Kakek yang Lupa Karena Nafsu Dunia

Gambar: ceritanizarwordpress.com
Oleh: Sadad Aldiyansyah
Siapa yang tidak kenal dengan Pak Ratno, seorang kakek paruh baya yang sekarang meyandang dengan gelar yang amat tinggi di Desa Joglo. Karyanya yang sudah tenar di dunia nyata maupun maya. Kesenian, kearifan dan keuletan Pak Ratno yang menjadi karya Pak Ratno berbobot. Hampir setiap minggu koran mencantumkan nama dan cerpen karya Pak Ratno. Memang wajar dan sepantasnya Pak Ratno bisa tenar seperti sekarang.
Dahulu Ratno kecil memang sudah merasakan hal yang pahit dan menyedihkan. Bagaimana tidak, sejak ia sudah disapih dari genggaman ibunya. Pak ratno hidup sebatang kara, ibunya meninggalkan Pak Ratno karena janin yang dikandung hasil prostitusi. Dan ibunya memutuskan minggat dari rumah untuk kembali bekerja di sebuah tempat prostitusi di kota besar.
Keputusan ibunya yang seperti itu masa kecil Pak Ratno diberi tumpangan oleh tetangga sebelahnya yang bernama Bu Dasih. Tak jarang kata-kata kasar sering keluar dari mulut Bu Dasih. “Assu buntung! Bayi bajang! Anak haram! Asu!” Begitulah keadaan setiap kali Pak Ratno meminta makan. Tak sebiji pun Bu Dasih memberinya. Kecuali ketika ada sisa makanan keluarganya yang hampir basi baru dikasihkan kepadanya.
Dengan keadaan yang seperti itu Pak Ratno rela bekerja sebagai kuli panggul di pasar untuk menyambung hidup. Ia sangat menerima dengan lapang dada keadaan yang menimpanya itu. Walaupun ia harus menyisihkan setengah hasil kerjanya untuk memberi sangu kepada Bu Dasih.
Kehendak berbicara lain, nasib yang menimpanya, justru membuat ia semakin giat untuk berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Baginya bermain bola, kelerang, layang-layang dan lain-lain itu adalah hal yang tidak asyik dan tidak menguntungkan untuk bekal di hari esok. Namun Baginya permainan yang asyik dan menyenangkan ialah membaca buku cerita. Kesadaran dan kepribadian baik yang tertanam di masa kecil membawanya sukses di hari tua ini.
***
Suatu hari Pak Ratno mendatangi undangan yang diberikan untuknya untuk mengisi seminar di institusi terkenal dan kebetulan anak nya pulang kampung bersama membawa anak istrinya. Dengan kedatangan seorang cucu yang seperti boneka kecilnya Pak Ratno mengajaknya ikut seminar sekalian jalan-jalan.
Di tengah perjalanan pulang si cucu ingin dibelikan burung emprit yang dijual di pinggiran jalan. “Kek aku minta burung warna warni itu, pengen”. Satu burung, dua burung, bagi si cucu belum bisa melunasi rasa puasnya. Ia meminta dibelikan 10 burung yang ternyata dalam satu kurungan jumlahnya pas ada sepuluh. Dalam hati sang kakek “dasar bocah cilik, bisanya nyusahin orang tua.”
Sebelum sampai di rumah kegaduhan telah terjadi selama perjalanan, bukan hanya di perjalanan ketika sampai juga kegaduhan terjadi lagi. Geram, panas, marah, membuat Pak Ratno melepaskan lontaran yang tidak wajar. “Goblok! Assu buntung! Anak gak tau diri!” Lontaran terjadi dengan lantang. Memang sewajarnya jika Pak Ratno memarahi cucunya. Bagaimana tidak, burung-burung yang dibelikan tadi dilepaskan begitu saja, bagi Pak Ratno membeli itu memakai uang bukan daun.
“Horee.. horee keek lihat kek… burungnya kembali pada induknya yeee…” Sontak Pak Ratno bingung dengan tingkah cucunya. “Cu..kamu dimarahi malah tertawa” Pak ratno sambil melongo melihat ulah cucunya yang sedang berlari menghampiri Pak Ratno. “Loh kenapa kamu lepas cu..kan udah tak beliin pakan burungnya juga?” Si cucu menjawab dengan bangga “kek.. aku kasihan sama burungnya, sekarang burung-burung itu punya pakan yang melimpah tapi tak ingat sama yang membesarkannya. Makanya aku lepas”. Pak ratno senyum terpaksa “Cucu kakek memang pintar”.
Memang kelihatan bangga Pak Ratno melihat cucunya pintar dan peduli dengan sesama. Namun, di balik senyum Pak Ratno ia menyimpan tangisan yang mendalam. Perkataan cucunya terus terngiang-ngiang dalam benaknya. Dalam tangisan lubuk hati terdalam Pak Ratno menangis sambil berkata lirih “ya Tuhan, andaikan Mak Dasih masih kau beri panjang umur tolong pertemukan aku dengannya”.