Sastra Tangan Kanan Tuhan Untuk Polemik Agraria

sumber ilustrasi: mediasulbar

Oleh: Mukhamad Ali Masruri

Dialah (Allah) yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, agar kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak. Itu adalah bunyi terjemahan Kalam Ilahi dalam surat Al-Furqan ayat 48 sampai 49.

Dimulai dari sebuah renungan saat membaca kalimat bernuansa sastra, Al-Quran bayangan kasus reklamasi Jakarta, kasus gunung kapur Kendeng, konflik Kulon Progo, ataupun yang lainnya, datang untuk bertanya apakah Sastra Tuhan itu tak lagi bisa didengar?

Bukankah arsitektur Tuhan itu indah, pembagian dan penempatan tata ruangnya sangat merepresentasikan rahmatnya, siapa yang tidak setuju akan hal itu?. Namun mengapa sampai detik ini kita belum bisa ramah terhadap lingkungan. Bayangkan sudah berapa kali alam ini tersakiti? Mulai dari action korporasi, reklamasi dan apapun itu yang menghancurkan alam secara kejam dan merugikan rakyat kecil.

Pembangunan yang kurang selektif terhadap persoalan lingkungan telah sukses menggoreskan bercak-bercak darah di atas kulit bumi. Haruskah Tuhan sendiri yang turun tangan menghentikan kegilaan ini. Sastra-sastra para pejuang tangan kanan Tuhan belum mampu menembus gendang telinga sang pembuat onar.

Konflik agraria memang tampak memihak koorporasi, mencakar dan mencederai rakyat kecil. Para aktivis lingkungan terlihat hanya sebagai penyedap rasa dalam kubangan konflik agraria yang berkepanjangan, dan tetap saja hukum masih memihak kaum kapitalis yang buta terhadap persoalan humanisme.

Mulai dari jalan aksi, literasi yang ilmiah maupun karya sastra dan jika meminjam istilahnya Mardhatillah Umar dalam salah satu esainya sastra-sastra (populisme sayap kanan) masih sebatas tiupan angin dari mulut pada kulit manusia, sungguh tak terasa.

Semestinya lagunya Koes Plus Kolam Susu, orang bilang tanah kita tanah syurga tongkat kayu dan batu jadi tanaman cukup menjadi inspirasi semangat bangsa untuk menjaga dan melestarikan alam Indonesia ini. Bukan lagi tongkat kayu atau batu yang jadi tanaman melainkan tanaman yang menjadi batu (bangunan) tanpa pertimbangan kemaslahatan umum dan jangka panjang.

Peristiwa konflik agraria yang diperankan oleh rakyat sebagai kaum proletar dan koorporasi sebagai kaum borjuis selama ini mengingatkan akan peristiwa perang petani di Jerman tahun 1850 dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas oleh para pejabat

Frederick Engels menceritakan: setelah perang tani ini selesai. Para petani, di mana-mana, dibawa lagi ke bawah kekuasaan para pejabat gereja, para majikan bangsawan, atau para majikan patrician. Perjanjian-perjanjian yang telah tercapai di sana-sini pun dilanggar, dan beban berat pun ditingkatkan dengan ganti rugi sangat besar yang dikenakan oleh para pemenang kepada yang dikalahkannya. Peristiwa Jerman ini tak jauh berbeda dengan yang kita alami saat ini.

Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab pemerintah negara terhadap agraria dalam sejarah Islam dapat dijadikan sebagai refleksi keharmonisan hubungan manusia dengan buminya. Pada abad ke-6 pada masa awal peradaban Islam, pemerintahan Madinah sangat mempedulikan kesejahteraan alam, berikut flora dan faunanya.

Umar ibn Khattab pernah mengeluarkan kebijakan konsevasi alam dan mengatakan kepada pihak pengelolannya sesungguhnya air dan rumput itu lebih ringan urusannya dari pada uang dan emas. Demi Dzat yang jiwaku berada di bawah genggaman tangan-Nya, sandainnya harta tersebut tidak dapat aku gunakan di jalan Allah, aku tidak akan melindungi sejengkal pun lahan untuk mereka.

Umar sangat tahu dan mendengar sastra-sastra ayat Tuhan yang menceritakan kasih sayang Tuhan terhadap alam dan isinya. Perkataan yang Umar sampaikan sangat mendalam akan pentingnya menjaga kelestarian demi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup, terlebih manusia dengan tanpa memihak dan merugikan sebelah pihak..

Perihal sistem legitimasi pengelolaan alam, Al-Mawardi menjelaskan: jika suatu lahan telah resmi sebagai lahan yang dilindungi itu tetap menjadi milik umum, dilarang untuk menghidupkan (mengubahnya menjadi lahan pertanian) untuk dimiliki. Semuannya itu dimaksudkan untuk menghormati lahan tersebut.

Jika semua masyarakat, orang kaya, orang fakir, muslim, dan kafir dzimmi mempunyai hak yang sama terhadap tanah yang dilindungi tersebut, maka rumput di lahan tersebut diberikan kepada kuda-kuda mereka dan hewan ternak mereka yang lain.

Jika tanah yang dilindungi itu khusus untuk orang-orang fakir, maka orang-orang kaya dan kafir dzimmi dilarang memanfaatkanya. Namun, lahan yang dilindungi itu tidak boleh dikhususkan untuk orang-orang kaya saja tanpa orang-orang fakir, (rakyat kecil) atau hanya dikhususkan untuk orang kafir dzimmi saja tanpa kaum muslimin, begitulah yang dikatakan Al-Mawardi.

Legitimasi yang ditawarkan oleh Al-Mawardi tersebut merupakan gambaran jelas tentang mekanisme pemanfaatan dan pengelolaan alam secara sederhana namun global yang menjadi tanggung jawab pemerintah negara. Tinggal bagaimana kita memaknainya secara kontekstual, dengan pertimbangan kadar kemaslahatan sebagai porosnya. Sebenarnya kita sendiri yang lebih tahu tentang kondisi alam kita, bukan orang lain.

Ego sentrisme kaum kapitalis harus kita buang jauh-jauh dari dalam diri kita. Sadarlah jika kita kaya saat ini dengan memiliki proyek properti perumahan skala besar, dengan bangunan bercakar langit yang membutuhkan energi alam berlebihan, maka pada saatnya nanti generasi selanjutnya dapat dipastikan akan kebigungan, kelaparan dan kehausan, disebabkan oleh ulah kita di masa sekarang.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *