Menara Kudus, Strategi Budaya Sunan Kudus
Saya melihat bahwa Sunan Kudus tidak sekadar menyebarkan agama Islam saja namun lebih dari itu juga membentuk kebudayaan. – Pengurus Kantor Menara Kudus, Deni.

Gambar: Kompas regional
Justisia.com – Kabupaten Kudus yang terletak di Jawa Tengah, tepatnya berada di antara Kabupaten Pati dan Kabupaten Demak bisa dibilang kabupaten yang tidak seperti kebanyakan kabupaten yang lain, karena di Kabupaten Kudus terdapat dua tokoh masyhur yang dikenal karena kebijaksanaannya yang pada masanya dalam menyebarkan ajaran agama Islam dengan ramah.
Kabupaten Kudus mempunyai dua Waliyullah atau kebanyakan orang menyebutnya Walisongo yaitu Sayyid Ja’far Shodiq atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kudus dan Raden Umar Said atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Muria.
Makam Sunan Muria terletak di bukit Muria di Desa Colo, Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus. Sedangkan Makam dari Sunan Kudus terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus. Hal yang menarik ketika berziarah di Sunan Kudus adalah kita dapat melihat bangunan menara yang merupakan peninggalan dari Sunan Kudus yang masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Terkait dengan sejarah dari Menara Kudus, Justisia.com berhasil menemui Deni Nur Hakim di kantor Menara Kudus yang berjarak sekitar 50 meter dari Menara Kudus.
Menara Kudus, Masjid Al-Aqsha, dan Prasasti
Deni menuturkan bahwa tujuan dibuatnya Menara Kudus adalah untuk menarik simpati dari masyarakat Hindu agar mau masuk ke agama Islam karena bentuknya yang mirip candi.
“Menara yang bangunanya seperti itu digunakan oleh Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam yang bangunanya mirip candi digunakan untuk menarik orang Hindu agar masuk Islam yang merupakan pendekatan budaya yang dilakukan oleh Sunan Kudus,” ujar pria yang bertempat tinggal di Jalan Sunan Kudus tersebut, Kamis (07/02/2019).
Lalu terkait nama Masjid yang berada di samping menara yang mirip dengan yang ada di Palestina adalah karena Sunan Kudus ingin mencontoh keadaan di sana yang mana waktu itu masyarakatnya mampu hidup rukun berdampingan sekalipun berbeda-beda kepercayaan.
“Masjid yang ada di menara di beri nama Al Aqsha itu sebenarnya beliau (Sunan Kudus) ingin mencontoh yang ada di daerah Palestina, kalau kita ketahui di situ (Palestina) tidak hanya agama Islam, tetapi ada beberapa agama yang dianut oleh masyarakat sana (Palestina) dan masyarakat di sana bisa hidup secara berdampingan pada masa lalu. itulah yang diinginkan oleh Sunan Kudus yaitu ingin Kudus menjadi pusat pengembangan agama islam dan masyarakat bisa berdampingan walaupun berbeda keyakinan,” ucapnya.
Kemudian mengenai cerita yang beredar di masyarakat bahwa menara itu merupakan hadiah yang diterima Sunan Kudus ketika di Timur Tengah. Hal itu tidak dibenarkan karena hingga sekarang pun bangunan di Timur Tengah menggunakan batu gunung, sedangkan bangunan Menara Kudus sendiri menggunakan batu bata.
“Sampai sekarang saja Timur Tengah bangunanya menggunakan batu gunung untuk mendirikan bangunan, sementara bangunan Menara Kudus menggunakan batu bata, apakah mungkin jika Menara Kudus dibawa dari sana? Mengapa? Karena memang batu bata lebih banyak di dapat di daerah sini,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa yang dibawa Sunan Kudus dari Timur Tengah adalah batu yang dibuat prasasti oleh Sunan Kudus dan Menara Kudus dibuat di Kudus.
“Yang dibawa Sunan Kudus dari Timur Tengah itu bukan menaranya menara itu dibuat di sini, tapi hanya sebuah batu yang digunakan oleh Sunan Kudus untuk membuat sebuah prasasti dan sekarang di pasang di mihrab pengimaman Masjid Menara Kudus,” imbuhnya.
Dalam prasasti tersebut terdapat beberapa filosofi, yaitu pemberian nama masjid, pemberian nama tempat, tanggal pendirian, serta pendirinya, yaitu Sayyid Ja’far Shodiq ataupun Sunan Kudus.
“Prasasti itu menceritakan beberapa poin penting, pertama pemberian nama Masjid yang diberikan kepada Sunan Kudus, yang kedua pemberian nama tempat dimana masjid itu didirikan yang ketiga tanggal pendirianya yaitu tanggal 19 Rajab tahun1956 Hijiriyah dan yang keempat adalah pendirinya yaitu Sayyid Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus,” imbuhnya.
Strategi Lain
Selain menara Kudus yang merupakan strategi budaya yang dilakukan oleh Sunan Kudus untuk menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus juga melarang pengikutnya menyembelih sapi karena sapi merupakan hewan yang dihormati oleh agama Hindu.
“Sunan Kudus melarang pengikutnya menyembelih sapi. Karena sapi adalah hewan yang dimuliakan oleh Masyarakat Hindu,” ucapnya.
Mata Air Penguripan
Selanjutnya mengenai mata air penguripan yang ampuh untuk pengobatan orang-orang yang sedang terkena penyakit bahkan bisa menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal beliau mengatakan jika orang yang sudah meninggal sepertinya tidak mungkin karena orang yang sudah meninggal organnya sudah tidak ada yang berfungsi lagi.
“Kalau orang meninggal itu sepertinya bukan jika berbicara secara logika, mengapa? karena orang meninggal sudah tidak bisa apa-apa lagi, organ tubuhnya sudah tidak ada yang berfungsi, karena untuk masalah itu juga belum ada buktinya karena itu kejadianya sudah ratusan tahun yang lalu,” terang pria asal Kudus tersebut.
Mengenai tempat mata air itu belum diketahui di mana tempatnya. Walaupun ada kisah yang mengatakan mata air tersebut telah ditutup oleh Sunan Kudus dengan Menara tersebut.
Namun para arkeolog dan juga pihak Kantor Cagar Budaya berani memastikan jika di bawah bangunan menara tersebut terdapat sumur yang fungsinya untuk mengatur temperatur bangunan menara. Namun kami belum mengetahui pasti apakah itu sumur yang dimaksud.
“Sekarang siapa yang bisa membuktikan adanya? Apa harus kita bongkar menaranya, kan tidak mungkin juga, namun dalam praktik yang dilakukan oleh para arkeolog dan Kantor Cagar Budaya, mereka berani memastikan bahwa di bawah bangunan menara itu terdapat sebuah sumur yang fungsi dari sumur itu adalah untuk mengatur temperatur bangunan menara itu sendiri, namun kita tidak mengetahui apakah sumur itu adalah sumur yang dimaksud oleh cerita yang beredar,” ucapnya.
Perihal cerita yang masih simpang siur kebenaranya, beliau mengatakan karena kebanyakan masyarakat Indonesia itu malas membaca dan juga tidak mau mengklarifikasi kebenaran hal tersebut. Sehingga banyak terjadi fitnah.
Filosofi Gusjigang
Gusjigang merupakan filosofi yang diajarkan oleh Sunan Kudus yaitu merupakan pembentukan karakter kepada masyarakat Kudus yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Gus yang berarti bagus. Yaitu bagus atau rukun sesama masyarakat walaupun berbeda kepercayaan.
Lalu Ji adalah ngaji yaitu bukan hanya ngaji Al-Quran, namun juga ngaji keadaan sekitar dan menghargai kehidupan. Serta Gang yang berarti dagang karena Kabupaten Kudus sempit dan tidak seluas Kabupaten lain. Maka Sunan Kudus mengajarkan untuk berdagang, karena jika bercocok tanam dengan keadaan tersebut tentu tidak memeungkinkan.
“Saya melihatnya lebih ke karakter beliau tidak hanya menyebarkan agama Islam saja, tapi juga membangun karakter dari masyarakat Kudus,” pungkasnya. (Rep:Haidar/Red:Am)