Mengapa Harus Menolak Pembungkaman Pers Suara USU ?

Peraturan perundangan di Indonesia telah menjamin warga negaranya untuk dapat menyampaikan pendapat secara bebas di muka umum termasuk kebebasan berekspresi lembaga pers.

Dipecatnya kru LPM USU dikarenakan mengunggah cerpen berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” di suarausu.co.

Pihak Rektorat Universitas Sumatera Utara (USU) langsung memecat seluruh pengurus Suara USU tahun 2019 dan digantikan oleh awak berdasarkan usulan rektor. Kejadian ini menjadi perhatian seluruh lembaga pers mahasiswa se-Indonesia.

Berdasarkan rilis PPMI melalui laman persma.org bahwa seharusnya kampus tidak melakukan tindakan demikian karena bertentangan dengan undang-undang.

Bahwa apa yang disampaikan oleh Suara USU melalui laman resminya suarausu.co diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Dalam cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya bisa ditafsirkan oleh pembaca ke arah manapun. Namun, inilah produk jurnalistik yang sudah terbit melalui rangkaian pagar redaksi.

Penulis dalam bingkai Undang-Undang Bab III pasal 5 ayat (1) bahwa sebagai warga negara berhak mengeluarkan pikiran secara bebas.

Maksud dari “mengeluarkan pikiran bebas” yang ditafsirkan mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak atau perasaan yang bebas dari fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan pasal 4.

“Jadi kesempatan pertama sampai di kampus, akan saya cabut SK nya itu. Tunggu balik ke Medan hari Senin. Websitenya juga sudah kami matikan,” kata Rektor USU Runtung yang dilansir oleh tempo.co (21/03).

Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 9 ayat (1) serta Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2014 tentang Statuta Universitas Sumatera Utara pasal 15 ayat (1) tentang Kebebasan Akademik.

Kebebasan akademik  yang dijamin oleh peraturan Pendidikan nyata dilindungi oleh undang-undang. Produk jurnalistik yang dikeluarkan oleh Suara USU yang notabene dianggap oleh rektor sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seharusnya dilindungi bukan dikebiri.

Salah kaprah jika cara-cara tidak bijak, seperti memecat sekaligus mengganti sesuai keinginan pihak rektorat. Pers harus memiliki independensi dan menyuarakan suara yang tak bersuara. Sudah saatnya birokrat-birokrat kampus tidak “ill feel” apalagi “tensin” terhadap kegiatan mahasiswanya sendiri.

Kalau sejak di kampus pikiran sudah dikekang. Memimpikan generasi di masa mendatang hanyalah bualan. Salam Solidaritas ! (Red: RS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *