Perempuan di Tengah Falsafah Nusantara dan Ekofeminisme

Dalam falsafah nusantara pemberian nama kepada alam sebagai Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan rentetan kata Ibu yang lainnya adalah bentuk syukur nenek moyang kepada bumi sebagai tempat lahirnnya manusia dan kelak manusia membaringkan jasadnya.

sumber foto: twitter.com

Oleh: Adetya PramandiraM

Memayu Hayuning Bawana,motto berbahasa Jawa yang sarat makna. Ungkapan ini tampaknya sudah asing di telinga kita, kalah trendy dengan ungkapan bahasa Asing Save Our Earth, We Will be Save. Entah mau menggunakan bahasa apa, yang jelas ungkapan ini memberikan pelajaran yang semestinya kita gugu. Menyejahterakan dan menjaga alam raya. Memayu Hayuning Bawana. Falsafah nusantara yang ada nun jauh sebelum nama nusantara itu sendiri ada. Falsafah ini adalah bukti tekad kuat nenek moyang kita dalam menjaga bumi yang kita tempati.Kalau ala-alaIslam, falsafah ini sangat identik dengan hablum minal alam, yakni bagaimana manusia berhubungan, mengelola dan menjaga alam.

Berbicara tentang falsafah nusantara dan alam, saya jadi teringat dengan berbagai sebutan akrab terhadap bumi. Mulai dari Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan bahkan sampai menggunakan sebutan dengan nama tokoh istri si tampan Ramayana, Ibu Shinta. Sebutan-sebutan ini lantas menimbulkan pertanyaan bagi saya. Kenapa harus menggunakan kata ibu yang merupakan panggilan khas untuk perempuan? Dan kenapa menggunakan nama Shinta yang pada umumnya disematkan kepada perempuan? Tentunya pemberian nama ini bukanlah sesuatu yang tanpa pemikiraan dan bukan hanya sekedar pemaknaan. Unik dan tumpat makna. Macam Negara Indonesia yang lahir karena sumpah sang Maha Patih Gadjah Mada Amangkubumi, sumpah Palapa dan lebih lengkapnya sumpah Tan Ayun Amukti Palapa. Bangsa yang lahir karena puasanya sang Patih. Bangsa yang lahir karena sumpah. Sungguh nyentrik.

Namun, kita tidak boleh lupa ataupun pura-pura lupa, bahwa sumpah tersebut bisa terwujud karena adanya semangat perjuangan melawan ketertindasan dan kesempatan. Bukan ada karena begitu saja dan bukan mas kawin dari penjajah asing. Sejalan dengan ajaran John Fitzgerald Kennedy dan Marthin Luther King bahwa kemerdekaan takkan pernah diberikan secara sukarela oleh kaum penindas melainkan harus ada perjuangan dan perebutan dari mereka yang tertindas. Stop. Kembali kepada pertanyaan ibu-ibuan.

Dalam falsafah nusantara pemberian nama kepada alam sebagai Ibu Bumi, Ibu Pertiwi dan rentetan kata Ibu yang lainnya adalah bentuk syukur nenek moyang kepada bumi sebagai tempat lahirnnya manusia dan kelak manusia membaringkan jasadnya. Bumi dengan segala isinya memberikan penghidupan kepada mahluk yang menghuni. Memeras sari-sari melalui flora dan fauna, air serta udara yang berhembus di atas punggungnya. Semua ini dilukiskan seperti seorang ibu, yang melahirkan, merawat, dan memberikan kasih sayang kepada semua makhluknya.

Meminjam perkataan Maria Mies, seorang tokoh feminis yang menjadi dedengkot berdirinya Program Perempuan dan Pembangunan di Institute Studi Sosial Den Haag, Belanda, bahwa secara ontologis perempuan menciptakan harmoni kesinambungan antara manusia dan alam. Dalam menyediakan pangan sebagai sumber penghidupan, perempuan benar-benar berinteraksi dengan alam. Perempuan tidak hanya sekedar mengumpulkan dan mengonsumsi sesuatu dari Ibu Pertiwi. Tetapi mereka menjadikannya tumbuh.

Namun, kita harus menginsafi bahwa kini Ibu bumi tengah mengalami kegundahan. Ibu bumi dikotori, dijarah, diperah, diperkosa, dihina dan berbagai macam di yang mengerikan lainnya. Berbagai kasus kerusakan dan pengrusakan lingkungan marak terjadi di hamparan bumi nusantara.

Pendirian pabrik dan pembukaan lahan untuk industrialisasi mengingatkan saya kepada tragedi lumpur lapindo beberapa tahun silam, yang juga merupakan ulah manusia. Terlepas dari kuasa Gusti Allah Yang Moho Widi. Peristiwa lumpur lampindo nampaknya menjadi pelajaran yang teramat berharga. Secara filosofis menggambarkan bahwa laku lampah kehidupan manusia telah penuh dengan lumpur dan dosa. Benar tidaknya mari kita tanyakan kepada diri masing-masing.

Pelbagai pengrusakkan tersebut, lantas menjadi benar ketika banyak beredar kalimat Ibu Bumi Kang Maringi, Ibu Bumi Kang Dilarani. Bukan saja Ibu sebagai simbol. Dalam hal ini, ibu-ibu, emak-emak, para perempuan telah disakiti oleh berbagai pengrusakan lahan disamping kaum adam juga merasakan dampaknya. Dengan demikian, ditengah maraknya pengrusakan lingkungan, perempuan tentunya mempunyai andil yang besar dalam merawat dan mempertahankannya untuk tetap lestari.

Dalam bingkai feminisme, aliran ekofeminisme adalah salah satu upaya dalam merawat dan mengelola lingkungan dengan sifat keperempuanan atau lebih tepatnya keibuan. Ekofeminisme mengingatkan saya kepada perempuan cantik, Francois dEubonne yang pada tahun 1974 melalui bukunya Le Feminsme Ou Lamort berupaya menggugah dan mengetuk hati perempuan untuk lebih sadar kepada lingkungannya. Francois memandang kerusakan lingkungan sejalan dan berbanding lurus dengan ketimpangan laki-laki atas perempuan. Subordinasi, marginalisasi dan juga budaya patriarki yang berkembang pada masa itu telah mengungkung dan membatasi ruang gerak perempuan dalam pemberdayaan alam.

Adanya ekofeminisme berupaya merekonstruksi konsep andrhosentrisme,yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dalam berbagai pola kehidupan dan antrhoposentrisme yang menempatkan manusia sebagai sumber kajian dan alam sebagai penunjang kebutuhan saja.

Kita perlu mengingat ajaran induk bala gerakan feminisme dan lingkungan, Karen J. Warren, bahwa, logika konseptual yang dibangun andrhosentrisme mempunyai tipikal menindas dan mengeksploitasi. Logika dan filsafat andrhosontrisme dan antrhoposentrisme berhasil menjadikan sistem dan tatanan ekologi alam terancam punah. Hal ini dikarenakan kedua logika dan filsafat ini mengekor kepada logika akosentrisme yang banyak menekankan kepada eksploitasi, dominasi dan juga manipulasi terhadap alam. Menurut logika ini manusia telah dididik untuk saling menjegal, menghegemoni dan saling menjarah. Simak kata Plautus dalam mahakaryanya Asinaria, Homo Homini Lupus manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, dimana yang kuat, yang menjarah, yang memperkosa dialah pemenangnya.

Keberadaan ekofominisme, menawarkan sebuah cara pandang yang holistik, pluralis dan inklusif yang menekankan kepada aspek keseimbangan dan sama rata dalam merawat dan mengelola alam. Lebih dari itu, gerakan ekofeminisme berupaya mendobrak kesadaran masyarakat bahwa perempuan juga mempunyai andil, pengaruh yang luar biasa dalam melestarikan dan menjaga alam.

Gerakan penyelamatan lingkungan berbasis perempuan bukanlah sekadar utopia semata. Karena dalam merawat dan menjaga lingkungan perlu adanya kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Ekofeminisme perlu diapresiasi sebagai salah satu gebrakan penyelamat lingkungan. Sebagai sesuatu penekan laju pertumbuhan kerusakan lingkungan, ekofeminisme perlu dibumikan untuk menjaga kestabilan lingkungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *