Tokoh Agama “Turun Gunung” Selesaikan Perang Identitas

Semarang justisia.com Ditengah derasnya percaturan politik yang semakin memanas, turut mengundang tokoh-tokoh agama untuk merespon berbagai masalah yang terjadi. Perang identitas agama menjadi perhatian penting. Masalah ini harus segera di sudahi mengingat di negara-negara maju, sudah tidak menggunakan identitas agama dalam politik. Mereka sudah menggunakan identitas kebangsaan.

“Eropa sudah tidak ada lagi politik yang menggunakan identitas agama, mereka sudah kembali ke identitas kebangsaan,” jelas Yahya Cholil Staquf dalam Diskusi Publik LP2M UIN Walisongo dan Rahim Bangsa dalam Diskusi bertajuk Islam Kebangsaan Kemanusiaan dan Tantangan Milenial di Auditorium I UIN Walisongo semarang Kamis, (15/11/18)

Cholil menambahkan, “perang antar agama sudah cukup di masa Turki Utsmani saja, karena dahulu, agama identik dengan negara, makanya perang negara identik dengan agama,” tutur Katib Aam Syuriah Penguru Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2015 hingga 2020.

Lanjut Cholil, namun, bedanya perang agama dan negara jaman Turki Utsmani dan sekarang, kalau dulu, antara militer dan negara, sekarang yang perang bukan militer dan negara lagi, tetapi sudah sipil dan negara. Oleh sebab itu, kita masih beruntung sebagai Islam Nusantara. Konflik antara di Ambon tidak terjadi sampai genosida.

“Bahayanya, banyak orang salah tafsir dengan qaulnya Imam Syafii yang berbunyi Aslinya, hukum darah orang kafir itu halal darahnya kecuali ketika ada jaminan keamanan negara. Nah, kalau itu ditafsirkan seperti itu, ketika tidak ada kemanan pemimpin, semua dzimi darahnya halal. Dan ini sangat berbahaya,” ungkap lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Univesitas Gajah Mada (UGM).

“Generasi milenial harus faham melihat perang narasi-narasi saat ini. Munculnya HTI hanyalah tujuan politik, bukan soal kemaslahatan agama,” jelas mantan Juru Bicara Presiden ke 4 Abdurahman wahid (Gus Dur).

Hal senada dengan Cholil Yahya Staquf, tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka, Ketua PW Muhammadiyah, Tafsir, mengatakan, adanya Indonesia karena masyarakat berkomitmen sebagai orang Indonesia. jelas PW Muhammadiyah tersebut

“Jadi, dahsyatnya, 212 dan isu-isu tentang revolusi jangan khawatir, karena tidak akan terjadi selama NU dan Muhammadiyah masih berkomitmen pada keyakinannya,” ungkap Pendiri Muhammadiyah Disantre Managemen Centre (MDMC).

Tambah Tafsir, akibat kejumudan agama, muncul kelompok-kelompok yang membawa misi lama ke masa sekarang. “Kelompok ini disebut new konservatif, yang mengklaim yang paling sunah,” tutur laki-laki kelahiran Kebumen.

Lanjut Tafsir, mengapa perang narasi di media sosial didominasi oleh kalangan islamis, karena NU dan Muhammadiyah sibuk memikirkan tangung jawabnya masing-masing NU sibuk ngurusi Pesantren, dan Muhammadiyah sibuk ngurusi Kampus.

“Jadi wajar kalau NU dan Muhammadiyah susah diajak demo seperti 212,” jelas peraih Penghargaan Maarif Award 2008. (Nandar/Red: Syaifur)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *