Sejarah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Foto: Andre

Justisia.com-Pada hari Senin, 28 Januari 2019. Kami selaku alumni mengadakan suatu kunjungan ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Di sana kami berbincang-bincang mengenai sejarah, santri dan seputar Tebuireng.

Pondok Tebuireng didirikan pada tahun 1899, yang mana nama Tebuireng sendiri diambil dari nama dusun, berbeda dengan nama-nama pondok pada umumnya yang lebih islami.

”Dulunya dusun Tebuireng bernama Keboireng (kerbau hitam), itu karena pada suatu hari masyarakat menemukan kebo (kerbau) yang mati di sungai dan dikrumuni oleh lintah sehingga menjadi ireng (hitam). Seiring waktu  masyarakat banyak yang menanam tebu, karena adanya pabrik gula milik Belanda di sana. Limbah pabrik yang dibuang sembarangan di sungai, menyebabkan air sungai menjadi ireng. Akhirnya diberilah nama Pondok Pesantren Tebuireng hingga saat ini”. Ungkap Ust Yusuf selaku pembina santri.

Dalam masalah menuntut ilmu Kyai Hasyim selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain, baik dalam negeri maupun luar negeri.

”Dulu beliau belajar bersama Syaikhona Kholil di Madura, tapi tak berselang lama Kyai Hasyim disuruh pulang oleh Kyai Kholil. Kemudian beliau pun menikah dan melanjutkan pendidikan di Mekkah, berguru dengan kakeknya Syaikh Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Sampai akhirnya beliau menjadi ahli hadist Shohih Bukhori dan Muslim”. Ujar Ust Habib.

Setelah itu beliau pulang kekediaman ayahnya Kyai Asyar’i di Jombang. Letak Pesantren Tebuireng yang berdekatan dengan pabrik gula milik Belanda itu pun ada sebabnya, yang mana Belanda menjadikan tempat hiburan seperti: Pelacuran, main (judi), mabuk-mabukan dan maksiat. Perlahan demi perlahan beliau berdakwah di sana, sambil berdakwah beliau mendekati masyarakat dan sindennya (mucikari) untuk membeli tanahnya. Kyai Hasyim pun berniat mendirikan Pondok.

”Sebelum mendirikan pondok beliau puasa tiga tahun berturut-turut, kecuali hari tasyrik. Dalam tirakatnya beliau berdoa untuk diri, keluarga dan santri-santrinya”. Imbuh Ust Habib selaku santri senior

Bahkan Syaikhona Kholil juga pernah belajar hadist Shohih Bukhori dan Muslim ke Kyai Hasyim. Kemudian Kyai Hasyim mengetahuinya, ”Jenengankan Kyai saya”, kata Kyai Hasyim.”Oh mboten, Jenengan yang guru saya”, kata Kyai Kholil. Mereka saling berebut guru, kemudian Kyai Hasyim mempunyai ide, ”Jika jenengan menganggap saya guru, berati jenengan adalah santri saya, sebagai seorang santri harus nurut sama gurunya”. Lalu Kyai Hasyim menyuruh Kyai Kholil untuk sare (tidur) di ndalem pondok (rumah utama), Kyai hasyim menambahi, ”Nanti semisal pakaian jenengan kotor taruh di sini aja, biar santri yg mencucikannya”. Ternyata setelah ditelusuri Kyai Hasyim lah yang mencucikan pakaiannya”. Pungkas Ust Habib.

Tebuireng dulunya adalah pondok salaf, kemudian Kyai Wahid (anak pertama Kyai Hasyim) usul agar Tebuireng diadakan mata pelajaran formal, Kyai Hasyim pun akhirnya mengizinkan. Tetapi banyak pondok-pondok yang kurang setuju dengan itu, mereka beranggapan, ”Mengapa Tebuireng kok ikut-ikutan Belanda”. Dari situlah mengapa Tebuireng menjadi Pondok Pesantren Modern sekaligus Ssalaf.

”Dalam masalah akhlak sendiri, Tebuireng mengutip dari kitab karya Kyai Hasyim, Adabul Alim wa al-Muta’allim. Yang mana diringkas menjadi lima, yaitu: Ikhlas, jujur, kerja keras, tanggung jawab, dan tasamuh. Sehingga diharapkan santri Tebuireng dapat mengamalkan minimal  kelima sifat tersebut”. Imbuh Wakil Kepala Pondok Pesantren Tebuireng. (rep:Andre)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *