Bazar Buku: Nafas Lain Dunia Literasi

Potret salah satu gelaran bazar buku. / Sumber: hariananalisa - Analisadaily
Semarang, Justisia.com – Pipin (46) masih sibuk membereskan buku-buku dari meja di hadapannya ketika saya mendatanginya. Buku-buku yang ada di tangannya itu kemudian disusun secara bertumpuk. Tidak lama, setelah terlihat cukup tinggi, kisaran 8 hingga 10 buku, kemudian Pipin mengikatnya agar mudah dirapikan. Penyusunan model ini menurut Pipin bisa memudahkan saat proses pemuatan ke mobil nantinya.
Pipin menyambut kedatangan saya dengan pernyataan bahwa hari ini, Jumat (22/3/2019) adalah bertepatan dengan hari terakhir lapak Pipin tergelar. Sebelumnya lapak buku dengan sebutan Bazar Buku Oentoek Semoea ini telah terhelat di UIN Walisongo selama tidak kurang dari 14 hari. Selama waktu itu, Pipin hanya dibantu satu temannya yang kebetulan hari ini tidak bisa membantunya untuk merapikan buku-buku yang ada di hadapannya kini.
Pipin bersama satu teman lainnya, adalah dua di antara banyaknya pegawai lain yang bekerja untuk salah satu penerbit buku asal Jogja, Teras Kalimedia. Berdasarkan keterangan Pipin, perusahaan swasta yang bergerak di bidang penerbitan buku itu sudah cukup lama melakukan kerjasama dengan pihak UIN Walisongo, dalam hal ini dengan pihak Perpustakaan Pusat untuk mengadakan bazar buku.
“[Kami jualan di sini] sudah 3 tahun mas sejak sekitar 2016. […] Bazar ini milik penerbit swasta dari Jogja, bernama Teras Kalimedia. Adanya bazar ini adalah buah dari kerjasama yang dilakukan oleh pihak UIN dengan pihak penerbit,” terang Pipin.
Kegiatan bazar buku ini rutin digelar setiap tahunnya. Dengan pembukaan lapak satu sampai dua kali di setiap semesternya.
“Ini rutin. Setahun dua kali biasanya. Satu semester satu kali. Kadang, satu semester dua kali. Tidak mesti sih. Terutama awal perkuliahan. Mahasiswa baru itu biasanya,” ungkap Pipin.
Lapak buku Pipin menyediakan buku-buku khusus materi perkuliahan. Ditambah sejumlah buku-buku ringan seperti novel, tips dan trik jago memasak, hingga ilmu-ilmu seputar kewirausahaan. Hal ini tentunya memberi akses kemudahan bagi siapa saja terutama mahasiswa UIN Walisongo untuk menambah wawasan dengan membeli buku dan membacanya.
“Karena mau memberi kemudahan […] bagi mahasiswa […] Ada buku-buku materi perkuliahan. Ada juga yang diobral. Buku-buku yang ringan seperti novel itu,” kata Pipin sembari mengikat buku-buku yang kini sudah ada beberapa ikatan.
Lapak Pipin yang menyediakan beragam buku seputar materi perkuliahan disambut hangat oleh Uha, sapaan Umi Hasanah, mahasiswa semester 6 Ilmu Falak. Ia mengaku terbantu dengan adanya bazar-bazar buku yang terhelat di UIN Walisongo.
“Lapak-lapak bazar buku seperti ini cukup membantu ya soalnya seperti kita ke toko buku kan jauh dan belum tentu buku yang dicari itu ada. Jadi kalau menurutku dengan adanya bazaar buku itu kita tidak perlu jauh-jauh jika ada buku yang sesuai cocok dengan kita yaudah tinggal dibeli. Jadi cukup membantu,” kata perempuan asal Gresik ini.
Di tengah maraknya buku-buku yang telah dipindai ke format soft file dengan beragam media penampilnya. Uha memilih untuk tetap membaca buku cetak. Karena, di samping kebiasaan coret-coret yang ia lakukan hingga sekarang, ia juga dapat menghindari kebiasaan buruk seperti membuka aplikasi-aplikasi lain ketika membaca soft file buku yang ada di gawainya.
“Saya lebih suka beli langsung karena biasanya saya setiap buka buku-buku di pdf itu mau niat baca pasti keganggu dengan yang lain. Jadi mending buku aslinya. Soalnya aku juga sukanya nyoret-nyoret jadi gak keganggu juga kalau ada pesan masuk. Jadi biasanya kalau di pdf bosen buka aplikasi lain jadi keganggu,” jelasnya.
Di samping itu, buku-buku yang disediakan cukup berkualitas dengan harga yang terjangkau.
“Saya tertarik beli buku di bazaar-bazar seperti karena lebih murah sih. Lebih murah saja lebih terjangkau buat mahasiswa,” terang Uha.
Namun di satu sisi ia menyayangkan terlalu seingkatnya waktu pengadaan bazar.
“Menurut aku kegiatan-kegiatan seperti ini sangat perlu untuk diadakan. Tapi untuk jangka waktu yang lebih panjang lagi. Tidak terlalu singkat seperti biasanya,” keluhnya.
Untung-Rugi tidak Menjadi Soal
Lapak buku Pipin dalam waktu dua pekan bisa meraup penghasilan sekitar 5 hingga 6 jutaan. Menurut Pipin ini tidak sebanyak yang ia dapatkan di tempat lain. Jika dibandingkan dengan IAIN Kudus atau di IAIN Madura. Buku-buku Pipin bisa laku terjual hingga 10 jutaan dalam kurun waktu yang sama. Bisa dikatakan antusiasme untuk berburu bacaan di UIN Walisongo terbilang rendah.
“Kalau di Jateng yang agak ramai itu di STAIN [IAIN] kudus. Kalau di Jatim [IAIN] Madura, Pamekasan. Itu durasinya antara satu hingga dua minggu. Sama seperti di sini [UIN Walisongo]. Kalau ramai itu bisa […] sampai 10 juta dalam satu minggu. Malah lebih. Di UIN [Walisongo] sini hitungannya agak sepi,” jelas Pipin.
Total penghasilan yang ia peroleh, di penghujung gelaran lapak akan dipotong dengan pajak 10 persen yang diberlakukan pihak kampus sebagai ganti biaya sewa tempat.
“[Pajaknya] 10 persen dari pendapatan. Seumpama 10 persen dari 5 juta berapa. Ya namanya juga kerjasama. Itu sudah difasilitasi tenda sama meja papan buat tempat bukunya. Kalau fasilitas dari sini [kampus] semua. Paling yang sendiri itu ya transport terus tempat tinggal. Tapi kalau biasanya itu di universitas itu cuma memberi izin sama memberi tempat. Hampir di semua universitas itu begitu. Cuma izin sama tempat,”.
Mendongkrak Gairah Literatif
Namun, hal demikian tidak menjadi soal bagi Pipin. Lapaknya akan terus berada di kampus-kampus, instansi-intansi pendidikan, atau bahkan di tempat-tempat yang lain. Dengan upaya turut membantu memanjangkan nafas literasi di negeri sendiri.
“Yang bisa kita bantu lakukan ya dengan jualan buku seperti ini,” terang pria yang memiliki nama asli Adi Pintakaluhung itu.
Adalah penting apa yang dilakukan oleh Pipin bersama Pipin-pipin yang lain. Mengingat penelitian yang dilakukan pada 2012 oleh Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa budaya literasi Indonesia masih menempati urutan ke 64 dari 65 negara responden. Dengan indikator berupa kemampuan seseorang dalam memahami, menggunakan, dan merefleksikan bacaan yang telah ia baca.
Boleh jadi melalui lapak Pipin dan lapak Pipin-pipin yang lain. Melalui perpustakaan-perpustakaan sederhana milik perseorangan atau pemerintah. Melalui subsidi-subsidi pendidikan yang diberikan, baik formal ataupun non formal. Atau bahkan melalui tersedianya file ringan buku-buku bacaan di media-media digital sekalipun. Mampu mendongkrak gairah literatif generasi saat ini. Sehingga bisa meruntuhkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PISA tahun 2012 lalu. (Rep: Afif/ Red: J)