14 Tahun Perjuangan Umat Baha’i Catatkan Perkawinan
Belasan tahun umat Baha’i berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang sama dengan penganut agama lain.

Kredit foto: https://bahai.id/pertemuan-doa
Derai tawa terbit dari pria kelahiran Tulungagung itu, mengingat 14 tahun perjuangannya mencatatkan perkawinan.
Justisia.com – Srek… srek… bunyi lembar demi lembar kertas dibuka dan ditutup mengiringi cerita seorang penganut agama Baha’i yang berkediaman di Bogor, Sugiarto. Ia sedang memeriksa kembali dokumen-dokumen yang menjadi saksi bisu bagaimana upayanya bertahun-tahun dalam mencatatkan perkawinan di Suku Dinas (Sudin) Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jakarta Selatan.
“Saya menikah tahun 2003, setelah itu saya membuat Kartu Keluarga. Waktu itu kami sudah mencatatkan kalau kami agama Baha’i, tapi Kartu Keluarga saya (ketika dicetak) tertulis sebagai agama Islam,” ujarnya mengawali cerita.
Pada 2004 Sugiarto dan Muamaroh dikarunia seorang putra. Pada akta kelahiran putra pertamanya hanya tercantum nama Muamaroh sebagai ibu. Ini adalah imbas dari tidak tercatatnya perkawinan Sugiarto di catatan sipil. Ia hanya memiliki surat nikah Baha’i yang dikeluarkan oleh Majelis Rohani Setempat (MRS) Jakarta selatan.
Sebelas tahun ia berusaha mencatatkan perkawinan, mulai ke Catatan Sipil, KUA setempat, sampai Sudin Kependudukan Jakarta Selatan, namun semuanya nihil, tanpa hasil. Kemudian pada 2015, ia mendengar kabar bahwa perkawinannya sudah bisa dicatatkan, tetapi Sugiarto kembali dihadapkan pada serangkaian prosedur panjang.
Ia harus mengubah Kartu Keluarga, KTP, dan dokumen lain, yang sebelumnya tertulis agama Islam, ke agama lain, sebab buku nikah miliknya adalah buku nikah agama Baha’i.
Ketika Sugiarto meminta untuk ditulis sebagai penganut agama Baha’i, pihak kelurahan tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut. Ia pun menuju Sudin sebagaimana arahan yang diterimanya. Di sana ia disarankan untuk menulis strip (-) saja di kolom agama catatan sipilnya.
Setelah semua dokumen ia perbarui, surat pengantar nikah dan beberapa persyaratan sudah lengkap, pria 47 tahun itu pun membawanya ke Catatan Sipil untuk diproses. Satu minggu kemudian ia datang dengan menghadirkan tiga saksi dan ‘menikah’ lagi di sana.
2017, sudah dua tahun ia menunggu sejak ‘menikah’ untuk ‘kali kedua’ dengan perempuan yang sama. Akta nikah itu belum juga ia terima sampai lahir putra keduanya.
Kekhawatiran Sugiarto bahwa putra keduanya akan memiliki akta kelahiran ‘tak lazim’ seperti putra pertamanya dulu, membawa ia kembali ke Sudin untuk ‘menagih’ dokumen negara itu.
“Ternyata mereka tidak berani mengeluarkan [akta nikah] karena Kemendagri belum memberi instruksi dan tidak ada juklak [petunjuk pelaksanaan] untuk mencatatkan [akta nikah untuk agama Baha’i],” ujar Sugiarto.
Tidak berhenti sampai di situ, Sugiarto menempuh mediasi agar perkawinannya bisa dicatatkan dan anak keduanya mendapat akta kelahiran sebagaimana mestinya.
“Kamu harus ke pengadilan,” instruksi yang kemudian ia dapatkan saat mendatangi Kantor Kemendagri Jakarta Selatan di Pasar Minggu.
Sugiarto akhirnya mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendapatkan haknya. Setelah beberapa kali sidang selama satu bulan, pada sidang terakhir, permohonan Sugiarto dikabulkan oleh Pengadilan.
27 Maret 2018, Sugiarto akhirnya mendapatkan akta nikah resmi sekaligus akta kelahiran putranya.
“Alhamdulillah urusan administrasi jadi lebih gampang, prosesnya 14 tahunan,” ujarnya dibarengi dengan derai tawa.
Usaha panjangnya pun membuahkan hasil. Sayangnya, masih ditulis dengan strip (-) pada kolom agama di KTP dan akta nikahnya. Sugiarto berharap selanjutnya agamanya bisa tertulis apa adanya dalam administrasi kependudukan (adminduk): Baha’i.
“Next step harus diperjuangkan, supaya kita (umat Baha’i) tertib administrasi. Kita bisa jujur kalau kita agama Baha’i, identitas kita jelas, tidak sampai salah paham ketika ditanya pihak lain. Kalau strip juga tidak mewakili apa-apa,” tukasnya.
Pengurangan penikmatan HAM
Persoalan kolom agama di adminduk yang hanya memuat tujuh agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan), telah memunculkan banyak masalah turunan yang membedakan dalam mengakses atau mendapatkan pelayanan hak warga negara yang satu dengan lainnya.
Beberapa kelompok warga tidak terkendala dalam mengakses hak-hak publik, sementara kelompok lainnya di luar agama-agama yang diakui negara mendapat kesulitan. Sugiarto adalah satu dari sekian banyak minoritas yang harus menempuh jalan panjang untuk mengakses haknya sebagai warga negara.
Dalam penelitian Hasan Ainul Yakin, Sarjana Hukum UIN Walisongo Semarang, pada tahun 2020 tentang “Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016 Terkait Kolom Agama Terhadap Status Perkawinan Penganut Agama Baha’i: Studi Kasus di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah” menunjukkan bahwa penganut agama Baha’i di Pati juga belum bisa mencatatkan perkawinannya.
Amalusiana, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, dan Pengangkatan Anak di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati Jawa Tengah, menjelaskan bahwa pernikahan umat Baha’i memang belum bisa dicatatkan, sebab belum ada regulasi dan teknis yang mengatur hal tersebut.
Tentu ini menjadi problem. Ketika pernikahan tidak tercatatkan, anak yang terlahir dari pasangan suami dan istri tersebut akan memperoleh akta kelahiran dengan tercantum nama ibu saja. Lazimnya, akta kelahiran semacam itu diperuntukkan untuk anak yang lahir dari hubungan di luar nikah.
Hal ini juga akan berdampak pada status di Kartu Keluarga di mana suami biasanya ditulis sebagai anggota keluarga dan istri menjadi kepala keluarga.
Hal serupa dialami Ponirin dan Mursiti, pasangan suami dan istri penganut agama Baha’i di Banyuwangi.
Menurut Deputi Direktur Human Rights Working Groups (HRWG) Daniel Awigra, pangkal persoalan terkait kolom agama di adminduk yang menelurkan banyak masalah seperti tidak tercatatnya perkawinan, akta kelahiran, bahkan dalam kasus-kasus tertentu turut pula mereduksi hak warga negara dalam sosial-ekonomi, adalah intervensi negara yang tidak pada tempatnya.
“Dalam konteks ini (agama) kewajiban negara itu negative intervention, cukup respect saja. Karena ini wilayah internum, keyakinan, negara tidak usah ikut campur urusan paling intim warga negaranya. Ketika negara masuk malah keliru,” tegas Awigra.
Dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Undang-undang juga menjamin kemerdekaan tiap warga negara untuk memeluk agama, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Lebih lanjut, sikap ‘kompromis’ yang ada dalam masyarakat, seperti bersedia ditulis sebagai penganut salah satu dari tujuh agama ‘resmi’ pemerintah, menurut Awi, sapaan akrabnya, adalah sebagai upaya untuk mendapatkan hak sipil yang saling terkait dengan hak sosial budaya.
“Sebab hak asasi itu sifatnya interdependen. Satu hak tidak diberi, hak lain bisa hilang. Maka jika akhirnya menerima, itu sifatnya kompromi. Daripada tidak dapat KTP, tidak bisa dicatatkan perkawinannya, tidak bisa mengakses PDAM, misal. Maka ya menerima saja,” jelas pria 39 tahun tersebut.
Masih menurut Awigra, fenomena ‘menormalkan’ intervensi negara yang tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan diskriminasi ini bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat kita hopeless, voiceless, untuk bersuara dan mengupayakan hak-hak mereka.
“Kebebasan beragama menjadi semacam pemberian oleh Pemerintah, padahal itu bukan pemberian, itu adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang,” tegasnya.
Untuk urusan perkawinan, Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)/ universal declaration of human rights menegaskan syarat membentuk keluarga melalui jalur pernikahan dan diakui oleh negara hanya ada dua. Pertama, cukup umur. Pria dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian.
Kedua adalah consent, tanpa paksaan. Menurut Awi, jika merujuk pada Pasal 16 DUHAM, negara wajib mencatatkan semua perkawinan tanpa perlu mempersoalkan ia datang dari agama apa, dan menikah dengan siapa (yang berbeda agama).
Di Indonesia, perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974. Pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan warga negara Indonesia sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Namun kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Itu berarti, suatu pernikahan walau sah secara agama, untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang disebut dalam undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Dalam hal ini, terdapat dua instansi yang berwenang untuk mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA) untuk agama Islam dan Kantor Catatan Sipil untuk perkawinan masyarakat Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan penghayat atau aliran kepercayaan. Sedangkan agama lain yang ada dalam masyarakat seperti Baha’i, Sikh, dan Yahudi tidak mendapat pelayanan adminduk yang sama.
Jika warga tidak terlayani adminduknya, maka terhalangi pula untuk dapat mengakses apa yang semestinya menjadi haknya sebagai warga negara, seperti hak-hak publik berupa kesehatan dan pendidikan yang gratis atau murah, mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS), TNI dan Polri, dan seterusnya.
Artinya, karena mereka tidak menganut 6 agama yang diakui negara atau bukan penghayat aliran kepercayaan, mereka terkurangi dalam menikmati hak-hak sipilnya. Tidak terpenuhinya hak adminduk seorang warga, akan terbatas pula haknya untuk mengakses pelayanan publik lainnya.
Dalam melihat masalah ini, Daniel Awigra memberikan alternatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah, yakni affirmative action atau positive discrimination.
Diskriminasi yang diperbolehkan, lanjut pria yang juga menjadi salah satu pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), yakni kebijakan untuk kelompok yang selama ini terdiskriminasi dan termarjinalkan, diberi tindakan pertolongan dalam waktu tertentu. Seperti keterlibatan perempuan 30 persen dalam parlemen, kebijakan ini diambil sebab selama ini, secara faktual, perempuan tidak terfasilitasi dalam budaya patriarki.
Ruang Dialog, Upaya Baha’i Mendapatkan Hak-hak Sipil
“Perjuangan kami dalam hak-hak sipil hanyalah sebagian kecil dari usaha umat Baha’i. Karena tanpa hak sipil keinginan untuk berkontribusi pun jadi tidak maksimal ruang-ruangnya,” ujar anggota Tim Hubungan Masyarakat dan Pemerintahan Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia Rina Tjua Lee Na.
Rina menuturkan, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia sedang dan terus berusaha untuk membuka ruang-ruang musyawarah dengan pemerintah terkait. Pada saat yang sama juga terus bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah non-politik seperti Komnas Perempuan, lembaga swadaya masyarakat dan komunitas-komunitas agama untuk memikirikan isu ini sebagai masalah bersama.
Kepada masyarakat umum Rina mendorong, di tengah permasalahan yang ada, sebagai saudara satu bangsa kita tidak saling menyalahkan. Sebaliknya, penting bagi semua pihak membuka ruang dialog dan diskusi ketika ada warga lainnya yang belum terlayani.
“Itu sudah menjadi tugas kita semua untuk mengupayakan solusinya,” ujar Rina.
Selain itu, upaya dialog yang dilakukan umat Baha’i di Indonesia pada masyarakat luas sudah dilakukan bertahun-tahun bahkan sebelum pencabutan Kepres Nomor 264 tahun 1962 oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000, tentang pelarangan beberapa organisasi, termasuk di dalamnya organisasi Baha’i.
Dalam kehidupan bernegara, masyarakat Baha’i memposisikan diri sebagai sekelompok orang yang berdaya dan berderajat setara, serta ingin menyumbang pada kemajuan bangsa.
“Kepada pemerintah kami seringkali membuka ruang untuk bermusyawarah melalui permohonan audiensi. Tidak jarang melalui audiensi tersebut kami menyatakan keinginan untuk turut berkontribusi terhadap kemajuan bangsa,” jelas Rina.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip umat Baha’i berupa ajaran kesatuan yang telah disampaikan oleh Baha’u’llah, pendiri agama Baha’i. Sehingga membuat umat Baha’i senantiasa menyelaraskan diri dengan masyarakat di mana mereka tinggal dan berupaya untuk membangun persatuan.
Di tengah perjuangan mendapatkan keadilan di negeri sendiri itulah, Rina mematahkan stigma Baha’i sebagai korban, termasuk pada kelompok-kelompok yang masih termarginalkan dalam mengakses hak-hak sipil dan urusan-urusan publik lainnya di Indonesia.
Sebagai agama yang sudah hadir di hampir dua ratusan negara, umat Baha’i adalah kelompok agama yang berdikari. Menurutnya, berlarut-larut di dalam mental ‘korban’ tak akan membawa dampak besar dalam arah perubahan menuju kondisi yang lebih baik, untuk Baha’i maupun bangsa ini.
“Kami tidak merasa sebagai korban. Kalau diskriminasi, di mana-mana memang selalu ada. Jika selamanya kita merasa sebagai korban yang perlu dikasihani, tidak ada banyak hal yang bisa kita sumbangkan, tidak banyak perubahan yang bisa kita hasilkan,” tegas Rina.
Karena itu pula, tegas Rina, berupaya untuk tidak memiliki mental ‘korban’ itu penting, tidak hanya dalam agama saja, tetapi semua hal. Adapun stigma korban yang melekat pada umat Baha’i, adalah akibat dari stereotip pada kelompok minoritas.
Semoga dengan upaya bersama berbagai elemen masyarakat maupun pemerintah, tidak ada lagi warga negara yang harus berjuang sampai 14 tahun untuk mendapatkan hak adminduk sebagaimana dialami Sugiarto.
“Kami tidak menuntut untuk mendapat pengakuan sebagai agama resmi dari pemerintah, kami hanya berharap mendapat pelayanan pencatatan sipil sebagaimana warga negara lainnya,” harap Rina. [Ed. Sidik/Red. Hikmah]
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tulisan lain terkait Agama Baha’i dapat diakses melalui link berikut: Cerita Tentang Institut Ruhi Sekolah Agama Baha’i
2 thoughts on “14 Tahun Perjuangan Umat Baha’i Catatkan Perkawinan”