Penelantaran Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

sumber foto : kricom.id

Justisia.com Kekerasan terhadap perempuan tidak kunjung selesai dihadapi. banyaknya kasus kekerasan yang terjadi dan mencuat ke ruang publik merupakan sekelumit kisah yang berhasil ditunjukkan ke khalayak umum bahwa terdapat kekerasan pada diri perempuan yang kebanyakan pelakunya datang dari pihak laki – laki atau secara individu. Selain individu yang menjadi pelaku kekerasan, kelompok, negara, dan korporasi adalah bagian aktor yang begitu dominan melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Dari kasus yang berhasil diperlihatkan ke ruang publik, namun tidak sedikit kasus yang justru sengaja disembunyikan oleh perempuan itu sendiri yang menjadi korban kekerasan. Mereka enggan untuk bercerita kepada siapapun. Derita yang mereka alami cukup ia yang mengerti. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga mereka, perempuan acapkali mendiamkan kasus yang dialaminya.

Ia tidak berani melapor ke pihak berwenang. Ketidakberanian itu dilatarbelakangi karena demi mempertahankan kehidupan keluarga bersama suami walaupun si suami telah memperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Acaman bertubi-tubi dari suami kepada istrinya inipula yang perempuan takuti kalau kekerasan yang dialaminya sampai ada orang lain mengerti. Bukan malah menyelesaikan masalah tapi menambah masalah. ia bisa diancam bahkan dipukul habis-habisan.

Seperti hasil penelitian Evarisan dalam buku “Panduan Pendirian Pusat Pelayanan Terpadu Bagi Korban Kekerasan Bebasis Gender di Tingkat Kecamatan”ia mengurai ada beberapa alasan mengapa perempuan tidak berani menuntut haknya. pertama, takut pembalasan dari pelaku. Kedua, seoalah ada kewajiban untuk melindungi nama baik keluarga. Ketiga, seringkali menyalahkan diri sendiri. keempat, takut pada reaksi keluarga dan masyarakat. kelima, tidak faham hukum. keenam, akses terhadap layanan yang jauh dan biaya mahal. Ketujuh, belum adanya perlindungan hukum bagi korban. Dan terakhir lamanya proses penyelesaian kasus. Maka tidak heran jika kekerasan yang terjadi di lingkup keluarga dalam hal ini perempuan, ia memilih untuk membisu.

Kekerasan dalam rumah tangga seperti tertera dalam UU No23/2004 tentang penghapusan dalam rumah tangga, bahwa kekerasan tidak selalu berbentuk fisik, tetapi juga psikis. Penelantaran terhadap keluarga merupakan bagian dari akar kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk psikis. hal inipula yang diklasifikasi komnas perempuan 2016, bahwa kekerasan dalam rumah tangga fisik maupun psikologis merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan.

salah satu kekerasan yang berbentuk penelantaran yaitu suami meninggalkan istri tanpa jejak dan tanpa memberikan kejelasan. Sehingga istri tidak diberi kabar mengenai keadaan suaminya dan Suami melepaskan tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan menelantarkan keluarganya. Istri tidak diberi nafkah baik dhohir maupun batin dan anak yang menjadi tanggung jawab bersama justru dibebani oleh istri sepihak. Keadaan begini masih banyak dialami perempuan manapun di lingkungan keluarga. Salah satunya perempuan berinisial SD warga kota Semarang.

Perempuan paruh baya ini menceritakan pengalaman pahitnya saat ditinggal suami TM yang sampai saat ini belum kunjung kembali. dari hasil perkawinanya tersebut, perempuan yang sekarang berprofesi pedagang nasi di depan rumahnya dikarunia 4 anak. Anak pertama perempuan sementara ketiganya laki-laki. Dari keempat anak itu semuanya sudah berkelurga.

Tatkala ditinggal pergi suaminya, usia SD 30 tahun sementara keempat anaknya masih kecil semua. SD belum mengerti alasan mengapa suami meninggalkan istrinya itu dan keempat anaknya. Semenjak ditinggal pergi suami itulah SD Merawat, meyekolahkan dan menikahkan anaknya ditanggung SD seorang diri. Walaupun ditinggal pergi suaminya bertahun tahun lamanya, namun status hubungan keduanya masih terikat hubungan suami istri lantaran TM suami SD menolak menceraiakan istrinya. saya tidak dicerai, padahal saya meminta cerai ke suami berulang-ulang, tapi suami saya tidak mau menceraikan saya. daripada keadaanya begini terus, ungkapnya saat ditemui di rumahnya, Minggu (11/11)

TM suaminya, tidak memberikan alasan mengapa menolak menceraikan istrinya itu. Sementara SD sendiri enggan untuk mengajukan gugutan cerai di pengadilan lantaran alasan biaya pengadilan tidak sedikit ditambah dengan biaya transportasi yang banyak serta memakan waktu cukup lama bila berusan dengan pengadilan. Daripada menghabiskan banyak waktu dan banyak biaya, SD pasrah sebagaimana adanya. Ia hanya mau mengurus keempat anak-anaknya yang kala itu keempatnya masih kecil. “Bagaimana mau ngurus ke pengadilan, ada uang buat makan sudah untung,” ceritanya dengan nada memelas.

Setelah meninggalkan SD bertahun lamanya, TM suaminya menikah lagi dengan teman kerjanya. Perempuan yang mulai memutif sebagian rambutnya itu menampik saat ditanya pernikahan suami dan istri kedua itu, secara resmi ataukah sirri. SD sempat dipaksa TM untuk menandatangani surat yang dipinta suami supaya si TM bisa menikah lagi dengan calon istri kedua. Tetapi SD menolak mendatangani lantaran SD tidak diceraikan terlebih dahulu oleh suaminya itu.

Perempuan 4 anak itu tidak peduli suami menikah dengan siapapun, sirri ataukah resmi. Yang dihadapi SD sampai sekarang pasrah pada keadaan yang terjadi. selain karena ribet harus berurusan dengan pengadilan, Faktor usia yang sudah mulai menua tidak lepas menjadi pertimbangannya. “wes malas mas, mbak. Lagian sudah tua. Pasrah saja pada kondisi yang ada. Yang penting anak anak saya sekarang sudah bahagia dengan keluarganya masing-masing,” katanya.

Sama halnya dengan SD, Kasus serupa juga dialami SH 62 tahun, ia ditinggal suaminya ketika usia perkawinanya belum lama berjalan. Usia 15 tahun ia menikah, 17 tahun ia dikaruniai anak pertama. Di usia 23 tahun itu Sd melahirkan 3 orang anak. Di usia yang masih muda itu (23), suami meninggalkan SH tanpa jejak. Sampai saat ini usianya yang sudah memasuki 62 tahun, suami tak kunjung datang. Dan selama itupula suami melepaskan beban alias menelantarkan SH beserta anak-anaknya. Suami meninggalkan Istrinya waktu itu beralasan berpamitan untuk bekerja. Tetapi surat penting lainya dibawa suami seperti surat nikah dan surat penting lainya.

Selepas meninggalkan anak dan istrinya sampai saat ini, status pernikahan antara SH dan suami belum cerai. dan suami ketika diminta untuk menceraikan istrinya SH menolak dengan tanpa memberikan keterangan yang jelas. Tatkala meninggalkan rumah sampai saat ini, suami SH tidak memberikan kabar pada istrinya dan anak-anaknya hasil pernikahanya bersama SH diabaikan begitu saja. “mulai saya ditinggal suami, anak saya masih kecil. Semenjak itulah sampai kedua anak saya menikah suami tidak pernah datang,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Senin (12/11)

Suami SH meninggalkan rumah tepat pada 1987. Mulanya suami berpamitan untuk bekerja di Jakarta. Namun ditunggu berlama lama suami SH tersebut tidak memberikan keterangan yang jelas menganai keberadaanya. Pada tahun berikutnya 1988 anak terakhir SH meninggal dunia lantaran kangen pada ayahnya yang tak kunjung pulang itu. “ayah mana, saya kangen,” ucapnya ketika menirukan panggilan anaknya waktu sebelum meninggal dunia. SH berusaha mencari suami, setelah mendapati informasi terkait suaminya itu SH meminta cerai kepada suaminya. Tetapi suami menolak untuk menceraikan.

Seperti dialami SD sama halnya juga dirasakan SH. Keduanya enggan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lantaran urusan dengan pihak pengadilan dipastikan memakan biaya yang tidak sedikit. Sementara keduanya tergolong masyarakat tidak mampu, meskipun pengadilan memberi bantuan kepada orang tidak mampu tentu urusan administarasi terbilang ribet. Keduanya jadi enngan untuk mengurus. Mereka memilih pasrah pada kondisi yang dihadapi. “biarin wes mas mbak, lagian sudah tua. Jalani apa adanya,” pungkasnya dengan pasrah. (Rep: Inunk)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *