Membaca Kembali Resensi Novel “Bumi Manusia”

Saya belum menyaksikan film “Bumi Manusia”. Keinginan untuk melihatnya, pastilah, memang ada. Tapi, saya tidak tahu apakah jadi menontonnya. Hanya saja, saya begitu senang dan sangat merasa takjub membaca novelnya pada awal 2000-an. Itulah ketika masa-masa berbagai buku yang dianggap terlarang pada zaman Orde Baru diterbitkan lagi, terutama oleh penerbit buku Bentang Pustaka, Yogyakarta, yang menampilkan sampul-sampul bukunya sangat indah.

Sebagai rasa suka cita dan takjub itu, saya menulis artikel berikut ini yang dimuat di rubrik sastra Suara Merdeka edisi Minggu, 18 Juli 2004. Mungkin, ada kenaifan akademis yang muncul dalam tulisan itu. Namun, saya merasa itulah ketika waktu-waktu untuk membaca prosa begitu saya rasakan dengan penuh kegairahan sebagaimana halnya ketika saya menulis aneka artikel untuk berbagai koran. Itulah momentum yang sekarang begitu saya rindukan.

***

Kaum Akademisi Ilmu Sosial, Bacalah “Bumi Manusia”!
Oleh Triyono Lukmantoro

Itulah seruan yang layak dilontarkan kepada mereka yang mengaku sebagai akademisi di bidang ilmu-ilmu sosial. Sebab, selama ini mereka sengaja mengasingkan-diri untuk tidak membaca karya-karya sastra. Apa sebabnya? Selama ini karya sastra dianggap tidak lebih sekadar ceritaan rekaan karena sifatnya yang sangat fiksional. Lain halnya, demikian kaum akademisi itu mencari pembenaran, dengan hasil-hasil penelitian atau buku-buku teks yang memuat teori-teori ilmu sosial yang sangat serius yang dianggap memuat berbagai realitas-empiris yang bersifat faktual. Tetapi, sudahkah kaum akademisi ilmu sosial itu membaca Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer? Mendengarnya mungkin sudah sangat sering, karena karya itu dianggap bermuatan politis. Namun, membacanya apalagi menyimaknya dengan cermat, agaknya masih harus diragukan.

Paparan berikut ini merupakan upaya melakukan intertekstualitas, yaitu pembacaan secara intensif untuk menghubungkan antara teks Bumi Manusia, terbitan Hasta Mitra, Tahun 2000, dengan teori-teori ilmu sosial yang relevan.

***

Sebenarnya bercerita tentang apa serta siapakah novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer (PAT), hingga masih tetap dibicarakan sampai sekarang ini? Barangkali secara politis, novel ini menjadi sedemikian istimewa dan fenomenal, karena ditulis PAT dalam masa penahanannya di Pulau Buru. Novel ini, menurut PAT sendiri, dituturkan secara lisan pada tahun 1973, serta kemudian ditulis secara sistematis sebagai cerita yang utuh pada tahun 1975. Bumi Manusia merupakan novel pertama dari rangkaian tetralogi atau kwartet karya Pulau Buru PAT, selain Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca. Tetralogi itu menjadi pusat perbincangan, barangkali saja, karena dilarang oleh rezim Orde Baru semenjak tahun 1981. Ironisnya, larangan yang dikeluarkan pihak Kejaksaan Agung itu sampai sekarang belum pernah dicabut.

Apakah novel Bumi Manusia ini merupakan propaganda politik yang dijalankan PAT yang dikenal mempunyai haluan realisme sosialis itu? Harus dikemukakan bahwa dalam novel ini, tidak terasa satu pun provokasi serta dendam politik PAT yang diarahkan kepada pembaca untuk bersimpati pada PAT serta memusuhi rezim (Orde Baru) yang pernah berkuasa. Justru, yang harus ditegaskan secara penuh, Bumi Manusia tidak lain merupakan kisah cinta yang sedemikian tragis antara tokoh utamanya Minke dengan seorang perempuan yang bernama Annelies Mellema (hlm. 354). Tetapi kisah cinta mereka bukanlah sekadar menuturkan kasih-asmara yang menonjolkan romantisme, melainkan diselimuti oleh berbagai latar belakang berkecamuknya politik kolonial yang represif dan diskriminatif.

Karakteristik PAT dalam mendeskripsikan situasi psikologis dan sosiologis tokoh-tokohnya sedemikian memikat. Dengan sudutpandang orang pertama (aku), misalnya saja, PAT memperkenalkan sang tokoh utama, seperti ini: “Orang memanggil aku: Minke” (hlm. 1). Minke, jelas nama yang sangat aneh, tidak jamak atau lazim. Kalau ini nama ningrat Jawa, lalu artinya apa? Sebab, nama-nama ningrat Jawa sendiri selalu mempunyai rujukan makna dengan kebesaran alam dan jiwa. Ternyata, nama Minke diberikan padanya ketika bersekolah di ELS. Saat itu, ada seorang gadis bernama Vera yang mencubit pahanya sebagai tanda perkenalan. Karena tidak mampu menahan rasa sakit, Minke pun menjerit kesakitan. Gurunya, Meneer Ben Rooseboom membentak dan melotot: “Diam kau, monk …. Minke!” (hlm. 33). Saat itu, Minke merupakan satu-satunya murid pribumi, sedangkan guru dan teman-temannya jelas adalah bangsa Eropa (Belanda Totok). Sehingga, Minke sebenarnya merupakan sebutan yang merendahkan terhadap golongan pribumi, untuk menunjukkannya sebagai monyet (monkey).

Semenjak awal, Minke sendiri sudah mempertanyakan nasibnya sebagai golongan pribumi yang selalu dilecehkan. Sebagai contoh, antara dia dengan Sri Ratu Wilhelmina mempunyai tanggal, bulan, serta tahun kelahiran yang sama, 31 Agustus 1880. Perbedaannya hanyalah pada jam dan kelamin saja. Kalau berdasarkan perhitungan astrologi (perbintangan), jelas keduanya mempunyai nasib yang sama. Tetapi apa yang terjadi adalah yang satu menjadi ratu sementara yang lain menjadi kawulanya. Dengan realitas sosial semacam ini, Minke pun sependapat dengan apa yang dinyatakan gurunya, Juffrouw Magda Peters yang merujuk pendapat Thomas Aquinas, bahwa astrologi tidak lebih sebagai lelucon belaka (hlm. 5 & 7).

Tetapi, sebagai kawula pribumi, tetap saja Minke terpukau dan bahkan cenderung obsesif terhadap citra diri Sri Ratu Wilhelmina yang digambarkannya sebagai “Dewi Kecantikan kekasih para dewa”. Sampai mengalami situasi psikologis yang semacam itu, sebenarnya, Minke mempunyai inferioritas diri yang sedemikian pekat sebagai seorang pribumi. Kadar inferioritas kepribumian Minke sedikit terkurangi ketika dia bertemu dan berkenalan dengan Annelies, seorang Indo dari hasil perkawinan antara Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellema. Digambarkan dalam keseluruhan novel bahwa Annelies merupakan gadis yang sangat cantik, sehingga membuat orang lain kagum serta gampang jatuh cinta padanya. Salah seorang di antara yang jatuh cinta pada Annelies adalah Robert Suurhof yang selalu melecehkan, menghina serta merendahkan martabat Minke sebagai orang yang tidak mempunyai darah Eropa.

Tampaknya, tokoh Annelies ini merupakan alter-ego dari Sri Ratu Wilhelmina yang membuat Minke sangat obsesif dan rendah diri. Bahkan dapat dikatakan, Annelies merupakan personalisasi dari Sri Ratu Wilhelmina yang “turun ke bumi” untuk menanggapi dan memenuhi kehendak cinta Minke. Dan, keinginannya untuk memperistri Annelies pun dapat direalisasikan setelah Minke menyelesaikan sekolah HBS-nya. Sejak perkawinan itu, Minke tinggal di rumah Nyai Ontosoroh yang sedemikian besar dan megah. Keluarga Nyai Ontosoroh sendiri pun dapat dikatakan tidak harmonis. Suaminya, Herman Mellema, mempunyai tekanan jiwa yang akhirnya secara tragis meninggal di rumah plesiran (pelacuran) Babah Ah Tjong. Sementara anak sulungnya, Robert Mellema, lebih memilih bersikap hedonisitik dengan mengumbar hobi berburunya dan sekadar membicarakan sepak bola. Pada akhirnya, Robert Mellema juga kabur tanpa diketahui secara pasti jejaknya.

Meninggalnya Herman Mellema tidaklah berarti masalah kemudian selesai begitu saja. Justru mulai dari momentum itulah berbagai permasalahan yang berat selalu menimpa diri Nyai Ontosoroh. Pertama, Nyai Ontosoroh tetaplah figur perempuan pribumi yang tidak mempunyai hak milik apapun terhadap perusahaan dan peternakannya yang dikelola dengan sekuat kemampuan dan tenaganya hingga menjadi sedemikian besar, Boerderij Buitenzorg. Konsekuensi kedua dari kepribumian Nyai Ontosoroh adalah tidak mempunyai hak perwalian terhadap Annelies, putri yang merupakan darah dagingnya sendiri. Ini disebabkan Herman Mellema masih mempunyai istri yang sah di negeri Belanda, Amelia Mellema Hammers. Dengan istrinya ini, Herman Mellema mempunyai putra yang bernama Ir. Maurits Mellema. Kehidupan suami-istri Herman-Amelia tidaklah harmonis, namun Herman dianggap menggantung nasib istrinya dengan cara tidak cepat-cepat menceraikannya.

Secara hukum yang diterapkan oleh Pengadilan Putih di Hindia Belanda, posisi serta kekuatan Nyai Ontosoroh sebagai pribumi jelas-jelas dikalahkan. Hal lain yang membuat kedudukuan pribumi semakin terpojok adalah keputusan Pengadilan Amsterdam untuk menguasai seluruh harta-benda peninggalan mendiang Herman Mellema kepada anak kandungnya, Ir. Maurits Mellema. Sementara itu, karena Annelies Mellema masih di bawah umur, perkawinannya dengan Minke pun dianggap tidak sah. Bahkan dengan adanya perkawinan itu, Nyai Ontosoroh diancam terlibat dalam persekutuan untuk melakukan pemerkosaan (hlm. 366-369). Akhirnya, sebagai penutup cerita berpisahlah antara Annelies yang dalam kondisi sakit parah dengan suaminya, Minke, serta ibu kandungnya, Nyai Ontosoroh, untuk dibawa ke Belanda di bawah perwalian Ir. Maurits Mellema.

***

Tentu saja, Bumi Manusia tidaklah sekadar novel yang menuturkan kisah-kasih tak sampai antara Minke-Annelies, pribumi-Indo Belanda. Justru yang harus diperhatikan secara lebih detail adalah latar belakang atau konteks waktu (historis) yang melingkupi berbagai peristiwa tragis itu. Sebab, seperti dikemukakan berbagai pihak, dalam menulis novel PAT tidaklah sekadar mengambil dari imajinasi yang bersifat fiktif (rekaan). Memang, karya sastra bukanlah sebuah historiografi yang hendak mengklaim fakta-fakta dan kebenaran suatu sejarah dalam periode waktu tertentu. Tetapi, jelas, dalam menulis Bumi Manusia ini, PAT memperlihatkan keunggulannya dalam melakukan studi historis, sosiologis, serta bahkan antropologis.

Hal ini terbukti dari beberapa konklusi awal yang dapat diambil, seperti:

Pertama, kurun waktu terjadinya peristiwa dalam novel ini adalah akhir abad ke-19. Dalam rentang sejarah ini, di Eropa dikenal sebagai Masa Pencerahan yang sudah dimulai semenjak abad ke-18. Ciri khusus dari kurun historis tersebut adalah bertumbuhnya ilmu pengetahuan secara sangat meluas, karena pada masa itu juga dikenal sebagai membiaknya paham rasionalisme. Konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari gejala ini adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian tinggi. Inilah masa yang lazim disebut sebagai era modern yang mengandalkan semangat, sikap, pandangan yang berbasis pada syarat keilmuan, estetika dan efisiensi (hlm. 157). Tetapi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, sebenarnya, bersifat Erosentris seperti percobaan yang dilakukan Doktor Snouck Hurgronje untuk mengetahui kemampuan intelegensia golongan pribumi dalam menyerap ilmu pengetahun Eropa (hlm. 158). Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri justru menghasilkan penindasan Barat terhadap Timur, yang terwujud dalam praktik kolonialisme Nederland terhadap Hindia Belanda.

Kedua, deskripsi sosiologis kehidupan Nyai yang menjadi perempuan gundik orang-orang Belanda. Sebenarnya, tidaklah tepat jika praktik per-Nyai-an itu dipandang hanya sebatas menghasilkan relasi seksualitas antara pria Eropa dengan perempuan-pribumi. Jelas, secara harkat kemanusiaan, praktik tersebut sangat menyakitkan karena sekadar menempatkan perempuan-pribumi sebagai obyek seks. Namun, pada sisi yang lain, kalangan Nyai itu sendiri mempunyai pengetahuan dan kemampun teknis yang jauh lebih baik. Yang terjadi selanjutnya dari relasi seksualitas itu adalah transfer pengetahuan (transfer of knowledge). Dalam kasus Nyai Ontosoroh pada Bumi Manusia ini, misalnya, ditunjukkan ketrampilannya dalam membaca, menulis, berbahasa Belanda, mengelola perusahaan bahkan sampai pada akhirnya keberaniannya untuk melakukan perlawanan secara beradab terhadap golongan koloanialis itu sendiri (hlm. 405).

Ketiga, penjelasan secara antropologis mengenai identitas kebudayaan suatu kelompok bangsa. Melalui uraian yang disampaikan Juffrouw Magda Peters, apa yang disebut dengan identitas kebudayaan sebagai hal yang bersifat esensialistik atau substansialistik, tidaklah pernah ada. Misalnya, nama keluarga di Eropa baru berlaku setelah Napoleon Bonaparte berkuasa. Bahkan jauh sebelum itu, bangsa Yahudi dan Cina sudah menggunakan nama marga. Mengenai kemurnian Eropa totok yang diyakini sampai mencapai angka 100%, pastilah mengalir darah Asia dalam tubuhnya. Selain itu, penggunaan angka berasal dari Arab serta penemuan angka nol (0) berasal dari India yang mempunyai dasar filsafat tertentu (hlm. 239-240). Deskripsi ini menunjukkan bahwa novel Bumi Manusia mencoba memberikan penegasan bahwa kehidupan budaya yang antropologis itu pastilah bersifat interaktif dan interdependen: tidak ada yang dinamakan keaslian dan kemurnian suatu individu apalagi kebangsaan.

Keempat, PAT agaknya lebih bersimpati pada tokoh-tokoh perempuan dalam Bumi Manusia. Kalangan perempuan digambarkan lebih mempunyai sifat lembut, berani, cerdas, beradab, serta bahkan mempunyai pengetahuan yang luas dibandingkan kalangan lelaki sendiri. Lihatlah bagaimana PAT mencoba mencari sumbu genealogis tokoh Minke yang semenjak kecil sudah diasuh oleh Nenendanya dengan kasih sayang serta dorongan untuk menghadapi persoalan secara tabah. Ibunda Minke dilukiskan selalu membantunya dalam kondisi sulit dan terjepit. Apalagi tokoh seperti Nyai Ontosoroh dan Juffrouw Magda Peters digambarkan sedemikian superlatif tanpa cela, terutama dalam penguasaan kesabaran dan pengetahuan manusia. Demikian juga, tokoh Sarah dan Miriam de la Croix yang pada pertemuan pertama dianggap memusuhi Minke, pada akhirnya menjadi sahabat baikdalam berkorespondensi. Jelas, secara sadar atau tidak, PAT mempunyai pembelaan terhadap perempuan, sebuah dorongan feminisme. Beberapa buku atau novel yang ditulisnya pun tokoh sentralnya adalah perempuan, seperti Larasati, Gadis Pantai, Midah, Simanis Bergigi Emas atau Panggil Aku Kartini Saja.

Kelima, beberapa aspek lain yang secara agak luas disinggung PAT dalam Bumi Manusia adalah perkembangan pers yang pada satu sisi mencoba memberikan keberpihakan kepada kalangan tertindas. Tetapi, pada sisi yang lain, juga digunakan sebagai ajang bisnis dan komersialisme dengan memuat berita-berita sensasional, terutama pada saat menyoroti kasus-kasus yang bersifat pribadi, dalam hal ini adalah hubungan antara Minke, Annelies, serta Nyai Ontosoroh. Hal lain yang secara implisit juga dikemukakan PAT adalah psikoanalisis Sigmund Freud. Melalui tokoh Dokter Martinet yang mencoba mengungkap kondisi bawah sadar Annelies dapat diketahui bahwa Annelies mengalami ketakutan terhadap pria berkulit putih (bule), karena suatu ketika pernah diperkosa oleh Robert Mellema, abangnya sendiri. Hanya saja, Dokter Martinet tidak dapat langsung mengoreknya dari Annelies, melainkan melalui hasil pembicaraannya dengan Minke (hlm. 284-287).

Sebagai hal terakhir yang dapat dikomentari dari novel ini adalah sebuah pertanyaan mendasar: Apakah sebenarnya makna Bumi Manusia itu sendiri? Tampaknya yang dapat menjawab itu adalah Minke sebagai tokoh utamanya. Bagi Minke, bumi manusia merupakan suatu cara pandang atau keadaan humanisme universal yang seharusnya bersifat egaliter, namun ironisnya justru dijejali dengan suatu kontradiksi yang keras: Eropa (Belanda) yang menjajah serta Pribumi yang dijajah. Lebih ironis lagi praktik kolonialisme itu justru berlangsung dalam kurun waktu yang ditandai oleh munculnya ilmu pengetahuan sebagai kekuatan pencerahan.

Penulis: Triyono Lukmantoro, peminat filsafat dan sastra, staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang.

*diterbitkan ulang dari unggahan facebook penulis: Triyono Lukmantoro

2 thoughts on “Membaca Kembali Resensi Novel “Bumi Manusia”

  1. Pesan-pesan yang disampaikan dalam artikel ini sangat lengkap. Semoga pembaca bumi manusia bisa juga menyerap intisari pesan moral yang ingin disampaikan penulis. Terima kasih informasinya.

  2. Pesan-pesan yang disampaikan dalam artikel ini sangat lengkap. Semoga pembaca bumi manusia bisa juga menyerap intisari pesan moral yang ingin disampaikan penulis. Terima kasih informasinya, sangat bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *