Ide Kuliner Berawal dari Balik Jeruji Rutan

Sudah sembilan tahun Hardadi menggeluti usaha kuliner olahan singkong

Outlite Singkong Keju D-9 nampak dari depan. foto: Yaqin

Justisia.com – “Makanan ini kan sebenarnya makanan jadul. Makanan yang kurang ada harganya. Tetapi saya pingin singkong ini menjadi makanan kekinian. Makanya aku mencoba berinovasi”

Hardadi (47) mengatakan itu sambil duduk bersila. Cuaca mendung menyelimuti pada Sabtu sore itu 25 Agustus 2018. Angin sepoi-sepoi merangkul tubuh. Terlihat 5 orang pegawai laki-laki duduk saling berdekatan mengupas kulit singkong. Juga 6 orang pegawai perempuan sedang membersihkan kulit singkong hasil kupasan di rumah produksi (pabrik).

Di depan mereka berjajar pisau dapur juga kursi duduk kecil yang terbuat dari plastik. Alat itu menjadi tanda bahwa mereka siap mengupas tumpukan singkong yang akan diproduksi. Beratapkan terpal biru ditopang 4 tiang kayu balok. Tanpa ada yang mengomando mereka mulai duduk melingkar.

Mereka mulai mengupas satu persatu kulit singkong yang ada di hadapan mereka. Terlihat saling bertatap muka satu sama lain. Sesekali mereka mengobrolkan sesuatu. Senyuman, juga tawa menghiasi di sela-sela pekerjaan mereka.

Dua kolam berukuran 2×2 M telah diisi air guna membersihkan singkong yang telah dikupas dengan kotoran tanah yang masih menempel pada daging singkong. Salah satu pekerja dengan tanggap ambil bagian dalam membersihkan singkong yang telah di sisikan dari kulitnya.

Terlihat pula mobil pick up datang membawa 1,8 ton singkong untuk menyetor. Menandakan hari ini pasokan singkong kurang sesuai dengan yang dibutuhkan. 2 orang pekerja seraya menurunkan singkong dari mobil pick up. Memasukkan singkong satu persatu dalam gronjong yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian memikulnya untuk dinaikkan ke alat penimbang. Sementara 1 orang lainnya memeriksa berat timbangan singkong.

Nasi Bungkus Hingga Singkong Keju

Sore itu sekitar pukul 16.00 WIB kedai yang diberi nama Singkong Keju D9 ramai dipadati pengunjung. Terpampang pula berbagai macam jenis narkotika hingga jarung suntik serta alat hisap sabu di dalam etalase persegi kurang lebih berukuran 60×60 senti meter di depan pintu masuk outlite. Sebagai pengingat masa lalu pemilik outlite yang terjebak dalam kasus narkoba.

Antrian panjang pembeli memadati meja kasir. Tak ayal jika jalanan aspal kecil dengan lebar 5 meter menuju arah outlite macet. Karena keterbatasan lahan parkir serta letak outlite Singkong Keju D-9 yang berada di lingkungan rumah penduduk desa.

Outlite ini terletak di Jl. Argowiyoto 8A, Ledok, Argomulyo ABC, Kota Salatiga. Sekitar 3,1 km atau hanya butuh waktu 7 menit dari pusat Kota Salatiga menuju lokasi. 5 menit jika di tempuh dari Terminal Tingkir, Kota Salatiga.

Sudah sembilan tahun Hardadi menggeluti usaha kuliner olahan singkong. Sebelum dikenal dengan produk Singkong Keju D-9, Hardadi sempat tertatih-tatih memulai usaha dengan gerobak dorong di Alun-alun Pancasila, Kota Salatiga. Ia memulai usahanya pada akhir 2009 sepulang dari rutan Surakarta selama enam bulan akibat kasus narkoba. Selain menjadi pedagang kaki lima, ia sempat membuka warung makan, juga usaha jus buah di sekitar rumahnya.

Kebetulan di dekat rumah saya ini ada Pondok Pesantren sekitar Anida, paling tidak kalau tidak laku nasinya tetap bisa dimakan sendiri, ujar bapak tiga anak itu.

Pria brewok kelahiran Sragen, Agustus 1971 ini bercerita bagaimana hidup berubah setalah mendekam di rutan Surakarta selama enam bulan. Meski saat itu dalam keadaan sulit, Hardadi mengaku dukungan terus berdatangan dari orang tua, keluarga dan teman-temannya.

Jadi di tahun 2009 itu saya baru keluar dari rutan Surakarta sementara dua anak saya sudah sekolah dan yang satu lagi masih kecil. Saya harus menghidupi mereka. Kalau saya kembali lagi ke kehidupan saya dulu itu nggak mungkin. Di situ akhirnya saya berpikir bagaimana cara saya berjuang menghidupi keluarga. Ucapnya.

Keinginan usaha singkong keju Hardadi memang sudah ada sejak dia di dalam rutan. Namun usahanya tak semulus dengan apa yang ia angankan. Saya sebelumnya jualan nasi dulu. “Nanti untungnya saya kumpulin buat beli minyak, beli singkong, beli keju. Ya pokoknya nyoba-nyoba terus .Tidak langsung berhasil. Setelah dirasa enak langsung baru saya berani menjualnya,” tutur Hardadi.

Pertimbangannya memilih berjualan singkong, karena Hardadi merasa bahan bakunya melimpah di Salatiga. Selain itu, pertimbangan keduanya karena di Salatiga belum ada yang menjual singkong keju pada saat itu.

“Awal saya jualan singkong keju ini masih di rumah, belum lewat outlite seperti saat ini. Semua kontak yang ada di hp tak sms semua. Mulai dari teman, saudara, hingga tetangga. Siapa yang mau beli singkong meskipun hanya lima ribu rupiah saja, saya antar sampai rumah,” kata dia.

Ingin Menjaga Kualitas

Selain outlite Singkong Keju D-9, Hardadi juga mempunyai Cafe Telo yang letaknya bersebelahan dengan Outlite Singkong Keju D-9. Outlite dan Cafe sendiri buka dan beroprasi setiap hari Senin-Minggu. Untuk outlite dibuka dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00 WIB. Sementara untuk Cafe buka jam 07.00 sampai jam 22.00 WIB. Menurut Hardadi, pembeli Singkong Keju D-9 sendiri rata-rata 300 orang per-harinya.

Pengunjung akan disuguhi berbagai variasi olahannya yang tak kurang dari 15 jenis makanan ditawarkan. Kita dapat menemukan varian olahan singkong seperti Singkong Keju Original, Singkong Keju Coklat, Singkong Sambal Matah, Pancake Telo, Burger Telo, Kolak Singkong, Cream Sup Telo dan masih banyak varian makanan lainnya. Semua varian olahan singkong tersebut dapat diperoleh di outlet Singkong Keju D-9 atau di Cafe Telo. Harganya juga terjangkau, mulai dari Rp. 1.500 hingga Rp. 22.000.

Hardadi sendiri berkeinginan membuka cabang outlite baru di kota lain. Tetapi dia masih was-was dengan keinginannya. Pasalnya pasokan singkong kurang stabil. Hardadi juga menambahkan kalau dirinya masih belum bisa menjaga kualitas singkong. Karena bahan diambil dari alam yang dipengaruhi oleh iklim.

“Sebenarnya saya pengennya singkong ini kayak produk KFC. Hanya berbahan baku dari ayam tapi bisa buka cabang di mana-mana. Mungkin singkong juga bisa, pikir saya dulu begitu,” tuturnya sambil tersenyum.

Kerap kali Hardadi pesimis melihat pasokan bahan baku tidak tersedia. Sehingga terpaksa kadang ia harus meliburkan rumah produksi beserta para karyawannya. Memang saat ini ia memiliki lebih dari 100 karyawan pekerja yang ikut memproduksi singkongnya.

Pembelinya pun ada yang dari Salatiga sendiri, namun tak jarang ada yang jauh dari luar kota. Seperti halnya Muhammad Muhajir dari Makassar yang menyepatkan dirinya untuk menikmati olahan Singkong Keju D-9.

“Kebetulan saya di Salatiga sedang ada tugas, terus kata teman ada kuliner singkong yang enak di sini. Saya kan penasaran jadinnya. Yaudah akhirnya saya memutuskan untuk datanng ke sini,” ucap pria berkacamata itu.

Lain halnya dengan Suwanto, pria asli Salatiga yang berumur 57 tahun ini setiap Minggunya menyempatkan diri untuk menikmati hidangan Singkong Keju D-9.

“Hampir setiap Minggu minimal 3 kali saya menyempatkan diri untuk menikmati singkong di sini. Ya kadang pagi hari kadang juga sore seperti ini bersama keluarga saya. Karena saya memang menyukai singkong sejak dulu. Apalagi menu singkong sambal matah. Itu menu kesukaan saya disini,” tuturnya.

Singkong yang Digunakan

Suplay singkong sendiri sebenarnya kebanyakan dari daerah Salatiga. Tak jarang Hardadi mendatangkan suplayer singkong dari Wonosobo, Magelang, Ngablak, dan lainnya. Karena suplayer tidak mencukupi dengan kebutuhan. Setiap harinya rumah produksi singkong Hardadi membutuhkan 3-5 ton singkong. Dan 6 ton saat hari libur panjang atau lebaran.

Jenis singkong rata-rata yang dipakai adalah singkong gathut kaca, bayeman, kaporo, singkong ketan, singkong item, dan lainnya. “Cuma kadang nama itu nggak penting juga. Karena yang kita jadikan bahan untuk diolah adalah singkong yang tekstur dagingnya empuk, seperti singkong jenis gathut kaca yang sering kami gunakan karena tekstur dagingnya yang bagus,” kata pemilik Outlite Singkong Keju D-9.

Dalam proses produksinya pun menurut Hardadi tidak ada bumbu yang spesial dalam singkong olahannya. “Bumbu biasa saja. Masak biasa saja. Jadi semua karyawan saya itu tau bagaimana cara memilih dan memasak singkong di sini,” tuturnya kembali.

“Untuk outlite sendiri berdiri pada 2014. Untuk omset sendiri bukan memang bukan saya yang mengurus. Jadi saya tidak mengetahui secara pasti berapa omset penjualannya tiap hari,” imbuhnya.

Pernah Takut Kalah Saing

Pada awal usahanya, Hardadi cemas. Karena ada salah satu tetangganya yang juga membuka usaha serupa. Sempat terbesit dibenaknya kalau usahanya akan kalah saing. “Waduh anak saya masih kecil-kecil, masih sekolah, padahal saya baru merintis usaha ini. Lah kok sudah ada yang niru juga. Tapi saya ikhlas, karena rezeki itu sudah ada yang mengatur,” tutur Hardadi dengan semangatnya menceritakan.

Prinsip bapak tiga anak ini adalah selalu berbagi satu sama lainnya. Dia menuturkan jika kita berbagi seperti halnya kita mendapatkan ilmu baru kemudian kita tularkan kepada orang lain, maka Tuhan akan tambahkan.

Terbiasa Membantu yang Membutuhkan

“Kamu sekarang kerja di sini, kalau sudah bisa ingin bikin usaha sendiri saya persilahkan,” ujar Hardadi kepada para karyawannya.

Hardadi juga merasa senang telah membantu para petani singkong. Dengan usahanya sekarang, para petani singkong yang semula putus asa dengan beralih menanam pohon sengon. Kini mereka kembali ke ladang untuk menanam singkong. “Seenggaknya saya jadi bisa membantu mereka. Awal-awalnya singkong dihargai Rp. 600 sampai Rp. 800 rupiah sekarang jadi bisa naik menjadi Rp. 2000-an lebih,” tuturnya.

Memang stigma masyarakat sebagian memandang Hardadi negatif ketika mantan narapidana berjualan di lingkungannya. Namun sebagian masyarakat juga banyak yang memberinya semangat. Sehingga menjadikannya berubah seperti sekarang.

Dia juga bercerita jika setiap hari Selasa pagi. Ia dan teman-teman pergi ke rutan Salatiga untuk belajar mengaji bersama. Berkat pengalamannya di rutan dulu, ia dapat mengambil hikmahnya. Ada sekitar 4-5 orang karyawan yang dulunya juga sebagai mantan narapidana yang ia pekerjakan di tempatnya.

“Mereka itu sebenarnya hanya perlu kita rangkul, agar sebisa mungkin setelah keluar dari rutan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Bahkan saya ajak mereka untuk belajar membuat olahan singkong. Saya fasilitasi mereka selama satu bulan di sini sampai bisa. Agar nantinya setelah dari sini mereka bisa membuat usaha sendiri,” ujarnya sambil membenarkan topi yang dipakainya.

Untuk outlite dan cafe sendiri memang menurutnya memang belum mendapatkan pernghargaan baik dari pemerintah daerah ataupun instansi bisnis. Tetapi kalau semacam plakat atau souvenir dari beberapa kabupaten dan instansi banyak.

“Bahkan ada juga di sini yang diberi dari pelajar asal Jerman,” pungkasnya. (Rep: Yaqin)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *