Persebaya (Tak) Menua

Menua bukan menjadi alasan ringkih berjalan, jauh dari tatapan masa depan, apalagi menghentikan amalan.

Judul Buku :MAKE PERSEBAYA 92EAT AGAIN (Catatan dari Pinggir Lapangan) Penulis : Agnes Santoso, dkk
Penerbit : Bonek Writer Forum
Jumlah Halaman : 136 H
Tahun Terbit : Juni 2019
Peresensi : Fadli Rs

You can’t buy history, history can only be made (Pemain Persebaya – Mario Karlovic)

Tim kebanggaan Kota Pahlawan kini menginjak usia ke 92. Tak main-main sejarah panjangnya di lintasan sepak bola tanah air. Soerabhaisasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) cikal bakal Persebaya lahir pada 18 Juni 1927. Kemudian hari angka 1927 identik klub yang kini bermarkas di Gelora Bung Tomo.

Klub sepak bola tanpa suporter ibarat masakan Padang tanpa rendang. Hampa, bak mengunjungi teater kematian berukuran 90 X 110. Mengutip tulisan seorang pandit Sindhunata, sepak bola adalah olahraga yang menuntut setiap pelakunya melakukan kerja keras. Tak selesai di situ, keprihatinan akan terjadi di dalam dan luar lapangan hijau. (hal. 16)

Sepak bola di Kota Surabaya diwarnai suporter bernama Bonek. Belakangan disebut Bonita bagi pendukung perempuan. Apa yang terngiang di kepalamu tentang Bone(k/nita) ? Kebringasan ? Ketidakaturan ? atau Perlawanan Gruduk 1-3 saat Persebaya collaps ?

Bonek dengan segala manifestasinya telah kenyang akan stigma. Dunia nyata sekaligus maya hampir-hamir memberikan satu perspektif saja. Seolah menjadi narasi tunggal tak terpatahkan oleh sumbangsih Bonek hari ini pada sepak bola tanah air.

Stigma media pada Bonek menurut teoritis sosial asal Swiss menelaah bahwa kenyataan Bonek dan Persebaya bak signified dan signifier. Khalayak umum melihat signified hanya sebatas tarian tendangan, sekaligus motivasi pelatih dari pinggir lapangan. Signifier-nya justru jarang sekali disaksikan penggemar sepak bola sekalipun. Heroisme Bonek saat away days di manapun dan kapanpun. Perjalanan menjadi penggemar fanatik yang hadir di stadion setiap pertandingan ia penanda bahwa sepak bola tak sekedar 2X45 menit. Di luarnya masih banyak narasi-narasi yang tak dimunculkan. (hal. 58)

Bonek dalam kacamata Ferdinan De Sausurre, tak bisa dianggap remeh saat distigma sebagai tukang onar, maling gorengan hingga gembel. Mbonek (pergi nribun saat Persebaya Bertanding) menjadi salah satu rukun Iman bagi Bonek sendiri. Jikalau mbonek kemudian terjadi hal di luar kendali dan media mendiskreditkan Bone(k/nita) sebagaimana stigma lamanya ?

Bonek akan melawan dengan sehormat-hormatnya. Melalui tulisan Fajar Junaedi berjudul Belajar Literasi Media dari Bonek menegaskan bahwa suporter Bajul Ijo memiliki nalar publik yang cerdas tur cadas.

Bonek melakuan literasi media saat melakukan protes atas program penyiaran talkshow Indonesia Lawyer Club dan Telurus di TV One. Melalui gerakan kirim pesan pendek kepada Komisi Penyiaran Informasi. Lalu mengadukan konten tersebut ke Dewan Pers sebagaimana dalam aturan, tetap menyelesaikan sengketa produk jurnalisme dalam mengedepankan kemerdekaan pers. (hal. 71).

Apresiasi tentu harus diberikan kepada Bonek dalam merampungkan masalah perihal produk jurnalistik. Literasi media di tubuh Bonek sedang berjalan, termasuk terbitnya buku berjudul MAKE PERSEBAYA 92EAT AGAIN yang diinisiasi oleh Bonek Forum Writer (BWF) yang melibatkan puluhan penggemar Bonek dari berbagai latar belakang. Kumpulan tulisan setebal 138 halaman ini dibagi dalam tiga bagian. Memori dan Motivasi, Bonek, Perlawanan, dan Persebaya serta Refleksi.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan menjadi Bonek ?

Namun langkah keliru justru dilakukan oleh pihak manajemen Persebaya saat berhadapan dengan Jawa Pos. Salah satu berita yang mendiskreditkan klub berujung laporan ke Polda Jawa Timur. Langkah ini jelas tergesa-gesa. Tak ada duduk bersama atau paling mudah, meniru langkah Bonek saat memiliki masalah dengan TV One. Ada apa dengan manajemen kala itu ?

Perlawanan Bonek

Bonek menghidupi Persebaya tak hanya soal beli-membeli jersey ori an-sich atau menyanyi hingga akhir pertandingan di segala penjuru stadion. Bonek melampaui itu, bahkan menjadi gerakan kolektif perlawanan atas ketidakadilan lewat berbagai medium. Ada yang melalui aksi demonstran di berbagai kota hingga aksi Geruduk 1 hingga 3.

Pilihan Bonek menjadi Holigan di ruang publik mestinya diejwantahkan saat mendukung Persebaya, baik di luar lapangan maupun dalam. Dukungan komunitas Bonek, Coretan Arek Persebaya (CAP12) atas karya mural yang mengkritik kebijakan PSSI hingga klub saat Persebaya sedang dilanda dualisme. Relasi CAP12 (red: bagian dari Bonek) dengan Persebaya tak ubahnya harga diri. (hal.89)

Bonekisme menjadi pembentuk kultur masyarakat menjadi identias terus dimaknai sampai kapanpun dalam Persebaya. Imajinasinya tak bisa digadai oleh jumlah rupiah, musababnya mereka tak hanya menonton tarian di lapangan namu telah masuk pada rasa bangga dan harga diri. Bonekisme dalam buku Imagened Persebaya karya Oryza merepresentasikan Bonek ibarat lagu Working Class Hero nya John Lennon bahwa kelas pekerja butuh hiburan selepas penat bekerja sepekan.

Meski bisnis merasuki klub-klub sepak bola seantero jagad, termasuk Bajul Ijo. Bonek menjadi anjing penjaga agar Persebaya tak lupa filosofi dan sejarah klubnya.

Jalan historis bajul ijo dari SIVB hingga Persebaya tak ubahnya klub zaman perserikatan. Di era revolusi industry 4.0, Presiden Klub Azrul Ananda akan membangun klub secara professional. Laiknya, klub-klub besar dengan segudang tropi sekaligus topangan fiskal. (Mungkin) Azrul Ananda bermimpi demikian.

The Green Force tak ubahnya puncak gunung es bagi topangan sejarah. Satu dekade silam Wisma Karanggayam masih digunakan tempat tinggal sekaligus aktivitas klub internal Persebaya selama bertahun-tahun. Nilai-nilai ke-Persebaya-an ditransfer di sana. Bak pabrik, turnamen internal menghasilkan pemain dengan mental dan skil mumpumi seperti, Rendy Irawan, Misbakhus Sholihin, Evan Dimas Darmono. (hal.47) Kalau pabrik mampet, bagaimana roh itu bisa tersampaikan di Wisma Karanggayam ?

Kalau hari ini masih melihat Rendy Irawan, Oktafianus Fernando, dan Misbakhus Solihin bermain dalam satu pertandingan itu adalah buah. Kawah Candradimukanya terletak di Karanggayam. Setiap pemain klub satelit (red: internal) terus menambah motivasi agar dapat menembus tim senior. Skuat Bajul Ijo bak puncak demi mendekatkan diri dan mengabdi di Persebaya.

Karanggayam sudah semestinya mendapatkan perhatian lebih. Filosofi ngosek-ngeyel belum tentu bisa diciptakan secara instan, butuh input sekaligus proses yang baik. Regenerasi barangkali spekulasi dalam hitung-hitungan bisnis, namun bangga beli asli demi Persebaya di masa mendatang mungkin lebih berarti. Tinggal bagaimana sikap manajemen dalam menentukan arah investasi.

Layaknya nalar sustainable, pun bisnis sepak bola tak hanya persoalan menyenangkan para suporter klub hingga menguras habis dompetnya demi klub kebanggaan. Timbal balik antara suporter dan klub ia tersirat begitu halus. Suporter tentu mengingkan klubnya berprestasi sehingga memberikan kebanggaan atas dirinya telah mati-matian mendukung hingga meraih trofi.

Apalagi bagi Bajul Ijo, ia menjema menjadi agama bagi bonek karena Persebaya bisa bersatu dan secara terus menerus menanggalkan semua ajaran agama resmi tetap berusaha berbuat kebaikan untuk sesama. Banyak hal positif telah digunakan Bonek.

Bonek sudah selayaknya menjadi ajaran, sebab ia bisa mengajak pemeluknya menyumbang apapun dan tribun menjadi altar untuk berdoa, dan bermunajat melalui chant. Tak hanya itu ia juga melakukan tawa, tangis dan air mata di atas tribun. (hal. 119)

Song For Pride tak sekedar nyanyian ia berubah menjadi service religious saat pertandingan dimulai. (hal. 81)

Doa dan Dukunganku menyertaimu
Kuyakin kau pasti bisa
Taklukan lawanmu
Ku selalu mendukungmu Persebaya

Menua bukan menjadi alasan ringkih berjalan, jauh dari tatapan masa depan, apalagi menghentikan amalan. Menua justru menjadi cambuk, perjuangan yang tak kenal usia selama tarian di lapangan masih diperbolehkan dan tak ada larangan menyanyikan Song For Pride.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *