Ketersalingan Laki-laki dan Perempuan

Dr. Nur Rofiah (kerudung coklat) dalam sesi foto setelah bedah buku Qiraah Mubaddalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Kodir di Auditorium I Kampus I UIN Walisongo, Senin, (25/02/2018) siang. (Foto Ainul/Elsa)

Semarang, Justisia.com – Kemaslahatan bagi laki-laki belum tentu baik untuk perempuan. Diperlukan keselarasan antara keduanya berkaitan tanggung jawab dan hak.

Qiraah Mubaddalah memberikan pemahaman tentang dilema pemahaman gender tafsir kitab suci al-Quran dan literatur Islam klasik.

“Dalam karya Faqihuddin membantu memahami konsep persoalan kesetaraan gender berdasarkan tafsir,” tutur Nur Rofiah dalam bedah buku Qiraah Mubaddalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Kodir di Auditorium I Kampus I UIN Walisongo, Senin, (25/02/2018) siang.

Tingkat kesadaran kemanusiaan untuk perempuan harus ditingkatkan. Tidak ada subordinasi antara makhluk ciptaan Tuhan.

“Belum ada keinginan kontruksi sosial untuk mengamini keberadaan perempuan. Apa yang menjadi standar laki-laki harus diikuti perempuan. Contohnya, pernikahan dini,” kata pengajar PTIQ Jakara

Upaya-upaya menegaskan keberadaan perempuan sebagai manusia harus dilakukan. Hilangkan stigma pada perempuan berupa marginalisasi, subordnasi, dan double borden.

“Nikah secara paksa kemudian diceraikan. Perempuan hanya dijadikan objek seksual bukan subjek kehidupan. Kalau tidak enak langsung ditendang saja. Beban ganda untuk tugas di rumah dan di luar yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan,” tambahnya.

Dosen PTIQ menyerukan kepada perempuan dan laki-laki agar saling bahu-membahu dalam mengatasi persoalan. “Harus bekerjasama antar perempuan dan laki dalam menjalin hubungan,” tambahnya.

Teks Arab Bias Gender

Nasr Hamid Abu Zayd mengungkapkan dalam karya Naqd al-Khitab al-Diniy bahwa setiap kata dalam bahasa tidak ada kata netral karena memiliki alat kelamin.

“Kursi dalam bahasa Arab mudzakkar (laki-laki),” ungkap alumni Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijaga.

Dalam bahasa Arab kategori muannas mengikuti mudzakkar yang sudah ada. Padahal keduanya sekunder selama sebagai hamba Allah dan primer sebagai khalifah di dunia. Hal ini disebabkan bahasa telah bercampur dengan budaya setempat.

“Masyarakat arab menganggap laki-laki sebagai primer dan perempuan sekunder, terjadilah subordinasi di sini,” katanya.

Kondisi geografis menjadi penting keberadaan tafsir Qiraah Mubaddalah guna menghadapi bahasa Arab yang bias gender.

“Buku ini mengajak kita memahami penafsiran bahasa Arab dengan kontekstual dan menaruh perhatian pada kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Teks bisa dibalikkan jika bias gender atau jika teks yang sudah mubaddalah secara tektual,” pungkasnya.

Karya ini juga menjadi amunisi baru bagi aktivis dan akademisi yang memiliki konsentrasi persoalan kesetaraan gender.

“Pemikiran Kang Faqih (penulis) amat out of the box dari karya-karya lain mengenai persoalan kesetaraan gender. Salah satu gambaran awal terlihat di sampul buku bergambar sandal yang berarti saling melengkapi,” ungkap Aktivis Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Walisongo Fauzi.

Dosen UIN Walisongo juga menambahkan bahwa dalam buku ini perlu ditambahkan indikator dalam penentuan teks mabadi, qawaid, dan juziyyah.

“Misalnya tentang ayat, ‘an-Nisa’ menurut M. Shahrur bermakna sesuatu yg baru. Bahwa manusia disebut ‘ghorizah’ (inheren) dan ‘syahwat’ (ekstern) sedangkan dalam buku ini belum ada indikator “annisa” dalam konteks mabadi, qawaid, dan juz’iyah,” pungkasnya.

Bedah buku Qiraah Mubaddalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Kodir dan “Islam Tradisional yang Terus Bergerak karya KH Husein Muhammad merupakan Dies Natalis UIN Walisongo ke-46. (Ra/J).

*artikel/berita ini telah dimuat di elsaonline.com dan telah mendapat persetujuan dari pihak redaksi terkait.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *