Keraton Kesepuhan Cirebon: Mengembangkan Ekonomi Masyarakat dan Netral dalam Politik
Cirebon si Kota Wali

Sumber foto: Dokumentasi Justisia.
Justisia.com–Kota Cirebon dengan garis pantai sepanjang 7 km merupakan wilayah pesisir Jawa Barat yang sudah terkenal dengan sejarah dan potensi budayanya. Jalur pantura yang menghubungkan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadikan kota Cirebon sebagai kota yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transformasi perekonomian masyarakat dan perkembangan adat budaya.
Kota Cirebon yang dikenal Kota Wali ini, memiliki sejarah panjang kebudayaan Islam, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai situs bersejarah yang menjadi destinasi wisata kota Cirebon, juga dapat dilihat dari adat-adat yang mengakar di masyarakat Cirebon, kekayaan sejarah dapat kita lihat dari adanya bangunan megah keraton Kesultanan Kesepuhan Cirebon yang berlokasi tidak jauh dari pusat kota Cirebon saat ini tepatnya di Jalan Keraton Kesepuhan Nomor 43 Kelurahan Kesepuhan kecamatan Lemahwungkuk. Selain itu, ada keraton Kanoman dan Kecirebonan .
Keraton Kesepuhan sudah berdiri sejak tahun 1529 yang dibangun oleh Pangeran Emas Zainul Arifin dengan maksud untuk memperluas bangunan pesanggrahan keraton Pakungwati, yaitu keraton pertama yang berdiri pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana Putra Sri Maha Raja Prabu Siliwangi penguasa kerajaan Padjadjaran.
“Di sinilah (Keraton Kesepuhan) Pangeran Cakrabuana mendirikan pusat pemerintahan Islam yang asalnya cuma desa berkembang menjadi ketumenggungan kemudian jadi kesultanan”, ungkap Raden Muhammad saat ditemui justisia.com.
Beliau menjelaskan sepak terjang kepemimpinan kesultanan keraton dalam upaya mengayomi masyarakat setempat dari masa ke masa, uniknya sampai detik ini keraton masih eksis merawat adat budaya warisan leluhur dan tidak lepas dari nilai-nilai yang dulu diajarkan oleh para Walisongo, namun seiring berjalanya waktu dan proses sejarah, kini Kesultanan Kesepuhan tidak lagi menjadi pusat pemerintahan akan tetapi menjadi tempat pengembangan seni dan budaya, pemangku adat serta syiar tokoh masyarakat.
“Keraton (saat ini) sebagai pemangku adat tokoh adat dan pengayom masyarakat jadi masyarakat kalau ada apa-apa ngadunya ke sultan trus sultan mengingatkan mengarahkan pada pemerintah mengenai kebijakan kebijakan, karena Cirebon ini bukan daerah istimewa seperti Yogyakarta”, lanjut bapak dari 4 anak itu.
Membangun Ekonomi Masyarakat
Keraton Kesepuhan menempati lahan sekitar 25 hektar yang terdiri dari berbagai macam bangunan, di bagian depan gerbang keraton terdapat bentangan luas lapangan alun-alun yang terpenuhi oleh para pedagang dari mulai pedagang makanan ringan sampai peagang seni kerajinan. Dalam perjalananya membangun perekonomian masyarakat, pihak keraton mempunyai hubungan baik dengan pemerintah dengan adanya program kreatif kerakyatan yang disinergikan oleh pihak kesulthanan atas upaya Sulthan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat SE.
Selain itu upaya membangun ekonomi masyarakat juga dapat dilihat dengan adanya koperasi baik di dalam keraton maupun yang di luar dan yayasan sekolahan pondok pesantren yang dikelola abdi dalem kesultanan. Secara otomatis dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah itu bisa menghidupi ekonomi masyarakatnya.
“Kita lihat di depan ini (keraton) dengan adanya keraton sebagai destinasi wisata berdampak pada masyarakat ini ya alhamdulillah bisa membangun perekonomian warga (dengan berjualan, dll) minimal tukang parkirlah”.
“Kami juga ada koperasi di dalam keraton dan di luar ada yayasan, pesantren yang semuanya dikelola keraton dan bekerja sama dengan pemerintah mengembangkan ekonomi kreatif kerakyatan. Program pemerintah disinergikan dengan kesultanan”, imbuh abdi dalem itu.
Netral dalam Politik
Di tengah panasnya pergolakan politik mendekati pesta demokrasi bangsa ini, keraton Kesepuhan sering kali mendapatkan tamu dari kalangan politisi yang akan tampil dikancah perpolitikan nasional. Keterlibatan keraton dalam perpolitikan Indonesia memang tidak bisa dipisahkan. Namun dengan berjalanya waktu dan sejarah, Raden Muhammad Hafid Primadi menjelaskan keraton tidak ikut campur urusan itu tapi kalau individunya memang ikut campur tanpa membawa nama keraton karena itu hak personal. Untuk sekarang keraton fokus dengan pembinaan masyarakat dan mengajarkan akhlakul karimah serta menjaga tradisi dan budaya.
“Peran kesultanan (sekarang ini) untuk pembinaan terhadap masyarakat, syiar agama di berbagai bidang entah itu ekonomi seni tradisi dan budaya meneruskan perjuangan pangeran Cakrabuana dan kanjeng Sunan Gunung Jati saat syiar dulu”, tegasnya.
“Keratonnya nggak lembaganya nggak (tidak ikut campur) tapi kalau individunya iya. Jadi semua calon dateng ke sini minta doa restu udah hanya itu”, pungkas Raden paruh baya itu.
Pergolakan politik tidak mengikis konsistensinya untuk menjaga dan melestarikan warisan dan ajaran nenek moyang, posisi keraton yang diilustrasikan sebagai orang tua bangsa ini hanya bisa mendoakan dan mengingatkan apabila kebijakan pemerintah kurang baik untuk masyarakat umum.
Bagi individu abdi dalem keraton tentunya dalam pesta demokrasi ini akan memilih orang yang sesuai dengan hati mereka masing masing di samping mendahulukan yang sesuai dengan kepentingan keraton dalam pelestarian budaya dan menjaga tradisi, belajar dari negara-negara Islam lainnya yang hancur karena situs dan peninggalanya dihancurkan.
Karena menghancurkan sebuah ajaran dengan menghancurkan situsnya itu adalah senjata yang sangat ampuh. Nenek moyang kita Sunan Gunung Jati dalam syiarnya juga tidak pernah menyuruh untuk menghancurkan situs prasasti peninggalan agama terdahulu, akan tetapi mengakulturasikan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan Walisongo lainnya.
“Agar sama-sama mengembangkan adat budaya tradisi untuk syiarnya kalau merasa memiliki maka harus bisa merawat. Itukan warisan dari nenek moyang terutama ajaran kebaikan serta kerukunannya untuk masyarakat Nusantara. Jangan lupakan sejarah. Jangan lupakan pahlawannya. Jangan hilangkan semangatnya. Jadilah diri sendiri. Maksudnya kita wong Indonesia, jadi Indonesia. Kita wong Cirebon, dadi wong Cirebon. Jangan jadi orang lain lain seperti diterapkan para Walisongo, mereka datang kesini bukan mengarabkan tapi mengislamkan”, berikut pesan Raden Muhammad yang sudah lama mengabdikan dirinya di keraton Kesepuhan Cirebon. (A. Faiz)