Politik Uang Jadi Budaya
Adanya politik uang mengganti kepemimpinan yang seharusnya dipilih rakyat dengan cara sadar bukan karena desakan uang.

sumber foto: majunkri.com
Oleh : Sayyida Mahmudatun Nisa
Dewasa ini, kita dihadapkan pada fase discruption atau fase ketidak pastian. Dalam fase ini, manusia dituntut untuk hidup berkompetisi, bahwa siapa yang bertahan, ia yang akan dipertahankan. Suara milenial dideru-derukan sebagai penentu segala aspek kehidupan. Begitupun dunia perpolitikan.
Pasca Orde Baru, gairah politik di Indonesia kembali bermunculan. Banyak partai politik hadir dengan mengusung asal komunitasnya. Pada saat itu, euforia politik sedang gencar-gencarnya menjamah Indonesia. Para partai politik yang dulu dikekang oleh adanya penguasa tampil lebih percaya diri pasca orde baru (reformasi). Perpolitikan saat itu sangat mengedepankan nilai Pancasila dalam pemilu, yakni dengan asas luberjurdil. Bertolak belakang dengan kenyataan yang ada pada saat ini. Banyak daripada penguasa yang mempengaruhi jalannya pemilu, seperti memobilitas masyarakat dengan cara hoax dan politik uang (monay politic).
Pilitik uang diperngaruhi oleh tingginya persaingan untuk memperebutkan kursi DPR seperti yang tertera dalam UU nomor 7 tahun 2017, yang telah disahkan oleh Presiden Jokowi pada 15 Agustus 2017 lalu. Namun sebelum tahun 2017 pun, Indonesia memang sudah gencar dengan politik uang. Hak suara rakyat dengan mudah dibeli oleh kaum-kaum beruang untuk memperoleh kursi legislatif. Bukan hal aneh jika kemudian dewan legislatif banyak yang tertangkap oleh KPK.
Lebih miris lagi dalam pemilu setiap tahunnya adalah bagaimana kesadaran masyarakat yang hak pilihnya dapat digantikan dengan selembar uang biru atau uang gambar mantan presiden RI. Nasib dalam 5 tahun ke depan mereka berikan kepada kaum yang menyodorkan amplop. Ideologi lah yang mengalami krisis akan kejadian tersebut.
Nilai-nilai Pancasila bukan lagi tolak ukur dalam mengisi perpolitikan Indonesia. Politik uang membuang nilai sila ke-4 yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Adanya politik uang mengganti kepemimpinan yang seharusnya dipilih rakyat dengan cara sadar bukan karena desakan uang.
Politik uang juga bertolak belakang dengan Ketetapan MPR no.II/MPR/1978. Dalam ketetapan MPR tersebut dituliskan bahwa penjabaran dari sila ke-4 sebagai berikut :
- Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
- Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
- Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Jika ditelisik, politik uang melanggar ke tujuh penjabaran yang ada dalam ketetpan MPR. Politik uang tentu mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi yang berkaitan dengan kedudukannya di ranah legislatif. Hal tersebut tentu memaksakan kehendak orang lain dengan cara memobilitas pilihan rakyat menggunakan uang. Politik uang juga rawan terhadap kepentingan golongannya sendiri. Kursi dalam legislatif akan diduduki oleh partai-partai besar dan berdampak pada keputusan-keputusan yang nantinya menguntungkan golongannya sendiri. Pemilu bukan lagi ajang kompetisi untuk menentukan pemimpin yang layak, namun kompetisi tidak sportif yang tidak mengusung semangat kekeluargaan. Dengan uang keputusan yang diambil dalam memilih anggota legislatif tidak berdasarkan hati nurani dan kesadaran seseorang. Dan keputusan-keputusan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan. Baik secara moral, harkat dan martabat. Serta tidak mencakup nilai kebenaran dan keadilan.
Dalam persoalan politik uang, tidak hanya calon politikus yang bersalah. Masyarakat juga turut andil dalam adanya politik uang. Tanpa peran masyarakat yang mau dimobilitas dan dibeli hak pilihnya melalui uang, politik uang tidak akan terlaksana. Adanya politik uang menghubungkan antara dua pihak atau lebih yang saling berkaitan. Mirisnya, dewasa ini tak sedikit dari masyarakat yang menilai layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin mereka berdasarkan seberapa besar uang yang dikeluarkan pada saat kampanye.
Ranah politik memang lekat kaitannya dengan uang. Meski layak atau tidaknya seorang pemimpin dalam perpolitikan diliat dari segi integritas pribadi. Seseorang yang memiliki integritas tidak akan memobilitas warga melalui uang, namun dengan kesungguhan memberikan pengertian-pengertian positif tentang visi dan misi. Sehingga politik dapat menjadi implementasi nilai pancasila.