Demonstrasi, Beda Dulu Beda Sekarang

Selama aksi demonstrasi mahasiswa diberbagai kota di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, Purwokerto, Semarang dan kota-kota lain di Indonesia, dalam aksi mahasiswa tersebut terlihat beberapa mahasiswa memegang poster-poster yang bernada satire dengan dibumbui humor untuk mengeluarkan aspirasi mereka, yang mana untuk menolak RKUHP dan Revisi UU KPK. Media sosial pun rame memberikan tagar #GejayanMemanggil dan #MosiTidakPercaya.

Kalimat dan pesan dari isi poster yang dibawa oleh mahasiswa terkesan unik dan nyentrik yang tak banyak ditemui di demo-demo sebelumya. Misalnya “sudah diperkosa, dipenjara pula”, “itu DPR apa lagunya Afgan, kok SADIS”, “patah hati tetap aksi”, “kenthu dibui korupsi dicuti”, “hewan ternak masuk rumah didenda, tikus bobol anggaran negara dibiarkan”, “cuti nonton drakor, karna di DPR lebih banyak drama”.

Hal yang dilakukan para mahasiswa tersebut merupakan bagian dari ekspresi mereka, dimana pesan protes dikemas dengan selera humor supaya viral yang mana bentuk kreatifitas anak millennial, gaya bahasanya pun bahasa sehari-hari, yang isinya lekat dengan media sosial, aktivitas pacaran, dan lain-lain.

Aksi-aksi menggunakan poster tersebut direspon atau dikomentari dari berbagai kalangan: ada yang setuju ada yang tidak setuju, yang mana kalangan yang tidak setuju menilai bahwa aksi demo mahasiswa zaman sekarang terlihat asal-asalan saja yang mana untuk kebutuhan media sosial.

Tetapi, jika merujuk analisis Weber, poster yang mengandung aksi protes ini dengan menghubungkan pesan personal, merupakan hal yang lumrah. Itulah cara mereka mengkaitkan antara kebijakan negara dengan dampak di kehidupan pribadi mereka.

Adapun cara protes menggunakan satire ini sudah ada sejak lama. Jika merujuk kepada buku best seller pada tahun 1983 “Mati Ketawa Cara Rusia”. Buku yang ditulis oleh Zhanna Dolgova ini berisi tentang gambaran teks anekdot dengan tujuan menyindir. Mengingat betapa sulitnya mengemukakan pendapat pada masa komunisme ala Brezhnev. Isi leluconnya lebih dari 200 lelucon yang terdiri dari masalah politik-kehidupan rumah tangga.

Antara ’98 dengan 2019

Aksi mahasiswa millennial dengan generasi 1998 memiliki beberapa perbedaan, di antaranya:

Jenis isu. Jenis isu yang dihadapi mahasiswa 1998 bersifat tunggal, mereka hanya menuntut Soeharto untuk mundur dari kekuasaannya yang sudah menduduki pemerintahan selama 32 tahun. Sebaliknya, mahasiswa angkatan 2019 menghadapi beragam dan sektoral. Mulai dari isu terkait UU KPK, RKUHP.

Lawan gerakan 2019 ini pun sangat banyak, termasuk para senior mereka sendiri yaitu aktivis 98, baik itu yang sudah menduduki kekuasaan posisi strategis pada lembaga negara maupun politik. Ataupun mereka para aktivis yang hanya sekedar menjadi pengamat. Angkatan 98 yang paling diresahkan adalah bagaimana strategi berhadapan dengan aparat yang mungkin akan menghalau aksi mereka.

Isu yang dihadapi mahasiswa angkatan 2019 ini lebih nyata dan bersentuhan dengan kehidupan sehari-sehari, berbeda dengan angkatan 1998, yang isunya hanya menurunkan soeharto. Misal isu yang diusung angkatan 2019 ini, mereka menolak RKUHP karena salah satu pasal di dalamnya akan mengancam pekerja generasi millennial pulang malam yang dendanya pun cukup signifikan.

Adapun isu yang diusung oleh angkatan 1998 ini terkait dengan hak poltik seperti berpendapat dan berkumpul, isu yang diangkat merekapun tidak terlalu menyentuh hak warga sehari-hari sebagaimana isu yang diusung angkatan 2019.

Peran media sosial. Mahasiswa angkatan 2019 ini adalah makhluk sosial digital, di mana media sosial adalah ruang sosial bagi setiap interaksi. Mereka melakukan koordinasi, penyebaran informasi dan bahkan melakukan penggalangan dana untuk mendukung aksi demonstrasi melalui media sosial. Hal ini mempengaruhi seberapa cepat info disebarluaskan dan akan merangkul sebanyak mungkin pihak.

Pada tahun 1998, alat komunikasi yang tersedia hanyalah sambungan telepon rumah dan telepon umum. sehingga koordinasi aksi membutuhkan waktu yang lama. Ketiadaan media sosial dan terbatasnya alat komunikasi mempengaruhi gerakan untuk merangkul beberapa pihak secara luas.

Generasi 2019, melakukan perlawanan dengan gaya humor mereka di kalangan anak muda millenal, hal ini dipengaruhi oleh konteks pertumbuhan sosial yang tidak berada kekerasan seperti era orde baru. Adapun angkatan 1998 yang selalu serius dan hikmat, dan tidak memiliki tingkat kerecehan seperti angkatan 2019.

Mahasiswa 1998 mereka takut akan dikejar tentara, ditekan petinggi kampus, dan betapa sulitnya mengajak mahasiswa untuk turun kejalan untuk melakukan aksi. Isi spanduk maupun poster yang dibawa mahasiswa 1998 pun sangat serius dan berwibawa, mungkin untuk mahasiswa angkatan 1998, menulis spanduk ataupun poster dengan nada nyeleneh dianggap mengkhianati perjuangan.

Penulis: Kodriyah

Editor: Afif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *