menjadi Vihara Buddha Ratana mulai 1999 dan bernaung di bawah Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi).
Berangkat dari pengalaman berinteraksi langsung dengan warga, tokoh masyarakat dan pemimpin agama di Labuan, Sumedho menegaskan bahwa selama ini masyarakat di ujung barat Pulau Jawa dan Provinsi Banten ini toleran sekali.
Salah satu tokoh agama Labuan yang memberi lampu hijau terkait niat dari pandita untuk mendirikan rumah ibadah datang dari Ustaz Toni. Selain memberi dukungan penuh dengan membantu mengurus berkas-berkas pendaftaran pembangunan vihara, Ustaz Toni pun sering mengunjungi vihara, sehingga terbangun persahabatan dan hubungan yang baik dengan pandita dan pengurus vihara lainnya.
“Kita sebagai umat Muslim, dan sudah jelas juga dalam agama kita ada yang namanya Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang kalau toh ada umat beragama lain di Labuan yang sulit beribadah kemudian perlu tempat ibadah dan ternyata ada niat baik dari pandita ya kita dukung. Karena sesama umat manusia kita harus saling membantu,” tutur Ustaz Toni selaku tokoh agama Muslim di Labuan.
Kunci agar dalam pendirian rumah ibadah tidak menimbulkan konflik, lanjut Sumedho, harus memperhatikan prosedur dan ketentuan yang ada, kemudian mengikuti Peraturan Bersama (Perber) Dua Menteri Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Menurutnya, yang terpenting adalah harus saling bisa menghormati serta menyesuaikan diri, mau menerima masukan dan nasihat.
Keseharian yang Harmonis
Vihara yang direnovasi tahun 2015 agar bangunannya lebih kuat dan dapat memuat lebih banyak umat Buddha untuk menjalankan puja bakti atau ibadah ini kini dapat menampung kurang lebih 150 Jiwa yang tinggal di Labuan dan sekitarnya, termasuk kecamatan Panimbang.
“Ya, sekarang ada sekitar 50 KK”, terang romo yang juga menjabat sebagai Pandita Lokapalasraya Kementerian Agama Republik Indonesia.
Labuan adalah sebuah kecamatan dengan kota kecil yang mempunyai populasi cukup beragam jika dibandingkan dengan wilayah Pandeglang lainnya. Berbagai kelompok masyarakat yang berbeda etnis, budaya, serta agama yang mendiami Labuan menciptakan kehidupan sehari-hari yang toleran.
Vihara ini merupakan satu-satunya rumah ibadah Buddha yang terdapat di Kabupaten Pandeglang. Bagi Sumedho dan ustaz Toni Vihara Buddha Ratana bukan sekadar tempat ibadah umat Buddha. 30 tahun kiprah vihara telah menorehkan nilai sejarah yang sangat berarti bagi kerukunan lintas agama dan etnis masyarakat Labuan. Sejak mula umat Buddha yang hampir semuanya beretnis Tionghoa berada di Labuan, tak pernah ada konflik dan kekerasan antara mereka dengan warga yang mayoritas beragama Islam.
“Ini di sebelah vihara terdapat sebuah mushala. Kemudian di gang belakang terdapat sebuah gereja,” jelas Romo Sumedho menggambarkan toleransi yang terjadi.
Islam sebagai mayoritas tidak lantas menyingkirkan agama-agama lainnya. Umat agama selain Islam tetap mempunyai hak yang sama di Labuan.
Sabtu sore itu di dalam vihara tampak kompak Romo Sumedho, Ustaz Toni, pengurus vihara Hendrase, dan tokoh masyarakat Panimbang bergama Islam Agustiar. Mereka akrab satu sama lain dan menjelaskan contoh-contoh kecil tentang toleransi yang menjadi praktik hidup sehari-hari di Labuan.
Kemajemukan yang toleran, misalnya, termanifestasi dalam aktivitas harian transaksi jual-beli, mengingat sebagian besar umat Buddha beretnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang. Interaksi yang saling menghargai ini terbukti dari kondusifnya Labuan yang jauh dari konflik sektarian, baik berbasis agama maupun etnis.
Demikianpun aktivitas yang bersifat ritual di setiap peristiwa keagamaan berjalan penuh khidmat dengan melibatkan satu sama lainnya. Ustaz Toni memaparkan, masyarakat Muslim yang sedang mengadakan acara tasyakuran atau ketika musim “ngalepeut” tiba, tak luput mengundang, mengajak, serta berbagi makanan kepada umat Buddha. Tak sedikit etnis Tionghoa yang diundang dan hadir untuk makan bersama.
Bertukar makanan ketika ada kegiatan keagamaan atau kebudayaan yang berbeda bukanlah hal yang asing di Labuan. Begitupun sebaliknya. Jika Imlek datang, warga etnis Tionghoa merayakannya dengan membagikan “dodol Imlek” kepada etnis lainnya di Labuan yang terdiri dari Sunda, Jawa, dan lainnya.
“Kita umat Buddha dan sebagai etnis Tionghoa di sini sama sekali tidak merasakan diskriminasi. Bahkan, kami sangat dirangkul oleh tokoh agama lain dan masyarakat sekitar. Saat ada kegiatan kami tak jarang diikutsertakan. Misalnya kemarin saat acara desa, Pak Camat dan Pak Lurah mengundang kami dan meminta untuk ada barongsai sebagai hiburan masyarakat. Kami sangat senang sekali. Dari pemudanya sering mengadakan gotong-royong dan bakti sosial bersama. Ini selalu rutin dilakukan apalagi pasca kejadian tsunami tahun 2018 silam,” Sumedho ikut menegaskan.
Melewati gang-gang sempit tidaklah menjadi masalah yang menyurutkan niat bagi umat Buddha beribadah ke salah satu rumah ibadah non-Muslim tertua di kota itu. Vihara yang terletak di lingkungan pasar menjadikan tempat tersebut dikelilingi kios-kios pedagang, baik sebelah kanan maupun kiri bangunan. Bahkan, teras depan vihara tak jarang dimanfaatkan dan ditempati pedagang kios kaki lima. Di depan rumah ibadah dan proses ritual keagamaan terjadi transaksi jual beli masyarakat lainnya.
Pedagang yang menempati teras depan vihara bukanlah umat Buddha. Namun begitu, dari pihak umat Buddha beserta pengurus memberikan kebijakan dan izin untuk sebagian tempatnya dipergunakan pedagang dari agama lain untuk menjajakan dagangannya. Hal tersebut diakui oleh umat yang beribadah di Vihara Buddha Ratana dan pengurusnya sebagai bentuk toleransi dan kerja sama, saling pengertian, di lingkungan vihara dengan masyarakat Labuan.
“Masih banyak kegiatan lain yang merefleksikan keharmonisan masyarakat di Labuan. Di sini dijamin kebebasan beragamanya. Bukan hanya surau, vihara dan gereja juga berdiri kokoh tanpa khawatir upaya konfrontasi dan penggusuran, asalkan kita mengikuti aturan dan prosedur,” tutur Pandita.
Pandeglang dan Tantangan Toleransi
Jika masyarakat Labuan dapat hidup dengan toleran, berbeda dengan yang terjadi di Kampung Sambolo, Desa Sukarame, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang. Di Carita, kecamatan yang berdampingan dengan Labuan, sempat terjadi penolakan keras terkait pembangunan sebuah rumah ibadah St. Gabriel pada tahun 2018.
Penolakan disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Carita Ustad Anhar Muhyani. Ia menjelaskan jika pembangunan gereja tersebut tidak mengantongi izin serta tidak memenuhi syarat prosedur Perber tahun 2006 dimana syarat khususnya adalah meliputi daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit adalah 90 orang yang disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Akibat dari penolakan dan kecaman dari warga sekitar, pembangunan gereja tersebut mau tidak mau dihentikan. Patung-patung yang penunjang peribadatan juga dimusnahkan oleh pekerja.
6 Februari 2011 pernah terjadi penyerangan dan pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang. Akibat penyerangan dan pengusiran ini 3 jemaat Ahmadiyah meninggal dan beberapa rumah mereka hancur. Sampai saat ini jemaat Ahmadiyah tidak bisa kembali, karena pemerintah daerah tidak bisa menjamin keamanan mereka. Rumah dan pekarangan mereka terbengkalai.
Menganggapi perihal intoleransi yang masih berlangsung di Pandeglang, Ketua Fraksi Partai Golongan Karya DPRD Pandeglang Agus Khotibul Umam sangat menyesalkan kasus-kasus intoleransi yang terjadi di Pandeglang di tahun-tahun sebelum dirinya menjadi anggota dewan. Meski demikian, ia mengakui jika potensi konflik sosial di Provinsi Banten masih mungkin terjadi.
“Sejauh ini kita belum mendapat informasi soal didampingi dan difasilitasi terkait pembangunan rumah ibadah non-Muslim. Tapi hendaknya pemerintah mendampingi dan memfasilitasi soal pembangunan tempat ibadah tersebut,” harapnya.
Ia pun mencontohkan polemik rumah ibadah yang ternyata masih ada di wilayah Labuan. Di perumahan BTN yang berjarak 1 Km dari Jaha, Labuan, tempat Agus Umam mengurus pesantren dan sekolah, umat Kristen belum bisa mempunyai gereja.
“Di perumahan itu kebetulan penghuninya mayoritas orang Sumatera Utara yang non-Muslim. Mereka akhirnya membuat rumah ibadah sendiri. Ada satu rumah yang dipakai kebaktian. Ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah untuk memfasilitasi mereka. Tapi pemerintah kurang peduli soal seperti ini,” jelas Agus melalui pesan singkat (23/10).
Agus menekankan pentingnya penyebaran pemahaman yang inklusif pada masyarakat. Kampanye toleransi ini bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat sipil melalui kegiatan-kegiatan yang rutin dan berkesinambungan, baik dilakukan secara langsung melibatkan masyarakat yang menyentuh akar rumput ataupun melalui media.
Harus diakui, lanjut Agus Umam, Pemerintah Kabupaten Pandeglang sendiri belum memiliki pemahaman keislaman yang kaffah, sehingga tidak ada itikad baik untuk mensosialisasikan pemahaman inklusif ke masyarakat dengan melibatkan pakar atau narasumber-narasumber lokal yang mumpuni.
“Ini harus ada pendekatan intensif ke pemerintah daerah tentang penting membangun sikap toleran di masyarakat. Pemerintah lalu mensosialisasikan ke masyarakat, ke tokoh-tokohnya, dan seterusnya. Juga yang terpenting harus ada penyebaran pemahaman melalui diskusi, seminar, dan iklan di radio lokal. Ini penting dan tidak bisa instan, harus perlahan dan qontinue. Supaya masyarakat benar-benar paham dan bisa menerima kehadiran minoritas, terutama kehadiran tempat ibadahnya,” tambah Agus.
Kecemasan lainnya, menurut Agus, selama ini di Pandeglang tokoh agama dan masyarakatnya lebih didekati Front Pembela Islam (FPI). Sementara ormas inklusif seperti Nahdlatul Ulama (NU), Ansor, jaringan Gusdurian belum menyentuh masyarakat.
Karena itu Agus kembali menekankan bahwa pemahaman inklusif terhadap masyarakat membutuhkan kerjasama dari semua pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Ia berharap agar sering diadakan kegiatan-kegiatan di Pandeglang dengan melibatkan pemerintah dan semua elemen masyarakat sehingga pemahaman keislaman yang baik dan benar bisa dipahami oleh masyarakat.
Anak Muda Agen Keberagaman
Harmoni di antara pemeluk agama sebagaimana dikembangkan Vihara Ratana Labuan mesti dijaga dan dirawat. Ini adalah modal utama untuk perkembangan praktik dan diskursus masyarakat madani yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Hal tersebut penting sekali dikampanyekan secara massif agar Pandeglang dan Banten secara umum, di era revolusi digital, masyarakat dapat menghargai perbedaan dan pemerintah daerah menerapkan kebijakan terkait agama sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Untuk itulah keterlibatan aktif anak muda di Banten menjadi kemestian. Penggerak dan pencetus keberagaman atau toleransi beragama seperti komunitas Gusdurian Banten dan Forum Komunikasi Pemuda Lintas Agama (Fokapela) harus lebih aktif dan kreatif mengkampanyekan keberagaman.
Sehingga, keduanya semakin relevan memupuk dan menyuarakan semangat toleransi beragama demi menjadikan Banten sebagai daerah yang toleran terhadap agama atau keyakinan yang berbeda.
Salah satu penggerak Gusdurian Banten Taufik Hidayat secara optimis mengungkapkan jika toleransi beragama di Banten sangat baik dan erat sekali, apabila sudah berkumpul dan berbincang atau berdialog bersama.
“Ya, tentunya pasti kita semua sebagai elemen bangsa Indonesia menyepakati akan terus merawat kehidupan yang beragam ini. Sudah barang tentu ini adalah warisan leluhur kita sebagai jati diri bangsa,” ugkapnya lagi.
Sikap dan praktik toleransi terpancar dari interaksi keseharian Vihara Buddha Ratana di Labuan serta kehidupan sosial masyarakat di sekitar vihara. Hal ini harus secara serius didukung anak muda dan komunitas yang concern terhadap keberagaman yang semakin banyak jumlahnya dan aktif mengadakan kegiatan toleransi beragama di Banten. Setidaknya, kondisi tersebut dapat menepis maraknya konflik dan kesalahpahaman antarumat beragama.
“Sesungguhnya perbedaan yang muncul itu merupakan satu keindahan jika kita mampu menyatukan perbedaan tersebut, dan untuk kasus intoleransi yang masih terus berlangsung ini cukup disayangkan. Saya berharap masyarakat dapat hidup damai berdampingan seperti yang tercontoh di Labuan ini,” kata Romo Sumedho kepada para jurnalis kampus dari lembaga pers mahasiswa dari wilayah Lampung, Banten, Jakarta, Bandung, Pekalongan, Semarang, Kudus, dan Palembang agar selalu dapat merawat dan menyuarakan isu-isu keberagaman dengan baik.
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia