Humanity is the Highest Religion Teaching

Prof. Farid Esack, Ph.D (kanan) bersama Wakil Rektor II UIN Walisongo (tengah) Prof. Imam Taufiq dan Dekan Fakultas Ushuludin dan Humaniora UIN Walisongo Dr. Mukhsin Jamil, M.Ag di acara bertajuk "On Being A Muslim in The Today World: Learning to Live Together and The Quranic Liberation Theology" digelar di Aula I Kampus I, (26/3/19). (Foto Inung)
Semarang, Justisia.com – Beragama yang penting adalah kemanusiaan, dan ini menjadi inti kehidupan. Menanamkan nilai toleransi serta hidup berdampingan dengan sesama.
Demikian disampaikan oleh Prof. Farid Esack dalam acara Ngaji Bareng “On Being A Muslim In The Today World: Learing To Live Together and The Quranic Liberation Theology”.
Kegiatan yang merupakan rangkaian dari Dies Natalis UIN Walisongo ke 49 diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Humaniora.
Farid Esack menyanjung tinggi kehidupan beragama di Indonesia sebagai praktek Islam yang paling ideal dibanding negara lainnya. Hal tersebut tercermin dalam semangat kepedulian terhadap orang lain, serta semangat dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Ini sangat mungkin tumbuh di Indonesia.
“Spirit care other people, spirit of humanity tumbuh di Indonesia. Saya bahagia melihat kehidupannya,” kata Esack dalam kuliah yang digelar di Aula I Kampus I, (26/3/19).
Ia berpesan jangan sampai memahami al-Quran dengan tergesa-gesa, pahamilah secara mendalam, dan jangan membaca cepat. Karena akan gagal paham dan penuh kesalahan.
“Deep thinking, don’t rush and fast of reading the Quran,” ungkapnya.
Kedangkalan dalam memahami al-Quran menjadi akar kekerasan dalam bertindak. Membunuh siapapun orang yang berbeda dengan orang di sekitar.
Kandungan al-Quran, kata Esack, yang penting adalah ‘huda wa rahmah’. Tidak menjadikan alat untuk membunuh. Ketika al-Quran dijadikan sebagai landasan untuk berbuat kekerasan, itu sangat berbahaya. Sehingga ini menjadi bencana.
Sebaliknya al-Quran harus menjadikan pedoman untuk bertanggungjawab atas nasib orang-orang yang lemah, duafa dan mustadhafin, serta orang-orang miskin: seperti lemah dalam ekonomi, lemah juga dalam kekuasaan, tolong-menolong, serta punya tanggungjawab terhadap kelompok lain.
“Kita harus merefleksikan kepada diri kita. Quran sudah selesai, sudah sempurna, tetapi kita harus menggali dan memahami agar tercapai wa jadilhum bilati hiya ahsan,” jelasnya.
Bagaimana kita membuat bahagia orang lain dan bagaimana kita bisa menolong serta tanggung jawab terhadap orang lain.
Ia menganalogikan kehidupan bagai pasar. “Kita harus seperti orang yang ada di pasar saling membutuhkan antar penjual dan pembeli, meski berbeda-beda kepentingan tetapi saling menguntungkan, ada yang menjual, ada yang membeli, ada yang makan, dan sebagainya,” tegasnya.
Farid Esack juga pendiri pendiri lembaga Call of Islam. Lembaga ini yang mempertemukan forum berbagai lintas agama, yang kemudian banyak ditentang oleh kelompok Islam konservatif di Afrika Selatan. Selain itu ia juga pegiat kesetaraan gender, yang beberapa kali menyebutkan ayat yang rawan dalam persoalan interpretasi bias gender. (Ra/J).
*artikel/berita ini telah diterbitkan di laman elsaonline.com dan telah mendapat persetujuan pihak terkait