Gambar: Lendoot.com

Oleh: Nona Senja

Aku bergegas pulang dari sekolah. Meninggalkan teman-temanku yang sedang bergurai dibelakang. Setelah subuh tadi, ibu pergi kepasar. Lantas mengatakan padaku akan membelikanku sesuatu untuk lebaran minggu depan. Aku semakin tak sabar. Terik matahari yang tepat di atas kepalaku sudah tak lagi aku hiraukan. Suara ibu tadi pagi yang terngiang-ngiang dikepalaku sudah membuat sekujur tubuhku sejuk.

“Ibuuuu..” teriakku ketika sampai di depan rumah. Tanpa basa-basi aku menanyakan apa yang didapat ibu dari pasar.

“Ganti dulu bajumu Ardi,” ucap ibuku.

Dengan segera aku melepas baju merah putihku, lalu menggantinya dengan kaos lusuh yang robek bagian bawahnya. Tapi tak apalah.

Akupun menunggu ibu di ruang tengah, duduk tak sabar. Lalu ibu keluar dari kamarnya dan membawa kresek hitam di tangannya. Pikiranku melayang-layang, “mainan? Sarung baru? Tas? Buku? Oh iya aku tahu..” ucapku dalam hati.

“Baju baruuu..” teriakku bersamaan dengan kakakku yang muncul dari luar.

Seketika aku melonjak kegirangan. Dan ibu tersenyum melihatku. Aku peluk ibuku lantas mengatakan terima kasih.

Lalu akupun menagih kakak laki-lakiku itu yang baru pulang kerja. “Nanti kakak belikan kamu kolak pisang di gang depan ya,” gurau kakakku.

Akupun meletakan baju lebaranku dengan hati-hati di lemari. Ibu meyuruhku untuk mencucinya dulu, tapi aku menolak. “Nanti bau baju barunya hilang bu”.

Selepas salat tarawih, Ayah kedatangan tamu pak RT. Mereka terlihat membicarakan sesuatu yang amat penting. Bahkan wajah Ayah berubah tegang. Lalu datang lagi tetangga yang lainnya, lantas ia berubah wajahnya tegang pula. Apa yang mereka bicarakan? Terdengar lamat-lamat pak RT mengatakan, “gugur? Gusur? Pak RT bilang apa si?” dalam benakku. Belum selesai aku menguping pembicaraan mereka, Toni datang untuk mengajak main dengan yang lainnya di depan masjid.

Paginya, setelah salat subuh aku bergegas mandi dan mengenakan seragam sekolahku. Tanpa sengaja, ketika membuka lemari aku melihat baju lebaranku. Lantas aku pegang-pegang dan tak sabar aku kenakan.

“Ardi, cepat siap-siap. Berangkat bareng kakakmu ini,” teriakan ibu membuyarkan lamunanku. Lalu aku dengan cepat memakai seragam dan membereskan buku-bukuku.

Entah mengapa, ketika pulang sekolah aku sama sekali tak berselera bergurai dengan teman-temanku. Aku kembali berjalan sendiri, dan meninggalkan mereka. Seperti ada yang aneh ketika aku menginjakan kaki di kampungku ini. Aku menginjak serpihan kayu yang tergeletak tak berpemilik. Lantas aku memandang sekelilingku. Ada sesuatu yang memang benar-benar aneh. Akupun melanjutkan langkah kakiku, hingga kakiku tiba-tiba berhenti di depan benda besar berwarna kuning. Awalnya aku melonjak kegirangan melihat benda ini. Bukankah ini benda yang sering berada di depan desa kami, dan aku bersama teman-temanku senang sekali bermain di sana. Tapi tiba-tiba benda raksasa itu bergerak.

“Woy, itu anak kecil, minggir!!” teriak suara laki-laki dewasa berbadan besar, dan akupun segera mundur dan berlari ke arah rumahku.

Aku melangkahkan kakiku dan berhenti lagi ketika banyak sekali manusia di depanku, mereka berkumpul dan “mengapa mereka menangis?” dengan susah payah, grombolan tersebut aku terobos. Tapi sayangnya, setelah susah payah menerobos, tiba-tiba lelaki dewasa berpakaian hijau menghadangku dengan tongkat hitamnya. “Anak kecil jangan di sini,” ucapnya.

Mengapa anak kecil tak boleh di sini? Bukankah ini desaku? Rumahku? Tiap hari aku di sini pak, tapi tak pernah ada yang melarangnya. Aku semakin bingung, lantas mundur kembali. Satu menit kemudian, dengan diam-diam aku kembali menerobos. Kali ini tak ketahuan oleh siapapun dan tak mendapat gertakan lagi.

Aku kembali melihat orang menangis, kali ini Wak Siti dengan menggendong anaknya menangis histeris di depan perempuan berbaju hijau. Ia terlihat memukul-mukul badan perempuan itu. Semakin aku melangkahkan kakiku, mengapa semakin banyak orang menangis. “Oh iya, aku harus segera pulang ke rumah,”

Aku kembali melihat hal aneh lagi, mengapa bapak-bapak terlihat mendorong manusia berseragam hijau? Kenapa mereka? Sepertinya ada yang aneh pula tertangkap oleh mataku. “Ayah..”  aku berteriak sekuat tenagaku agar Ayah mendengarku. Tapi gagal. Ayah tetap saja berada di grombolan orang-orang itu.

“Ayah, kau sedang apa?” teriakku kembali.

Semua teriakanku nihil. Tak ada yang berhasil. Semua orang di sini memasang wajah marah. Ada apa ini?

“Manusia bejat!! Pergi kalian dari sini,” tiba-tiba seorang ibu di sampingku berteriak histeris.

Kemudian lewat di depanku, Wak Soleh. Ia menggendong bayinya yang baru lahiran satu minggu yang lalu.

Aku takut. Di mana teman-temanku? Mengapa tadi aku memisahkan diri dari mereka? Apakah aku tersesat? Aku memundurkan langkahku. Lantas melihat kanan kiriku, lalu melihat Wak Rono sedang berdiri di sampingku. Ia memakai alat bantu berjalan, kruk. Sebab ia kemarin baru saja kecelakaan di tempat kerjanya.

“Wak? Wak Rono tak apa-apa?”

“Jangan di sini Di. Bahaya. Pergi saja ke sana,” Wak Rono menunjukkan tempat sepi untukku, dengan susah payah ia mendorong-dorongku.

Tapi aku tak menuruti perintahnya. Justru aku berajalan ke arah dalam kampung. Sesuatu kembali kulihat, lelaki berbaju warna hitam sedang melawan lelaki berbaju hijau, pakaiannya mirip dengan yang sedang di dorong Ayah. “Kakak..” teriakku.

“Apakah kalian manusia? Lihatlah! Lihatlah kami ini! Lihatlah anak kecil itu! Lihatlah orang tua itu! Mereka tak berdaya, tapi masih tetap kau lawan? Apakah kau benar-benar manusia?” bentak kakakku dengan menujuk-nunjuk lelaki di depannya. Tak selang beberapa detik, tiba-tiba tangan kakakku ditarik dan kemudian tubuhnya dibanting keras sekali ke tanah.

“Kakakkk..” aku berlari menuju tubuhnya berbaring, tapi apalah daya tiba-tiba seorang lelaki berpakaian hijau itu menarikku pergi.

Tak pikir panjang, aku berlari menuju rumahku untuk meminta bantuan Ibu. Tapi.. jalan ini, sepertinya ini bukan jalan menuju rumahku. Tapi benar, ini jalan menuju rumahku. Mengapa berbeda? Banyak tanah kosong. Aku berlari semakin dalam ke kampung, dan semakin aneh pula keadaan kampung. Dan akhirnya aku menemukan rumahku kecilku bertengger. Akupun merasa sedikit tenang, dan bergegas menuju rumahku.

Tapi ketika aku berjalan menuju rumahku, Aku melihat Seli teman kelasku, dan di sampingnya terdapat adiknya menggendong boneka kecil. Mereka berdua sedang menangis. Terlihat pula para bapak berseragam hijau di belakang Seli, tapi mengapa mereka tak mendekati Seli dan membantunya? Justru bapak-bapak itu tertawa dan bertepuk tangan. Lantas aku melihat apa yang sedang mereka tertawakan. Akupun membalik badanku. Tapi belum seslesai aku membalikkan badanku, tiba-tiba seorang laki-laki tua mendekapku dan membalikkan badanku seperti semula.

“Ayah, sejak kapan kau di sini?” aku tersenyum.

Tapi Ayah diam saja. Akupun berusaha melepaskan dekapan Ayah yang sangat erat. Tapi gagal. Terlihat mata ayah berkaca-kaca kemudian meneteskan air mata.

“Mengapa Ayah menangis?” bisikku pada Ayah.

Tak selang beberapa menit, ibu datang dari arah belakang ayah. Dan sama. Ibu pun menangis. Aku memaksa melepas dekapan Ayah, kemudian membalikkan badanku. Hari ini benar-benar dipenuhi dengan sesuatu yang aneh, mengapa ketika aku membalikan badanku, rumahku yang tadinya masih bertengger disitu tiba-tiba hilang? Aku mungusap mataku, tapi tetap saja rumahku lenyap.

“Ardi..” Ibu mendekapku erat dan menangis kencang sekali. Dan tiba-tiba, ibu pingsan di dekapanku.

Kakakku tiba-tiba datang, dengan baju yang kotor dan beberapa luka memar di wajahnya.

Akupun menangis ketika ibu tiba-tiba terjatuh ke tanah.

Kemudian aku berlari ke arah rumahku tadi. Banyak sekali kayu-kayu berserakan ditanah, serta barang-barang berhaga lainnya. Kemudian, menatap samping kanan, dan melihat benda berwarna coklat tergeletak dan rusak. Disekitar benda tersebut banyak sekali kain tercecer.

Baju lebarankuuu..” badanku serasa ditarik untuk mengambilnya, tapi tiba-tiba kakaku menahanku dan menggendongku ke arah Ibu.

“Kakak, baju lebaranku di bawah sana. Tertumpuk kayu-kayu,” aku menangis merengek.

“Nanti kakak ambilkan, tenang saja”.

Aku melihat benda berwarna kuning besar yang tadi di depan. Namun, benda itu terlihat sedang merobohkan sesuatu.

“Rumahkuuu..” seorang wanita terdengar menjerit histeris, dan sama seperti Ibu, ia kemudian pingsan.

Sekarang aku tahu, benda kuning yang selama ini aku dan teman-temanku gunakan untuk mainan ternyata ia perusak.

Rumahku hari ini hilang, apakah aku besok tak dapat lebaran dengan nyaman?

3 thoughts on “Kau Perusak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *