Hari Pendidikan Nasional Bukan Perayaan

Oleh: Ayu Rahma
Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mbangun karso, dan Tut wuri handayani adalah tiga semboyan yang masyhur dalam dunia pendidikan. Apalagi pada saat tanggal 2 Mei yang menjadi hari pendidikan nasional akan tersiar tiga semboyan tersebut di setiap status sosial media yang ada.
Hari pendidikan nasional yang biasa dikenal dengan hardiknas ditetapkan pada tanggal 2 Mei oleh Pemerintah melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 untuk untuk memperingati kelahiran Ki Hajar Dewantara (KHD). Bapak pendidikan ini memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau adalah tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa, seorang wartawan dan penulis muda yang ulet dan kritis, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Ki Hajar Dewantara pernah menuangkan kritikannya terhadap kebijakan Belanda dalam kolom yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Ernest Douwes Dekker (DD), 13 Juli1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.(Wikipedia)
Potret Pendidikan di Negeri +62 sudah 59 tahun sejak diresmikannya hardiknas ini, tetapi pendidikan di Indonesia masih dalam zona berbahaya bagi sebagian orang. Banyak orang yang menjual sebagian hartanya agar dapat mengenyam bangku pendidikan, realita ini sudah bukan hal yang menggemparkan. Banyak juga anak bangsa yang tidak merasakan belajar di bangku sekolah karena lebih memilih bekerja dan rela menaggalkan impiannya. Opini ‘pendidikan hanya untuk orang yang berduit’ semakin berkobar.
Tingginya uang SPP, buku, dan penunjang sekolah yang lain itu bagai momok yang ditakuti sebagian orang tua sehingga tidak menyekolahkan anaknya. Memang sudah banyak bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, tetapi apakah semuanya tepat sasaran? Kenyataanya masih ada anak-anak yang berkeliaran mencari beberapa lembar uang disaat anak lainnya sekolah.
Semakin hari semakin beragam pula kasus-kasus yang ditimbulkan ataupun bersumber dari sekolah maupun perguruan tinggi.
Kekerasan yang ada di lingkungan pendidikan sudah menjadi kasus yang sering terdengar di telinga, baik yang dilakukan murid terhadap guru, guru terhadap murid, sesama siswa ataupun sesama mahasiswa. Kecurangan seperti kebocoran jawaban UN sampai adanya transaksi jual beli jawaban soal pun sering terpampang di berita. Sama halnya dengan kasus kekerasan, kasus pelecehan pun sudah sering terjadi di sekolah maupun perguruan tinggi.
Stigma-stigma yang berhubungan dengan dunia pendidikan yang tidak enak didengar pun sering merebak dimana-mana. Seperti ‘orang yang berpendidikan itu licik’, stigma itu tidak semerta-merta muncul begitu saja, juga ada sabab musababnya. Coba kita menengok pejabat-pejabat negara yang tersandung kasus korupsi, pastilah mereka semua berpendidikan, entah produk perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Dari kasus korupsi yang berjibun di negeri +62 ini membentuk kesimpulan bahwa stigma ‘orang berpendidikan itu licik’ tidaklah sepenuhnya salah.
Lalu, apa implementasi dari tiga semboyan Ki Hajar Dewantara di zaman sekarang? Apakah tiga semboyan yang dibuat oleh bapak pendidikan kita sudah tidak lagi relevan di era generasi net ini? Padahal tiga semboyan itu sangatlah dalam dan luas maknanya. Ing Ngarso Sung Tulodo itu berasal dari kata ing ngarso yang diartikan di depan, sung (lngsun) yang artinya saya, dan kata tulodo yang artinya tauladan. Dengan demikian semboyan ini bisa diartikan seorang pemimpin atau seorang guru harus dapat memberikan suri tauladan untuk semua orang yang ada disekitarnya.
Ing Madyo Mbangun Karso berasal dari kata Ing Madyo yang diartikan di tengah-tengah, mbangun yang memiliki arti membangkitkan dan karso yang memiliki arti bentuk kemauan atau niat. Dengan demikian semboyan ini dapat diartikan seseorang di tengah harus memberikan motivasi/semangat.
Tut Wuri Handayani, dirangkai dari kata tut wuri yang memiliki arti mengikuti dari belakang dan kata handayani yang memilki arti memberikan motivasi atau dorongan semangat. Dengan demikian semboyan ki Hajar Dewantara yang ketiga ini dapat diartikan bahwa seorang di belakang harus memberikan dorongan, seperti guru yang diharapkan dapat memberikan suatu dorongan moral dan semangat kepada peserta didik ketika guru tersebut berada di belakang.
Dari arti-arti tiga semboyan tersebut bisa disimpulkan bahwa tiga semboyan tersebut belumlah diterapkan dalam dunia pendidikan secara penuh di masa sekarang. Dan pengaplikasian tiga semboyan tersebut di dalam dunia pendidikan adalah tugas bersama setiap elemen di dunia pendidikan. Apalagi pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi, mereka seharusnya lebih mengamalkan tiga semboyan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya uploud-uploud foto bertuliskan kata-kata mutiara atau menulis status dengan kata-kata bijak pada saat hardiknas di laman sosial media, namun juga bisa mempraktekkan kata-kata mutiara dan bijak itu di kehidupan nyata. Karena hardiknas bukanlah sekedar perayaan hari lahir bapak pendidikan, tetapi juga sebagai pengingat sudah sesuaikah pendidikan di Indonesia dengan impian bapak pendidikan dan para pejuang lainnya.