Memaknai Kemerdekaan Indonesia
kemerdekaan adalah bagaimana dapat terlepas dari belenggu pembodohan dan kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan.

Berjajar dari kiri ke kanan; Wakil Rektor I UIN Walisongo bagian Akademik, Dr. Musahadi HAM, Rektor UIN Walisongo, Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag., Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Amin Abdullah, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Prof. Dr. Abdul Malik Fadjar, Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. Fathur Rokhman/Foto: Afif/Justisia.
Semarang, Justisia – Indonesia sudah memasuki usia “berlian” pada 17 Agustus 2018 ini. Dalam istilah pernikahan, usia berlian menandakan suatu pernikahan sudah menempuh waktu selama 70 tahun lebih. Berbagai macam tantangan, baik buruknya telah dilalui bangsa ini selama 73 tahun berdiri menjadi negara dan menyatakan kemerdekaan pada 1945 silam.
Tujuh era kepemimpinan pernah mewarnai perjalanan Indonesia dalam rangka menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Sederet kalimat ikrar menjadi bukti kesungguhan bahwa gagasan-gagasan baru akan terus bermunculan seiring problem dan tantangan jaman yang silih berganti juga terus berdatangan.
Namun, sejumlah program yang dicanangkan nyatanya masih belum mampu mengatasi persoalan mendasar seperti pembentukan karakter dan sikap cinta terhadap tanah air. “Nampaknya akan sepanjang jaman karena dua-duanya terkait pendidikan,”. Ungkap Amin Abdullah kepada kru Justisia usai diskusi tertutup dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) dan sejumlah akademisi di Gedung Rektorat UIN Walisongo, Kamis (02/08).
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Malik Fadjar mengamini bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam memperluas cakrawala keilmuan bangsa, sebagaimana diamanatkan para pendiri bangsa dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Memang, kedua persoalan ini –character building dan nation building– menjadi begitu pelik karena menyangkut keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang. Seperti kata Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
Adalah menjadi generasi yang baik ketika mampu mempertahankan dan mewujudkan cita-cita bangsanya, serta mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik lagi positif. Maka, apakah akan menjadi baik-baik saja ketika generasi yang mendatang tidak memiliki dua sikap dasar tadi –nation building dan character building?
“Oleh karenanya, kita harus berpikir lebih keras lagi, yang saya sebut higher of thinking. Jadi berpikirnya harus lebih dalam, lebih serius, lebih complicated, jangan mudah menyederhanakan permasalahan,”. Tutur Amin.
Pendidikan, tambahnya, dari waktu ke waktu harus terjadi perbaikan dan pengembangan. “Jaman sekarang wadah pendidikan tidak harus sekolah, masyarakat, dan rumah. Tapi sekarang ada media yang merupakan bagian dari pembelajaran juga,”.
Menurut Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini, biaya pendidikan yang merangsak naik adalah konsekuensi yang logis terhadap hasil yang didapat di akhir. “Pendidikan yang baik memang perlu dana, dan hasilnya juga bagus, soalnya didanai dengan baik,”.
Pendidikan Karakter
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab,”. (UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003, ps. 3).
Adalah wajar ketika pemerintah begitu giat dalam menggenjot program pendidikan berbasis karakter bagi bangsa. Mengingat, salah satu cita negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsanya. Di samping memang sebagai terapi untuk mengatasi berbagai persoalan seperti: korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, ujaran kebencian, dan lain sebagainya. “Padahal kan sudah gak karuan lalu lintas di media sosial itu, bagaimana kita tidak mau mengubah secara radikal,”. Timpal Amin.
Beberapa kali pemerintah mencoba mengadopsi sistem pendidikan yang diterapkan di beberapa negara yang memilki sistem pendidikan nomor wahid di dunia. Seperti misal Finlandia. Kurikulum K13 adalah bukti nyata bahwa Indonesia sangat mengidolakan sistem pendidikan yang diterapkan di sana.
Non-discrimination dan Equal treatment, salah satu nilai pendidikan yang ada di Finlandia. Tidak adanya diskriminasi dan semua siswa mempunyai hak yang sama dalam pendidikan, tidak ada istilah si kaya dan si miskin, atau sekolah biasa dan favorit. Setiap siswa berhak masuk di sekolah mana saja tanpa terkecuali. Lebih dari itu, Parental Engagement mengharuskan orangtua juga terlibat dalam pendidikan anaknya, jadi secara tidak langsung orangtua memiliki ikatan dengan sekolah dalam memantau perkembangan anak selama di rumah.
Kemudian, program Ayo Mondok yang digaungkan sejak 2015-an. Sebagai salah satu institusi pendidikan paling lama ada di Indonesia, pendidikan di pesantren diyakini dapat membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Di pesantren pula, penekanan sikap hubbul wathan atau kecintaan terhadap tanah air diberikan bahkan sejak awal masuk pesantren.
Kaitannya dengan ini, Fadjar menekankan bahwa untuk melakukan revolusi karakter berbagai macam wadah atau institusi pendidikan memiliki peran yang sama. “Tidak ada sekarang namanya S1, S2 lebih unggul dari mondok, yayasan, taman belajar. Semuanya sama,”. Ungkap pria kelahiran Jogja ini.
Diskusi yang berlangsung tertutup di Gedung Rektorat itu menyatakan, revolusi karakter dimaksudkan untuk memperbarui perilaku dan mental masyarakat tanpa harus secara radikal (menyeluruh, sampai ke akarnya). Namun beda dengan Amin, ia menyatakan bahwa harus terjadi perubahan secara radikal untuk mewujudkan suatu perubahan.
Menimpali hal ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menambahkan bahwa revolusi karakter harus dijadikan momentum untuk gerakan baru agar cita-cita kemerdekaan terwujud. “Perilaku elit dan bangsa mesti sejalan dengan cita-cita kemerdekaan,”.
Amin menilai, didengungkannya revolusi karakter sangat bermanfaat, sekalipun belum diketahui seberapa nilai dampaknya. Ia berharap, setiap generasi mempunyai cara tersendiri menghadapi setiap permasalahan. “Semoga setiap generasi penerus punya cara sendiri-sendiri untuk memperbaiki diri, belajar dari experience (pengalaman) yang ada, tidak puas dengan yang sudah ada, lalu dia cari sendiri (cara, solusi). Harapan saya setiap generasi mempunyai ijtihadnya masing masing,”. Sambung Amin Abdullah.
Senada dengan Amin, Fadjar berharap setelah masa reformasi bangsa ini kembali meraih kesejahteraan di berbagai bidang kehidupan melalui revolusi karakter. “Semua bidang kehidupan kita hidupkan kembali, jangan loyo!”.
Amin mengemukakan, kemerdekaan – dalam artian saat ini- adalah bagaimana dapat terlepas dari belenggu pembodohan dan kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan. “Kemerdekaan itu macam-macam, namun yang sekarang itu seperti itu, bagaimana agar bisa merdeka dari pembodohan, kebodohan, kemiskinan, ketidakadian, dan kekerasan,”. Pungkas pria yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga tersebut. (Dera/Sasti/Afif)