Menakar kesadaran profetik

Gambar: om-chokyblogspot.com
Oleh : Rusda Khoiruz
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hari ini banyak orang yang lupa bahagia. Bukan tanpa sebab, karena ukuran kebahagiaan hari ini adalah kepuasan duniawi atau sering disebut dengan sifat hedonism. Padahal sebenarnya ini adalah kebahagiaan yang sesaat atau menipu.
Raga kita pun tak akan selamanya abadi bisa merasakan kenikmatan yang bersifat inderawi; ada masa di mana fisik kita sudah tak berdaya, fasilitas dan kemewahan hidup sudah tak berguna lagi. Akan datang saatnya yang benar-benar kita butuhkan adalah ketentraman jiwa, dalam menggapainya pun tak sesederhana itu.
Salah satu sifat yang mendorong ke arah sifat hedonism adalah konsumerisme yang saat ini telah mempengerahui jiwa seseorang, menggunakan atau memiliki sesuatu di luar kebutuhan, seakan-akan ingin mengatakan pada seisi dunia inilah Aku. Gaya telah menjadi pedoman hidupnya, menjadikan jiwa dagang sebagai prinsipnya, yang mengharapkan balasan ketika memberi; aku melakukan ini maka aku harus mendapatkannya.
Seperti realitas pacaran saat ini ketika sang pria memberi; kau dapat uangku maka aku harus mendapatkan tubuhmu, begitu juga sebaliknya, kau dapatkan tubuhku maka aku harus dapatkan uangmu, kau dapat sesuatu dariku maka aku harus mendapatkan sesuatu darimu. Seakan nurani telah dibunuh demi mendapatkan kesenangan sesaat.
Para pemuda generasi penerus bangsa pun saat ini tengah dihadang oleh Visual intelegent atau kerap disebut kecerdasan buatan yang sedikit demi sedikit menggeser peran manusia dan akhirnya terjadilah dehumanisasi. Contoh kecil dalam dunia pendidikan, belajar sekarang tidak harus hadir di hadapan guru tinggal klik google ketik nama guru yang diinginkan, beres. Padahal dalam belajar seharusnya tak seinstan itu.
Ketergantungan pada alat sekarang seakan telah membuat manusia mempertuhankan alat. Tingginya ilmu teknologi benar-benar telah mempengaruhi mental seseorang.
Nampaknya kekeringan spiritual menjadi suatu persoalan yang serius. Obesitas informasi telah menjangkiti otak kaum muda saat ini. Semua informasi yang diterima seakan dilahap dicerna habis oleh otak yang kemudian mempengaruhi dalam mengambil sikap dalam hidupnya. Memang kita tidak bisa mengelak ketergantungan pada canggihnya ilmu teknologi, karena memang zamannya seperti ini.
Tapi setidaknya kita mempunyai kesadaran hari ini. Kesalahan dalam membangun pondasi awal sebelum menerima pengetahuan telah berdampak dan menimbulkan sederetan masalah di era generasi milenial ini. Maka sebenarnya komitmen dalam dunia pesantren telah mengajarkan kepada kita bahwa dilarangnya santri menggunakan alat elektronik atau smartphone itu semua dalam rangka memfokuskan membangun komitmen yang kuat.
Agar kelak ketika sudah keluar mampu menahan atau setidaknya membentengi dirinya dari ajaran yang sesuai dan mana yang tidak.
Sama halnya dengan kehidupan, jika tak memiliki komitmen atau prinsip yang jelas maka kehidupan akan terombang ambing. Terbawa arus perkembangan zaman yang akhirnya kita diperbudak oleh zaman.
Maka pada saatnya semua harus sadar bahwa kebahagiaan sebenarnya adalah tujuan hidup umat manusia. Hari ini kita lihat banyak yang tertipu dengan kebahagiaan sesaat. Menukar sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Padahal kebahagiaan tak sesempit dan tak segampang itu menggapainya,
Ada komitmen kesadaran untuk menggapai kebahagiaan, menurut Fahrudin faiz, setidaknya ada 4 komitmen dalam kehidupan. Yang pertama adalah komitmen formalitas, semata-mata ingin mendapatkan sesuatu tapi mengabaikan substansinya. Seperti contoh mahasiswa yang kuliah hanya ingin mencari ijazah S1. Dia akan acuh tak acuh apakah ia mendapatkan ilmu atau tidak ketika kuliah. pokoknya aku mendapatkan ijazah dan gelar,
Contoh lagi ketika ujian menjelang dia baru belajar. Tentunya belajar agar ketika ujian mendapat nilai baik. Kesadaran tingkat ini adalah yang terendah. Komitmen kedua, yaitu komitmen intelektual. Biasanya para ilmuwan lahir pada level ini. Tapi ini belum mencapai level yang tinggi karena yang mereka cari adalah rasa keingintahuan belaka. Ketika sudah tahu ya berhenti. Atau bisa dikatakan hanya sampai pada pengetahuan.
Kemudian selanjutnya komitmen ketiga, dalam Islam sering disebut komitmen sufistik. Ilmu yang kita dapat harus berkorelasi dengan pengembangan diri. Dengan kata lain ilmu itu harus diamalkan. Ada maqolah al ilmu bila amalin kasysyajarin bila tsamarin (ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon tanpa buah).
Nah, yang terakhir adalah komitmen atau kesadaran profetik. Dia sadar bahwa dirinya baik dan dirinya ingin memperbaiki orang lain. Dia mengamalkan pengetahuannya untuk dirinya sendiri dan juga pastinya untuk orang lain. Inilah kesadaran tertinggi, yang mencapai komitmen ini seperti para nabi, awliya, dan ulama. Akan tetapi sebelum mencapai kebahagiaan selesaikan dulu dirimu mulai dari komitmen kesadaran yang pertama kemudian naik ke level selanjutnya, sampai ke level yang tertinggi.
Sama halnya menurut Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Al-Ghozali menggolongkan manusia menjadi 4 golongan. Pertama, rojulun yadri wa yadri annahu yadri, seseorang yang tahu berilmu, dan dia tahu kalau dirinya tahu. Ini adalah golongan manusia yang paling baik, juga bisa dinamakan ini adalah tingkat kesadaran profetik.
Ia juga memiliki kemapanan ilmu, dan ia tahu kalau dirinya itu berilmu. Maka ia akan berusaha semaksimal mungkin menggunakan ilmunya agar ilmunya bermanfaat bagi dirinya, bagi orang lain bahkan untuk seluruh untuk seluruh umat manusia dan alam seisinya.
Kedua, rojulun yadri wa laa yadri annahu yadri, seseorang yang tahu berilmu, tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu. Golongan ini sering kita jumpai di sekeliling kita, terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa akan tetapi dia sendiri tidak tahu kalau dirinya berpotensi. Atau bisa dikatakan orang jenis ini menggunakan ilmunya untuk diri sendiri.
Mungkin karena dia bingung atau tidak tahu bagaimana cara untuk mengamalkannya supaya juga bermanfaat untuk orang lain. Orang golongan ini bagaikan orang yang tertidur. Dan sikap kita harus membangunkannya.
Ketiga, rojuun laa yadri wa yadri annahu laa yadri, seseorang yang tidak tahu tidak atau belum berilmu, tapi dia tahu alias sadar diri kalau dirinya tidak tahu. Menurut Imam Ghozali, jenis manusia ini masih tergolong baik, sebab ia menyadari kekurangannya. kemudian ia belajar supaya ia tahu.
Keempat, rojulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri, seseorang yang tidak tahu tidak berilmu, dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Menurut Imam Ghozali, inilah golongan manusia yang paling buruk. Ini adalah jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa.
Wal iyadhu billah. Untuk itu mari kita introspeksi diri masing-masing di manakah kelompok level kita berada supaya kita bisa meraih kebahagiaan yang hakiki. Semoga bermanfaat.