Hiram dan Kisah Heroik
Kran demokrasi dalam bidang apapun yang selama itu tersumbat, tiba-tiba mengalir deras.

sumber foto: mizanstore
Judul : Kubah di Atas Pasir
Penulis : Zhaenal Fanani
Tahun Terbit : 2015
Penerbit : Tiga Serangkai
Tebal : 360 halaman
ISBN : 978-602-72835-1-1
Resentator : Adetya Pramandera
Kubah Di Atas Pasir, sebuah novel karangan penulis Zhaenal Fanani. Novel yang tidak hanya menyajikan kisah berbau romansa, tetapi novel yang juga dinapasi dengan kisah heroik seorang perempuan pemecah batu dalam memperjuangkan kebenaran. Pria asal Malang tersebut benar-benar sukses menggambarkan kehidupan masyarakat Ngurawan, Malang yang menjadi latar tempat dalam alur cerita novel ini. Kehidupan yang serba kekurangan, dengan pekerjaan utama masyarakat sebagai penambang pasir dan pemecah batu dikemas dalam cerita yang menarik dengan bahasa yang segar untuk dibaca.
Menarik untuk disimak, Fatikha gadis yayasan yang tak kenal siapa perempuan yang telah melahirkannya dan laki-laki yang menjadi bapakknya bertemu dengan pria yang bernasib sama, Mahali. Kedua insan yang tak mempunyai silsilah ini dipertemukan dalam ruang rindu yang sama. Saat reuni yayasan Mahali berhasil memikat hati Fatikha.
Singkat cerita, Fatikha yang semula tinggal di Pondok Pesantren diboyong Mahali menuju gubug kecilnya di tepian sungai Ngurawan. Mahali bekerja sebagai penambang pasir dan Fatikha sebagai pemecah batu, disamping itu Fatikha juga mengabdikan diri sebagai guru mengaji di yayasan yang dulu pernah merawatnya. Pantas untuk kagum, jarak yang di tempuh Fatikha menuju yayasan adalah 25 kilometer dan ia harus menaiki truk pengangkut pasir untuk sampai di yayasan. Pekerjaanya itu, ia tak memperoleh gaji sepeserpun.
Selang beberapa bulan, Fatikha mengandung anak pertamanya. Hiram, ia dilahirkan dari rahim Fatikha saat Ngurawan masih benar-benar aman dari kerusuhan. Ketika Hiram berusia tiga tahun saat itu desas-desus akan adanya reformasi berhembus di telinga masyarakat Ngurawan. Demonstrasi dan kerusuhan di Jakarta yang pada akhirnya menggulingkan Soeharto dari tampuk kepemimpinnnya nampaknya berimbas ke daerah-daerah, termasuk Ngurawan.
Kran demokrasi dalam bidang apapun yang selama itu tersumbat, tiba-tiba mengalir deras. Genangan-genangan yang bertahun-tahun mengendap tiba-tiba mencuat kepermukaan, menyapu seluruh daratan khatulistiwa bagai air bah. Reformasi menjadi adagium yang diteriakan di seluruh penjuru negeri.
Sayang sungguh sayang, konsep dan relaitas baru yang bernama reformasi belum sepenuhnya dapat diterjemahkan secara aktual oleh para pemimpin yang tengah sibuk merehab pemerintah. Sudah menjadi catatan tak terbantahkan, bahwa dibalik setiap kejadian penting di sebuah negeri selalu menghadirkan problem tersendiri. Bangsa Indonesia pernah melintasi prahara kela pada tahun 1965. Apapun yang terjadi saat itu, bangsa Indonesia nyaris tenggelam dalam perang saudara. Banyak korban jatuh dari mereka yang tidak tahu apa-apa. Sebagian mereka menjadi korban dari dendam pribadi, rasa dengki dan ambisi dari sebuah tujuan.
Tak terkecuali Ngurawan, setiap malam masyarakat berbondong-bondong menuju kegubug Mahali untuk sekedar berdiskusi dan membahas masalah reformasi. Ngartidjo, kemenakan dari kepala desa dengan semangat berceloteh kepada warga tentang reformasi. Tak terhindarkan, perkebunan dan pabrik kopi di tepian desa yang lama dikuasai oleh konglomerat yang berada di kota dianggap menjadi hak warga Ngurawan yang harus dirampas.
Mahali paham betul, apa yang di ucapkan Ngartidjo adalah sesuatu tanpa alat bukti, akta tanah ataupun surat penting lainya ia tak punya. Mahali paham ini hanyalah bagian dari masalah keluarga yang dimasukan Ngartidjo kedalam isu reformasi untuk menggait massa. Ngartidjo iri kepada pamannya Ngadirejo yang saat itu duduk sebagai kepala desa dan ia ingin sekali pamanya lengser agar ia dapat menggantikannya.
Persoalan ini merembet hingga perusakan perkebunan. Ngadirejo yang saat itu menjabat sebagai kepala desa tidak tinggal diam. Ia melaporkan kejadian itu kepada aparatur kepolisian yang ada di kota. Bermuladari kejadian itu, Mahali di tangkap. Ia dituduh sebagi pelopor pemberontakan ini, padahal hanya rumahnyalah yang menjadi tempat diskusi, ia sama sekali tak pernah ikut campur dalam urusan demonstrasi dan perusakan. Warga tahu bahwa Mahali tidak bersalah namun karena mereka takut ditangkap akhirnya mereka mengiyakan tuduhan Ngadirejo kepada Mahali dihadapan penyidik. Hingga pada akhirnya Mahali terbunuh di tangan warganya sendiri.
Mulai saat itu Fatikah membesarkan Hiram sendirian. Dalam suasana duka ia masih saja menjadi bahan gunjingan warga akibat kematian Mahali yang dianggap sebagai biang kerusuhannya sendiri. Lambat laun, semuannya kembali hening dan berjalan seperti sedia kala. Fatikha dengan tega membunuh setiap rasa sakit yang mencuat akibat pembunuhan Mahali. Hiram tumbuh dewasa tanpa seorang ayah disampingnya. Ia menjadi lelaki yang gagah dan berani. Di tengah segala keterbatasan ia mampu menjadi kebanggan untukFatikha dan sekolahnya. Ia selalu menduduki peringkat pertama dan mendapat beasiswa hingga ia tamat Madrasah Aliyah.
Bersama Fatikha ia mempunyai keinginan yang kuat untuk mencerdaskan anak-anak Ngurawan. Setelah lulus Aliyah, Hiram tak punya biaya untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Beasiswa yang diberikan hanya separuh, dan ia sadar pekerjaan Fatikha yang hanya sebagai buruh pemecah batu tak dapat memenuhi biaya kuliahnya. Hingga pada akhirnya ia memilih untuk menambang pasir dan mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Pagi ia menambang dan sore ia bermain dengan anak-anak warga sembari mengajarkan huruf dan angka. Ia sadar, itu tak akan berlaku lama, setelah anak-anak itu dewasa orang tuanya akan menyuruh mereka bekerja menambang pasir daripada belajar bersama. Memang sungguh rendah kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Hari demi hari berlalu, suatu ketika Ngurawan kedatangan tamu dari Rusia. Tiga gadis berambut pirang yang hendak melakukan penelitian di daerah Ngurawan. Hiram, sebagi satu-satunya warga ynag berpendidikan ditunjuk menjadi pendamping sekaligus pemantau gadis-gadis peneliti itu. Pagi ia menambang dan gadis-gadis itu meneliti dan sore harinya mereka berkumpul bersama mengajarakan anak-anak warga berbagai pengetahuan.
Entah rasa apa yang hinggap di hati Hiram, ia merasakan desir aneh saat berada di dekat salah satu gadis Rusia itu, Eleina. Ia merasa hari-harinya begitu indah ketika bersama dengan Eleina dan begitupun dengan Eleina. Mereka mengukir nama diatasa pasir dan berjanji untuk tidak saling meninggalkan. Namun mereka sadar, bahwa mereka berbeda agama. Begitu singkatnya, 3 bulan berlalu, Eleina harus meninggalkan Ngurawan dan mengumumkan hasil penelitian.
Mereka mengumumkan bahwa hasil penelitian area Ngurawan sudah tercemar karena penambangan. Oleh karena itu, penambangan harus segera ditutup namun demikian ada ganti yang lebih tepat, mereka akan diberi ladang garapan. Sayangnya sebelum Eleina selesai bicara warga sudah marah dan berfikir bahwa Eleina hanyalah antek dari pengusaha-pengusaha yangingin merampas bumi Ngurawan. Spontan mereka marah dan mengusir Eleina. Hiram yang berada di tempat tak dapat berlaku apa-apa, ia megkhawatirkan Eleina dan kawan-kawannya namun ia tak bisa menjelaskan kepada warga bagimana maksud Eleina, ia paham betul bagaimana karakter warga, keras kepala.
Kepergian Eleina menyisakan luka tersendiri bagi Hiram. Begitu cepat dan begitu dahsyat. Ia tak hanya kehilangan sosok Eleina, ia kehilangan anak-anak warga yang semula belajarbersama. Mereka tidak diperbolehkan mendekati Hiram yang dianggap sebagai kawan daripada antek-antek perusahan. Hiram tau anak-anak ingin mendekat dengannya namun takut dengan orang tuannya. Harapan untuk mendirikan sekolah tiba-tiba kandas di tengah jalan seperti kisahnya dengan Eleina.
Berbulan-bulan ia hidup dengan kesendirian, tanpa eleina dan tanpa gelak tawa anak-anak Ngurawan disisinya. Hingga 2 bulan berikutya Eleina kembali datang ke Ngurawan bersama rombongan pemerintahan. Ia kembali menjelaskan kedatangannya dan hasil penelitiannya kepada warga. Ia menjelaskan bahwa pemerintah akan menggantinya dengan ladang 2,5 hektar untuk digarap serta mendirikan musholla, sekolah dan aliran listrik. Warga terperangah, mereka malu telah berlaku kasar terhadap Eleina. Terutama kepada Hiram dan Fatikha yang ia caci maki setiap harinya. Eleina menghampiri Hiram dan Fatikha seraya memberi kertas bertuliskan kalimah syahadat.
Begitulah gambaran Novel karya Zhaenal Fhanani. Mengingatkan kepada kita bahwa Niat baik tidaklah selalu dianggap baik. Namun perlu disadari segala hal yang bertujuan demi kebaikan akan menemukan keadilan meski melalui jalan yang terjal dan penuh bebatuan.