Perlukah direnungkan? Kembali ke Desa atau Menjadi Makhluk Urban

Negara ini adalah negara agraris, mayoritas hidup mengandalkan alam, baik bertani, maupun berternak. Kita tumbuh besar dan sekolah dari hasil bertani orang tua kita. Ini adalah ikon negara kita, lalu sejak kapan kita menganggap petani dan peternak sebagai pekerja yang kotor, dan rendahan?

Sumber: Beritagar

“Wibawa Petani Menghidupi Seluruh Negeri”

Oleh: M. Ali Masruri

Adakah kesalahpahaman pada paradigma kita dalam menghadapi globalisasi?. Persoalan seperti ini hanya dipandang sebelah mata oleh kaum muda, yang katanya generasi penerus bangsa.

Cerita dimulai pada suatu perjalanan tanggal 4 Januari kemaren, dengan niatan awal melakukan riset tentang agraria di daerah paling selatan Kabupaten Kebumen, kawan-kawan pejuang agraria tentu paham daerah ini.

Singkat cerita, di tengah pembicaraan pak Lurah menyisipkan keluhan tentang kondisi SDM di desanya, terutama kaula muda. Banyak yang pergi merantau, ada yang di Jakarta, dan yang paling banyak di Kalimantan.

Apa perlu direnungkan? melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pemerintah menginginkan pembangunan melalui sektor pinggir, atau optimalisasi pembangunan di desa. Sebagai upaya meminimalisir urbanisasi sehingga meningkatkan daya saing perekonomian secara merata juga melestarikan budaya Indonesia, maka kembali ke desa menjadi program serius yang hendak dijalankan.

Tapi ujar pak Lurah: “Saya ingin memajukan desa ini, baik melalui pertaniannya dengan meningkatkan hasilnya, baik ketahanannya, kualitasnya, dan kuantitasnya, juga agrobisnisnya lewat pasar rakyat. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan masyarakat pun tidak lagi perlu migrasi ke kota. Tentu semua ini bisa dilakukan jika melibatkan generasi muda”.

Nahasnya, generasi muda di desa pak Lurah lebih memilih untuk menjadi penduduk urban, ada yang pergi ke Jakarta dan ke Kalimantan. Alhasil, “maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”, mengapa? kata pak Lurahnya si begini: “memajukan sebuah desa harus dimulai dari mengubah mindset pemuda masa kini oleh sebab globalisasi”, paparnya.

Saya tentu setuju dengan pak Lurah. Sebab, dalam globalisasi, nilai-nilai budaya dominan digunakan sebagai standar nilai bagi kebudayaan-kebudayaan lain. Seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama, ekspansi sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik liberalisme telah menciptakan sebuah sistem budaya seragam dan homogen, sebagai tanda dengan apa yang disebut akhir sejarah (the end of history).

Kita sadar nggak si?, jika selama ini program-program pemerintah yang diidam-idamkan dapat membawa Indonesia menjadi negara maju, sebenarnya mengandung sebuah paradoks.

Oke, pemerintah memang berhak menuntut generasi bangsa agar menjadi generasi yang mandiri, kreatif, dan memiliki daya saing dalam berbagai sektor, ekonomi lah, budaya lah, teknologi lah, keilmuan lah atau apapun itu yang menjadi tolak ukur kemajuan sebuah negara, dan ini sungguh positif.

Namun di sisi lain, dalam kebingungan masyarakat. Di saat yang sama, pemerintah begitu gencar mengijinkan industrialisasi secara besar-besaran, seperti properti yang semakin menggila, maupun hiburan yang tidak jelas manfaatnya. Bayangkan, masyarakat setiap hari ditawari pernak-pernik gaya hidup instan, dan mewah lewat iklan maupun film yang secara tidak sadar menyuntikkan serum budaya hedonisme di hati dan otak masyarakat.

Ya, bagaimana lagi, itulah budaya industri. Industrialisasi secara sosiologis dapat mempengaruhi budaya dan karakter bangsa. Menurut Theodor Adorno, Budaya Industri adalah kebudayaan massa yang diatur dan dikendalikan oleh kelompok elite dari atas (top down), untuk membedakannya dari budaya rakyat, yang justru tumbuh dari bawah, yaitu dari rakyat itu sendiri (grassroot culture).

Ada hubungan mesra antara perkembangan industrialisasi, dengan apa yang disebut budaya populer (populer culture). Budaya populer merupakan budaya khusus yang berkembang bersamaan dengan berkembangnya industrialisasi, produksi massa, dan media massa. Sebuah kebudayaan rendah, lantaran sifatnya yang bawah, kebanyakan, dan rata-rata tanpa menghasilkan sesuatu yang baru (newsness).

Ingat tidak? Waktu dulu saat masih SD, ketika ditanya oleh guru “apa cita-cita kita”, lalu apa jawaban kita? Ada yang menjawab guru, dokter, polisi, tentara, presiden, dan jenis pekerjaan lainnya yang tiba-tiba terdesain sangat keren dan berwibawa di masyarakat. Kok bisa? Kok tidak ada yang menjawab ingin menjadi petani kreatif, atau peternak kreatif. Padahal 90% dari kita hidup dan sekolah dari hasil bertani dan berternak orang tua kita (woy).

Cita-cita itu telah mengkarat sampai kita masuk bangku pendidikan tinggi, sehingga lebih banyak sarjana yang malas “kembali ke desa”. Pernahkah kita mempertanyakan “mungkinkah ada kekeliruan pada sistem dan kurikulum pendidikan kita selama ini?”. Pertanyaan ini muncul dari mulut kepala desa yang merasa kecolongan generasi mudanya yang lebih suka menjadi makhluk urban, daripada membangun desa kelahirannya.

Ada satu tawaran solusi, dengan melakukan shifting dalam pendidikan kita. Mengikuti ajaran Prof. Rhenald Kasali, “ubah pola mengajar dari what to learn menjadi how to learn“. Saya jadi ingat cerita teman saya yang kuliah di Universitas Gorontalo, saat ia melakukan pengabdian di Sekolah Dasar yang berada di pelosok daerah, tepatnya di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.

Ketika teman saya menanyakan cita-cita pada para murid SD itu, satu-persatu dari mereka, mayoritas menjawab dengan jawaban mainstream, jadi guru, dokter, dkk. Tapi tidak untuk satu murid istimewa ini, dengan lugunya ia menjawab, “ingin menjadi tukang bangunan” jenis pekerjaan yang seringnya bukan menjadi pilihan melainkan tuntutan takdir.

Bukan apa-apa, alasan anak itu sangat sederhana, “sebab ayah bekerja sebagai tukang bangunan, dan kakak pertama kuliah, kakak kedua juga sekolah begitu pun saya, dari hasil ayah bekerja sebagai tukang bangunan”. Pertanyaannya adalah mengapa anak ini bisa melihat kelebihan ayahnya sedangkan yang lainnya tidak?.

Negara ini adalah negara agraris, mayoritas hidup mengandalkan alam, baik bertani, maupun berternak. Kita tumbuh besar dan sekolah dari hasil bertani orang tua kita. Ini adalah ikon negara kita, lalu sejak kapan kita menganggap petani dan peternak sebagai pekerja yang kotor, dan rendahan? Sehingga lebih asyik menjadi manusia urban yang belum tentu menjanjikan kebahagiaan.

Betapa naifnya kita. Budaya populer yang selama ini kita banggakan telah menghasilkan sebuah kebudayaan tidak autentik (inauthentic culture), pengomandoan massa dari atas oleh kelompok elite. Sebagaimana yang dikatakan Yasraf, pada keadaan semacam ini, kita mempunyai peran minim dalam mendefinisikan dan mengendalikan wacana itu sendiri. Sebab, hal itu telah menciptakan masyarakat sebagai mayoritas yang diam, dibentuk di dalam sebuah wacana di luar dirinya.

Bertani tidak selamanya rendah, contohnya, banyak CEO tersentak, Jambu Klutuk yang diimpor dari India itu, yang dipakai bahan baku jus seperti Buavita, ternyata tumbuh subur di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, dengan luas perkebunan 791 hektar. Wibawa petani menghidupi seluruh negeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *