Dilema Anjing di Indonesia dan Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam, terdapat dua pendapat tentang kenajisan Anjing: yaitu pendapat yang menganggap kenajisan hanya pada mulut dan air liurnya, dan yang kedua bahwa seluruh badan anjing adalah masuk dalam kategori najis.

Tangkapan layar peristiwa seorang perempuan membawa anjing masuk ke dalam sebuah masjid mendapat teguran dari jamaah dan pengurus masjid / Tribun Medan - Tribunnews.com
Setelah kita istirahat dari berita-berita viral soal pilpres, beberapa hari terakhir ini publik digemparkan dengan beredarnya unggahan video seorang perempuan yang memasuki sebuah masjid dengan membawa seekor anjing, lantas setelah kejadian yang diunggah lewat platform media sosial tersebut banyak netizen yang berkomentar tentang hal ini.
Bahkan tidak sedikit dari para ulama, ustadz ,dan da’i berlomba-lomba membuat kajian yang membahas masalah anjing menurut perspektif masing-masing. Uniknya, kajian dalam membahas anjing itu menjadi kepentingan elit untuk menjatuhkan lawannya.
Sebagaimana kita ketahui binatang anjing adalah salah satu ciptaan Allah Swt. yang memiliki memori dalam catatan sejarah keislaman: yang sering kita dengar di setiap forum kajian atau diskusi yaitu kisah Ashabul Kahfi bersama anjingnya yang kemudian kisah tersebut diabadikan dalam al-Quran Surat Al-Kahfi.
Baca juga: Meluruskan Paham Manusia Terhadap Alam
Selain itu banyak juga kisah hikmah yang diwarnai oleh seekor anjing seperti disebutkan juga dalam kitab Shohih Bukhori Salah satu kitab kumpulan hadis yang legendaris di dalamnya termuat kisah inspiratif yang dipelopori oleh seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum untuk seekor anjing yang kehausan, Dalam masalah ini yang paling mendominasi khazanah keislaman ialah seputar hukum kenajisan yang melekat pada binatang ini.
Dosen Antropologi di King Fahd University Prof. Sumanto Al Qurtubi, Ph.D dalam salah satu unggahan di akun Facebook-nya sempat memberikan tanggapan mengenai video viral tersebut. Beliau seolah bercerita sambil menyampaikan pendapatnya bahwa, di Turki anjing dipakai untuk menjaga tempat-tempat publik termasuk masjid. Tujuannya tidak lain agar aman dari gangguan teror.
“Maka jangan heran jika kalian jalan-jalan ke Turki akan menjumpai anjing-anjing yang imut-imut dan lucu-lucu di masjid-masjid. Di Arab teluk, anjing dipakai untuk balapan, festival atau berburu hewan liar. Sedangkan di Indonesia nasib anjing sangat sial: di sebagian rumah makan anjing menjadi menu makanan seperti dibuat sate, dibuat gule, dibuat sop, bahkan menjadi hewan buruan. Selain itu kita sering melihat anjing sering dimaki, diharamkan, dikafirkan, dan dijadikan bahan makian meskipun mereka benci anjing, tapi suka dengan gaya anjing “doggy style”.” Begitulah kurang lebih ungkapan beliau.
Baca juga: Meluruskan Arti Tatto
Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc. dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan bahwa keberagamaan itu setelah kemanusiaan. Aartinya pentingnya kita mempunyai jiwa kemanusiaan yang manusiawi. Beliau mencontohkan kalau kita punya air hanya sekedar untuk wudlu kemudian ada anjing yang kehausan maka berikanlah air itu untuk anjing karena itu kemanusiaan, selain itu kalau kita punya biaya untuk naik haji tetapi keamanan terganggu maka jangan pergi haji karena kemanusiaan di atas keberagamaan.
Hukum Kenajisan Anjing
Seperti halnya dalam persoalan apapun, dalam urusan fiqih para ulama ahli fiqih (fuqoha) tidak selalu monolitik dan seragam dalam berpendapat, begitu pula dalam memandang status kenajisan anjing. Garis besarnya ulama terbagi menjadi dua golongan dalam menentukan kenajisan anjing.
Golongan pertama menghukumi anjing sebagai hewan yang najis dan golongan kedua berpendapat sebaliknya. Perbedaan kedua pendapat itu didasari atas sebuah hadis dalam kitab Shohih Muslim, “wadah kalian itu suci, apabila dijilat oleh anjing maka hendaklah dibasuh dengan 7x basuhan dan yang satu dicampuri dengan debu”. (HR. Muslim)
Berawal dari hadis itu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa Anjing tidak dihukumi najis. Artinya menghukumi suci pada anjing. Kedua pendiri madzhab tersebut memberikan komentar atas hadis tersebut, bahwasanya yang dibicarakan hanya berkutat pada jilatannya saja tidak secara tegas menghukumi kenajisan anjing. Akan tetapi meskipun berpendapat demikian kelompok ini tetap mengharuskan membasuh sebanyak tujuh kali basuhan dan salah satunya dicampuri dengan debu terhadap benda yang dijilat anjing dengan tujuan ta’abbud/beribadah.
Baca juga: Pertemuan Pertama di Kepulanganku
Berbeda dengan golongan yang satunya, terutama Madzhab Syafiiyyah. Diambil dari berbagai kitab fiqih Madzhab Syafi’i seperti Kifayatul Akhyar dan Fathul Mu’in. berdasarkan hadis di atas secara tegas menyatakan bahwa anjing dihukumi najis.
Penalaran logisnya, mulut adalah bagian dari tubuh anjing yang sangat bersih. Bahkan anjing adalah binatang dengan mulut yang tidak berbau karena kerap menjulurkan lidahnya. Jika mulutnya saja mengeluarkan air yang kotor seperti disebut dalam hadis apalagi bagian-bagian tubuh yang lain. Ini prosedur berargumen yang dalam teori hukum Islam disebut dengan mafhum aula: menarik pemahaman dengan realita yang lebih jelas. Dengan demikian maka wajib hukumnya membasuh setiap hal yang terkena anjing dengan 7x basuhan dan mencampuri dengan debu di salah satunya.
Namun, dalam kitab fiqih bermadzhab Syafi’i pula kewajiban membasuh najisnya anjing dapat diperinci dengan dua opsi. Pertama, wajib membasuh apabila salah satu dari anjing atau manusia ada yang basah. Kedua tidak wajib membasuh apabila antara anjing dan manusia keduanya dalam keadaan kering atau basah semua.
Hukum Memelihara Anjing
Menyikapi tentang dihukuminya anjing sebagai binatang yang najis dan juga binatang yang dagingnya diharamkan, lantas bagaimana hukum memeliharanya dalam perspektif teori hukum Islam?
Berbicara hukum Islam tidak lepas dari hasil ijtihad dan pemikiran para ulama fiqih dalam hal ini Madzhab Syafi’iyyah secara tegas tidak memperbolehkan apabila tidak ada hajat yang jelas. Sedangkan Madzhab Maliki membolehkan pemeliharaan anjing hanya untuk jaga tanaman, perburuan, dan jaga hewan ternak.
Penulis: Abdulloh Faiz
Editor: A.M
Thanks