Feodalisme Jawa Menodai Gadis Tak Berdosa

Judul buku: Gadis Pantai
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta Timur
Tahun terbit: 2003
ISBN: 978-979-97312-0-3
Halaman: 280 hlm; 13×20 cm
Resentator: Ayu Rahma Faramalia

Anak perempuan di masa lampau bagaikan barang yang mudah ditukar tambah. Jika di Arab memiliki anak perempuan adalah musibah dan akan menguburnya hidup-hidup. Berbeda dengan di Indonesia, meski anak perempuan di Indonesia tetap termarjinalkan, namun para orang tua tidak membunuh anaknya secara nyata. Banyak orang tua yang sampai hati menukarkan anak perempuannya dengan sebuah harta atau tahta, itulah cara membunuh bagi para orang tua di Indonesia.

Pada masa lampau, anak perempuan sangat mudah diberikan kepada laki-laki yang memiliki tahta dan harta. Dengan dalih agar anak perempuannya hidup bahagia, para orang tua dengan seenaknya mengawinkan anak perempuannya yang dianggap sudah bisa melayani urusan kasur. Tanpa memandang usia dan tanpa meminta pendapat sang anak. Karena pendapat anak perempuan tidaklah berguna, semua hak ada di tangan sang bapak.

Seperti cerita gadis pantai yang terpotret di roman karya Pramoedya Ananta Toer. Roman berjudul “Gadis Pantai” menceritakan kondisi feodalisme Jawa yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan. Lewat roman ini, Pram memaparkan feodalisme yang menimbulkan ketidakadilan sosial terutama bagi para perempuan.

Gadis Manis Bertakdir Miris

Dalam roman ini Pram menceritakan sosok gadis manis berumur empat belas tahun yang lahir dan tumbuh di kampung nelayan Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gadis manis yang memiliki takdir miris, dia dipaksa oleh orangtuanya untuk menikahi seorang priyayi yang alim dan menjadi mas nganten. Orang tua gadis pantai beranggapan bahwa anaknya akan bahagia jika menikah dengan seorang pembesar yang alim, meskipun menjadi mas nganten.

Mas nganten merupakan sebutan bagi perempuan yang melayani kebutuhan seks pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya.

Orang tua dan orang sekampung menganggap bahwa sang gadis pantai sangatlah beruntung bisa menjadi istri bendoro yang alim. Mereka beranggapan dengan harta, setiap orang bisa bahagia dan memandang berlebihan terhadap seseorang yang memiliki tahta.

“Beruntung kau menjadi isteri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (halaman 14)

Mulanya, gadis pantai tidak nyaman tinggal di gedung yang megah tanpa kedua orang tuanya. Namun, seiring berjalannya waktu gadis pantai mulai terbiasa menjadi mas nganten. Dia juga mulai merasa waswas jika bendoro menikah lagi. Karena di masa itu, seorang priyayi masih dianggap perjaka hingga menikah dengan perempuan yang sederajat. Apalagi sejak datangnya Mardinah, pelayan yang dikirim dari Demak untuk membuat onar itu semakin membuat waswas gadis pantai.

Setelah menjadi mas nganten selama tiga tahun gadis pantai pun mengandung. Gadis pantai berharap anaknya laki-laki, karena bendoro lebih menyukai anak laki-laki ketimbang perempuan. Namun takdir berkata lain, gadis pantai melahirkan anak perempuan tanpa didampingi bendoro. Takdir gadis pantai semakin miris ketika dia diceraikan oleh bendoro. Saat itu anaknya baru berusia tiga setengah bulan dan gadis pantai dilarang membawa dan melihat anaknya lagi.

Kata bijak “don’t judge by cover” juga terbungkus dalam cerita roman ini, seorang priyayi yang alim, sering naik haji dan khatam Qur’an belum tentu memiliki akhlak yang baik. Sang priyayi yang dipanggil bendoro ternyata memiliki watak sombong, otoriter, dan semena-mena. Jika di novel “Bumi Manusia” ibu dipisahkan oleh hukum dengan anaknya, di roman ini gadis pantai dipisahkan dengan anaknya oleh titah majikan yang berstatus suaminya.

Wajah Roman yang Terpenggal

Pramoedya dengan tajam mendokumentasikan feodalisme Jawa melalui roman ini. Roman dengan alur maju ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Pram menggunakan bahasa campuran, antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Namun, Pram tidak menyertakan nama sang gadis pantai dan Bendoro.

Roman ini juga terasa ada yang janggal, cerita ini terpenggal sampai setelah satu bulan meninggalkan anaknya, gadis pantai sering mengintip anaknya secara diam-diam dari kiraian jendela dokar. Namun, lewat sebulan tak pernah lagi ada wajah gadis pantai yang mengintip anaknya. (halaman 270)

Dari akhir cerita roman ini, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana kelanjutan cerita. Seperti, kenapa setelah satu bulan gadis pantai tidak mengintip anaknya lagi? Apakah dibunuh oleh bendoro atau calon istri bendoro? Apakah bendoro jadi menikah dengan putri dari Demak? Apakah bendoro tidak menyesal telah berlaku kejam terhadap gadis pantai? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang timbul karena ceritanya terpotong.

Roman Gadis Pantai ini adalah roman trilogi. Namun, karena vandalisme angkatan darat dua buku lanjutan raib ditelan keganasan kuasa. Roman gadis pantai ini pun dipastikan tidak akan ada jika saja pihak Universitas Nasional Australia (UNA) di Canberra tidak mendokumentasikan roman ini melalui Savitri P. Scherer.

Roman gadis pantai ini sudah mendapatkan banyak sekali penghargaan, salah satunya yaitu: Freedom to Write Award dari PEN America Center, Amerika Serikat pada tahun 1988. Roman ini juga sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa, seperti: ke bahasa Belanda pada tahun 1989 dengan judul Meisje van het strand, ke bahasa Jerman pada tahun 1995 dengan judul Die Braut Des Bendoro, ke bahasa Inggris pada tahun 1991 dengan judul The Girl From The Coast, dan lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *