Udara Jakarta Buruk, ISPU Perlu Revisi

Deskripsi: Liputan6.com
Situs daring penyedia peta polusi AirVisual pada (25/6/2019) menunjukan bahwa Jakata merupakan salah satu kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia.
Dilansir dari Kompas.com, Pemerintah DKI Jakarta sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dalam permasalahan tersebut berkilah. Udara Jakarta masih tergolong baik berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.45 Tahun 1997 tentang ISPU menjelaskan bahwa salah satu parameter yang dijadikan acuan adalah partikular sebesar PM 10. Hal ini tentu bertolak belakang dengan acuan yang digunakan oleh AirVisual. Media daring internasional tersebut menggunakan acuan PM 2,5.
Sesuai dengan pasal 1 ayat (1) butir pertama menerangkan, yang dimaksud dengan ISPU adalah angka yang tidak memiliki satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.
Jelas pada keterangan di atas kita perlu menyoroti secara jelas kata “dampak terhadap kesehatan manusia”. Apakah dengan standar lama yang masih dijadikan patokan tersebut masih relevan untuk mencapai tujuan melindungi dan/atau menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan salah satu tujuan yang tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Meninjau konsideran dari Undang-undang tersebut juga gamblang bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 H Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Standar acuan yang digunakan oleh pemerintah sudah sangat tidak relevan. Memang partikel dengan ukuran 10 makron juga berbahaya. Namun ukuran tersebut tergolong partikular yang kasar. Dampak partikel dengan ukuran 10 makron bisa sampai menembus paru-paru, namun yang lebih berbahaya lagi adalah partikel dengan ukuran 2,5 makron. Halusnya partikel dengan ukuran tersebut bahkan sampai bisa menembus sekat paru-paru.
Agaknya pemerintah DKI Jakarta takut untuk mengakui fakta yang ada. Perlu sikap dewasa dan kerja sama dari semua pihak untuk menuntaskan permasalahan ini. Sudah titahnya manusia hidup menghirup oksigen bukan karbon. Juga oksigen yang dimaksud bukan dalam tabung dan disalurkan selang di hidung ya.
Penulis: M. Rifqi A
Editor: Harli