sumber ilustrasi: https://i.ytimg.com/vi/uQDDEYFkcww/maxresdefault.jpg

Oleh: A Zainul Fuad

Sang pengendara motor itu datang bersama SIM dan STNK. Ia berjalan mengelilingi simpang, dari simpang satu ke simpang dua, dari simpang dua menuju simpang tiga, dan melewati simpang empat hingga ke simpang lima.

Dari jauh plat motornya memancarkan nuansa sendiri. Memikat para pengintai jalan, dari preman para calo, begal, hingga para intel hijau pun mengamatinya. Terselip motor bernomor PM 1766 II diantara motor bernomor H****XX (Semarang). Suara sirine gempar membias segala arah dan meluap-luap detak pengguna jalan. Para pengemudi yang tak lengkap surat-suratnya saling mendahului, saling menyeip, dan saling menerjang. Hingga lampu merah ia tak dihiraukan.

“Anjay !,”

“Brengsek,”

“Gila..!!,”

Ucap pejalan kaki yang kakinya terseret hingga puluhan meter saat hendak menyebrang di luar daerah penyebrangan.

Polisi yang menatap kejanggalan pada nomor motor orang asing dengan nomor kendaraan PM 1766 II menyapa dengan sisa kewibawaannya.

“Selamat sore, bisa tunjukan surat-suratnya….?”

Jalanan kembali normal, beberapa kali para pengguna jalan ada yang melirik. Tabrak lari itu tidak dihiraukan. Polisi itu masih berada di depan pengguna motor yang bernomor PM 1766 II

“Saudara dari mana…?”

“Tuban pak.!!”

“Coba bisa tunjukan surat-suratnya…?”

“SIM ya pak…?”

“Ya SIM nya mana…?”

Sambil mengeluarkan dari dompt nya ia bertanya. “Memang SIM sendiri fungsinya buat apa pak…?”

SIM itu surat izin mengemudi mas, sambil senyum agar terihat ramah.

Ia kalau itu mah tau, anak sd juga tau kalau itu mah.

Lantas kenapa tanya…? “terlalu !!” Gumanya.

“Lah saya masih bingung pak,”

“Bingung bagaimana mas…?”

“Kenapa harus punya SIM pak….?”

“Ya biar bisa mengemudi . bego !!”

“Lah , di rumah saya anak kecil kalau ingin bisa mengemudi belajar pak bukan bikin SIM… ,”

“Ia memang begitu, biar aman maksudnya mas…? kan kalo punya sim misal terjadi sesuatu bisa mudah, bukan…?”

“Lah kalo biar aman, bukanya pake Helem dan perlengkapan mengemudi dengan lengkap pak…? sekarang saya jadi tambah bingung, ko SIM itu semacam sebuah sistem…? memang SIM itu kebijakan dari pemerintah atau sistem pak…?”

“Kebijkan ya sistem,”

“Kalau kebijakan, harusnya mengayomi pak…?”

“Lah kami juga mengayomi. Dan memudahkan bukan…?”

“Lah bapak terlalu mengayomi, saya saja sampai bingung. Kami ingin buat sim malah dilatih menjadi sirkuit, kami harus belajar melewati zig-zag. Memutar-mutar angka delapan. Teman saya bikn sim di cilacap karena tidak bisa menjadi sang akrobat dia harus membayar 600, dan demak dan sekitarnya 300, dan sumatra sekitar 400. Lah apa itu yang namanya sistem …? itu yang namanya bijaksana…?”

“Hayo ketahuan tidak lolos SIM yah…?”

“Lah bagaimana mau lolos, yang katanya sistem ajah menresahkan….?”

“Lah buaknya mudah…?”

“Mudah bagai mana,? kita harus zig-zag, muter-muter angka delapan . lah bapak kira gue mau seleksi Indonesia Get Talent. Jadi tukang sirkuit motor….?”

Pengemudi jalan pun banyak berhenti, menatap dan mendengarkan dialek antara pengemudi dan pemuda. layaknya Socrates dan Plato dalam menentukan kebijaksannan. Bahkan dialek itu lebih menarik karena alunan motor mengirigi irama, sorot motorpun memecah ruang. Memberi nuansa sendiri.

Kendaraan terus berhenti, motor, Avanza, Mercedes, BMW, Toyota, hingga Holcimpun ikut berhenti. Layaknya blokade pantura oleh aksi jalanan. Entah berapa miliar negara dirugikan. Yang pasti kendaraan terus berhenti, hingga berkilo-kilo meter. Tapi polisi tidak menghiraukan hal itu.

“Saudar..?”

“Saya pak…?”

“Ngomong-ngomong, anda tahu kesalahan anda…?”

“Tidak tahu pak,”

“SIM saudara sudah ada, walau mungkin nembak. STNK ada tapin namnya bukan atas nama anda. Entah motor pinjam atau apa tapi lengkap. Anda lihat doop ban anda…?”

“Ia pak saya lihat,”

Orang-orang yang berhenti menatapnya bakan ada yang dari jarak 200 M lari, dia menyempatkan selfi di depan doop ban orang muda yang di tilang polisi. Lampu kilat menjuntai segala arah.

Polisi meniup peluit.

Stop !! “Ini jalanan bukan tempat spot foto,”

****

Jalan itu macet total, para pengamen, pengemis, pedagang; pedagang eceran, pedagang kaki lima, dan yang lain. Merelakan berpindah dari yang tadinya stand bay di bawah lampu merah, di tempat mangkal. Sekarang mendadak pindah ke sekitar pemuda yang sedang di intrograsi. Kemacetan terus bertambah dan selalu bertambah , namun di sana polisi sedang asik menulis surat tilangnya.

“Saudara sudah melihatnya, dan tahu kesalahan Anda…?”

“Ia Pak,”

“Hendak sidang di pengadilan , atau di tempat..?”

“Nanti dulu pak, saya diskusikan dengan teman saya dahulu. Beri kami waktu lima menit untuk memikirkan jawabanya,”

“Ini proses tilangan, jangan main-main,” bentaknya

“Sebntar Pak…?”

“Di sini bukan ajang cerdas cermat, you anderstand…?”

“Sebentar Pak, kasih kami waktu lima menit lagi,”

Cang ci men, cang ci men. Kacang, kwaci, permen. Tahunya mas, esnya mas, masih segar. Buahnya Pak…? asli loh sambil menunjukan tugas jualan dan tanda keaslian buahnya kepada polisi itu, tanpa ada rasa salah atau takut. Dengan cuaca semakin panas, ditambah bisingnya jalanan. polisi itu pun tersulut emosi, dia kembali meniup peluitnya yang entah ke berapa ribu. Prit..prriitt..priit. pergi jangan manggangu jalanya lalu lintas, ia mengusir pedagang yang menawarkan buah padanya.

“Jadi bagaimana saudara..?”

“Jadi begini Pak, kasih kami waktu enam puluh menit untuk melakukan penggalangan tilangan,”

“Saudara gila ya…?”

“Lah, nanti saya bayar Pak. Berapa yang bapak minta saya akan bayar Pak,”

“Jadi mau penggalangan dana ini….? tapi saya Cuma kasih waktu tiga puluh menit, paham,” bentaknya

“Ia pak, tiga puluh menit juga cukup. Tenang sajah nanti saya bayar tunai kok Pak,”

Polisi gleng-geleng kepala. “Absurd,” gumannya

Stocwath di atur enam pulu menit, anak muda tersebut memutar motornya kearah kemacetan yang bermil-mil, sambil menarik gasnya polisi menekan tombol mulai. Dari kejauhan para pengguna jalan sudah melambaikan tangan lewat jendela mobil sambil memang uang recehan, akhirnya orang temanggung itu menyusuri jalan itu sambil menyodorkan gerdus. Cring, cring, cring. Uang recehan terus bermasukan ke dalam gardus. Sang pemuda terus menyusuri kemacetan itu dengan zig-zag, berputar-putar layaknya ujian SIM.

****

“Gimana saudara, sudah terkumpul uangnya…?”

“Jelas, sudah dong Pak. Kan tadi saya bilang akan bayar tunai,”

“Saudara, silahkan baca sendiri surat tilangya. Di situ saya sudah cantumka

n stok tagihanya,”

“Saya bayar tunai Pak, malah saya hendak sodaqoh juga buat istri bapak,”

Jalanan bergemuruh, jutaan pengendara membunyikan klaksonya. Termasuk para pengamen dan pedagang jalanan banyak yang bersorak-sorak, bahkan beberapa ada yang menyanyikan yel-yel

Polisi meniup peluit, pritt, prrriit.

“Hust, jangan kampanye di sini,” ia berkata tegas. Silahkan lanjutkan perjalanan Anda, dan ini saya terima uang tilangnya yang beratnya berkilo-kilo.

Dengan sisa nafasnya, ia meniup peluit untuk yang ke 1003. “pritt, prriit, prriit,” Itupun tidak bersuara, karena pluitnya terpenuhi air ludahnya. Para pengguna jalan pun menginjak gasnya, Grung, grung, grung.. lampu merah sepanjang jalan ia trabas, terus melaju tanpa peduli.

****

Dalam warta indonesia, seluruh chenel memberitakan kemacetan terpanjang di indonesia yang mancapai bermil-mil. Bayangkan berapa rugi yang ditanggung oleh Negara, karena satu orang yang berani. Tidakah kamu berfikir seperti apakah dunia, jika indonesia punya orang-orang berani seperti dia…?

Sang bapak ploklamator kembali bangun dari bumi tempat bersemayamnya yang telah nyaman, namun ia kembali terbangun melihat ada buyut canggahnya yang mewarisi sikap gagah beraninya. Tidak ada yang tahu. Bapak ploklamator sangat senang melihatnya, ia bangga karena indonesia masih ada orang yang berani. Pada pertiwi ia berkata, “Beri aku sepuluh seorang niscaya akan aku cabut semeru dari akar-akarnya, dn berikanlah aku sepuluh pemuda pandai niscaya akan aku guncangkan dunia,” Namun tak ada seorang pun yang mendengarnya kata itu hanya ibarat angin spoi-spoi penghantar tidur siang bagi bangsa Indonesia.

Para pengendara terus melaju, namun kemacatan itu terus bertambah ke seluruh jalan-jalan di jalan kabupaten, jalan provinsi, jalan kota, dan jalan desa pun ikut macet. Sampai perusahaan KAI ikut protes pada pemerintah karena para penumpangnya gagal untuk berangkat. Di sisi lain yang lebih lucu di bagian penerbangan, pesawat garuda indonesia hanya membawa satu penumpang dalam pemberangkatannya ke luar negeri layaknya pesawat pribadi. Di ibu kota pun ikut macet, sampai-sampai dunia menobatkan ibukota indonesia masuk ke dalam nominasi macet terpanjang di dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *