Dua kali kemenangan Jokowi di Tangan MK dan Indonesia yang Masih Sama

sumber animasi detik.com

Mahkamah Konstitusi baru saja selesai memutuskan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pemilihan Presiden 2019 Kamis (27/6) malam. Gugatan kecurangan pilpres yang diajukan pasangan 02 Prabowo Subianto Sandiaga Uno atas tuduhan kecurangan yang tersetruktur, sistematis, dan masif (TSM) ditolak secara keseluruhan oleh majelis.

Dengan keputusan MK sebagai lembaga yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, maka pasangan capres 01 Joko Widodo dan KH. Makruf Amin dinyatakan sebagai pemenang pilpres 2019. Dan akan mengemban jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 2024.

Jokowi akan menjalani periode kedua sebagai Presiden. Namun siapa sangka bahwa dua kali kemenangan Jokowi sebagai Presiden selalu ada di tangan MK yang mengadili sengketa PHPU. Meskipun pada hasil perolehan suara secara keseluruhan pasangan 01 unggul dari 02 tetap harus melewati proses hukum yang panjang terlebih dahulu di MK. Melalui Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lainnya di penghujung sidang membacakan putusan yang menyatakan menolak secara keseluruhan gugatan yang diajukan Prabowo Sandi atas tuduhan kecurangan pilpres yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Dikutip dari laman resmi KPU pada pilpres 2019 ini pasangan capres cawapres 01 Joko Widodo KH Makruf Amin memperoleh 84 juta suara atau 55,29 % dari seluruh suara nasional, dan pasangan capres cawapres 02, Prabowo Subianto Sandiaga Uno memperoleh 68 juta suara atau 44,71 % dari seluruh suara nasional.

Melihal pilpres lima tahun lalu, 2014 yang diikuti dua pasang calon capres cawapres. Memperlihatkan konidisi yang tidak jauh berbeda, bahwa pasangan capres cawapres Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa memperoleh 62 Juta suara atau 46,85% dari seluruh suara nasional, dan capres cawapres Joko Widodo Jusuf Kalla memperoleh 70 juta suara atau 53,15% dari seluruh suara nasional.

Saat mengetahui perolehan suara yang kalah dari Pasangan Jokowi JK, pasangan Prabowo Hatta lantas menempuh langkah hukum dengan mengajukan gugatan kecurangan pilpres ke MK. Mereka menuduh bahwa proses pemilihan yang berjalan terjadi kecurangan yang tersetruktur, sistematis, dan masif (TSM). MK yang saat itu diketuai Hamdan Zulfa setelah melalui siding yang berjaan beberapa waktu pada akhirnya juga menolak keseluruhan permohonan yang diajukan pasangan Prabowo Hatta melaui PUTUSAN No. 1/PHPU.PRES XII/2014.

Indonesia Masih Sama

Sepuluh bulan dilalui masyarakat Indonesia dengan sangat melelahkan. Dimulai dari masa kampanye yang sangat panjang hingga babak akhir pilpres yang berahir tadi malam. Kondisi ini tentu membuat keadaan sosial masyarakat kita sudah sangat terpengaruh, terpecah belah, dan terbawa dalam iklim kontestasi yang terpecah karena proses demokrasi yang terpolarisasi karena berbeda pilihan.

Kondisi dua kali pemilihan dalam lima tahun terakhir juga tidak jauh berbeda. Semuanya hanya diikuti dua pasang calon capres cawapres. Terlebih menjadi kotestasi elit politik dengan orang yang sama. Minimnya ruang demokrasi yang semakin sempit mengakibatkan tidak ada calon lain yang bisa turut berkontestasi dalam laga demokrasi.

Angka-angka hasil pemilihan 2019 ini menunjukan dua kubu yang bertanding tidak jauh berbeda dari periode sebelumnya. Selisih yang tidak terpaut jauh dan hasil masing masing yang sama menunjukan bahwa para pemilih kali ini masih sama seperti pilpres yang digelar 5 tahun lalu.

Dua kali kemenangn Jokowi harus menunggu keputusan di tangan MK. Dua kali Prabowo kalah, dan dua kali mengajukan gugatan PHPU ke MK degan tuduhan yang sama, TSM. Gagasan visi misi dan ide yang dipertarungkan juga tidak jauh berbeda. Maka dalam lima tahun kedepan kondisi masyarakat dan politk Indonesia juga masih akan tetap sama. Menunjukkan peta politik Indonesia stagnan tidak berkembang. Peta politik yang sama ini menujukan tidak ada kekuatan dan ide yang bisa menawarkan hal baru.

Kalo kata Max Lane “Suara yang bisa menawarkan sesuatu yang baru, meskipun ada bibitnya di sebagian advokasi Golput, sepertinya akan harus datang dari kaum muda generasi baru,”.

Sambil  terasa berat berharap, dalam periode yang akan datang, bisa melahirkan pilpres sebagai ajang demokrasi yang lebih baik. Untuk mencari pemimpin yang bisa benar-benar mengakomodir kepentingan rakyat, kelas bawah pada khususnya. Bukan kepentingan elit politik oligarkis saja yang membosankan. Tabik.

*Addib Mufti, kru dan tukang bantu bersih-bersih di kantor redaksi Justisia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *