Bersikap Benar, Berani Dimusnahkan ?

foto : gramedia.com
Judul : Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis : Ahmad Tohari
Tahun Terbit : 2015
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 176 halaman
ISBN : 978-602-03-0513-4
Persensi : Hasan Ainul Yaqin
Hidup di dunia itu susah dan serba salah. Terkadang apa yang kita lakukan belum tentu sesuai dengan pendapat dan kemauan orang lain. sesuatu benar menurut keyaqinan kita bisa jadi salah bagi orang di luar kita. kemudian saya bertanya tolak ukur kebenaran sendiri seperti apa dan bagaimana ia dirumuskan? dalam dunia politik kekuasaan, kebenaran bermuka suram. Ia tidak tampak alias terlihat abstrak dan penuh ketidakpastian untuk diungkapkan. Sudah menjadi rahasia umum dalam hal kekuasaan, hal yang benar sering disalahkan dan hal yang salah tidak jarang dibenarkan.
Jadi dalam panggung kekuasaan, sebenarnya mengenai benar atau tidaknya bukan terletak pada prilaku atau sifat yang dianggapnya benar atau prilaku yang dikiranya salah. melainkan apabila tindakan itu menggangu stabilitas keamanan penguasa, maka subjek pelaku dari tindakan itu harus sesegera dimusnahkan dan dilenyapkan. Dalam novel berjudul Di Kaki Bukit Cibalak Ahmad Tohari mengilustrasikan bahwa orang yang dicaci, dimusnahkan, dan dilenyapkan di lingkungan masyarakat tidak selalu sasaranya orang yang berbuat salah ataupun berbuat kejahatan. Melainkan orang benarpun tidak luput dari sasaran empuk untuk dijungkirbalikan apabila gerak- geriknya mengancam kekuasaan penguasa daerah setempat.
Sejarah Lama
Dalam lembaran sejarah sudah tidak terhitung jumlah orang yang dibuang jauh dari negaranya bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Contohnya, Socrates. Filusuf Yunani tersebut hampir mau dibunuh oleh kekuasaan negara tempat ia mendiami pada masanya, walaupun pada akhirnya ia mengakhiri dengan cara bunuh diri. Karena Socrates dianggap telah meracuni anak muda memberontak dan menanyakan hal kebenaran pada pemuda melalui dialektika. Sikap yang dilakukan Socrates ini akan berbahaya menurut penguasa kalau terus dibiarkan.
Jika Socrates tidak dimusnahkan, dianggapnya mengancam kebenaran yang sudah digariskan oleh kekuasaan. Begitupun dalam Islam, banyak imam dan pemikir muslim dibuang, dijauhkan dari tempat tinggalnya karena fikiranya yang menurut anggapan kekuasaan di nilai salah dan bertentangan seperti halnya Syeh Nasr Hamid Abu Zaid. akhirnya ia harus menelan takdir kekuasaan itu. tidak ketiggalan di Indonesia, waktu zaman orba berkuasa banyak terjadi penculikan aktivis dimana mana, pembunuhan terhadap hak asasi manusia tanpa alasan yang pasti sampai saat ini masih belum dituntaskan.
Sebut saja Munir salah satunya, aktivis HAM itu belum ditemukan keberadaanya. Tapi yang jelas, aktivis Ham itu meninggal karena menjadi korban daripada negara itu sendiri. Munir hanya dari bagian kecil saja yang berbicara lantang kebenaran di hadapan penguasa meskipun ia harus menanggung cobaan yang begitu memilukan. Selain Munir banyak lagi, dan mereka bernasib sama yaitu dilenyapkan, dihilangkan dari kehidupan dimana penguasa itu berada.
Kebenaran Tidaklah Berjalan Mulus
Seperti kisah di atas, yang dipotret dalam novel ini oleh Ahmad Tohari. tokoh bernama Pembudi yang menjunjung tinggi nilai kebenaran yang diyaqini menurut hati nuraninya. Bukan direspon baik oleh penguasa setempat, justru dirinya dilenyapkan dari tempat tinggalnya. Ia difitnah yang tidak tidak oleh penguasa hingga kemudian masyarakat sekitarnya pun turut serta memandang buruk Pembudi. Sebab Pembudi remaja itu difitnah melarikan uang desa yang menjadi tabungan masyarakat desa Tanggir. Sebenarnya fitnah yang dikoarkan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas kepala lurah yang bernama Pak Dirgamulya.
Pembudi kecewa kepadal lurah yang baru memenangkan pemilihan kepala lurah desa Tanggir. Kebijakan yang dikeluarkan seringkali tidak memihak kepada kaum miskin dalam hal ini rakyatnya sendiri. kehadiran pemimpin baru yang diharapkan mampu bersifat adil dan bijaksana pada yang dipimpinya justru berbanding terbalik. Ia menyelewengkan kekuasaan. Bertindak bukan atas nama rakyat dan kehadiran pemimpin yang berkampanyekan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah ilusi belaka alias omong kosong semata.
Buktinya, saat Mbok Ralem meminta bantuan kepada Lurah setempat atas penyakit yang dideritanya, sang Lurah manampikkan. Perempuan miskin itu tidak dilayani haknya sebagaimana mestinya, meminjam teori pemikiran politik Plato bahwa negara harus menunaikan hak setiap warganya, tapi dalam kasus ini tidak. Hingga akhirnya Pembudi, pemuda itu berusaha mentengarai bertemu lurah. Namun lagi lagi lurah bersikap apatis dan tidak mau menahu. Kemudian pembudi membawanya ke rumah sakit untuk dilakukan pengobatan meskipun dengan jalan hutang. Karena harus dioperasi yang memakan biaya tidak sedikit, lalu ia mengiklankan meminta bantuan kepada koran kalawarta. Maka disinilah awal mula Pembudi menjalin kemonikasi sama pak Barkah.
Kebencian lurah tidak berhenti pada Pembudi, tapi berujung sampai pada orang tuanya. Itu lantaran anaknya bernama pembudi manantang kebijakan pemerintah desa. hal itu yang mengakibatkan Pembudi berikut ayahnya dipandang sinis. Supaya tidak terjadi sesuatu berkepanjangan, Pembudi diperintah oleh orangtuanya meninggalkan desa Tanggir dan dipilihnya Yogyakarta tempat rantaunya. Kepergian Pembudi bukan lantas menyerah pada kebenaran yang diyaqini sehingga ia dilenyapkan. Hanya saja ia menjaga keadaan orang tuanya yang sudah mulai menua.
Semenjam bermukim di Yogya, ia bertemu dengan kawan lamanya bernama Topo. keduanya saling tukar cerita perihal pengalaman desanya masing-masing. Giliran Pembudi bercerita tentang sesuatu yang baru dialaminya, hingga berujung dibenci lurah dan masyarakat sampai memaksakan diri harus hijrah ke Yogya. Sang teman pun bilang padanya. Jika ingin kemajuan yang sehat, perbaikan dalam kehidupan masyarakat, membawa nilai pembaharuan di tengah kondisi memuakkan. Konsekuensinya harus berani jatuh dan berani dilenyapkan. Itulah yang dialami pembudi setelah berani bicara kebenaran di desanya saat Lurah Dirga menjadi kepalanya.
Jatuh Lalu Ketiban Tangga
Rasanya seperti ada yang kurang mengulas Novel ahmad Tohari bila cerita kisah cinta dalam novel itu dilewatkan begitu saja. sejak di desa Tanggir Pembudi menjalin hubungan baik dengan kembang desa bernama Sanis. putri pak Modin itu teramat cantik, sehingga bukan hanya pembudi yang menaksirnya. Lurah yang sudah bergonta ganti istri melirik pula padanya. Walaupun belum ada ikatan pasti antara pembudi dan sanis namun keduanya sudah saling mencintai. Bagaikan dua sayap seekor burung saling mengimbangi satu sama lain. akan tetapi hubungan itu kandas, lantaran Sanis berkenan dinikahi oleh lurahnya sendiri, lelaki yang menikahi karena nafsu bukan karena cinta.
Buktinya Sanis merupakan istri ke tujuh setelah istri lain yang dicerainya. Sudah jatuh masih ketiban tangga, prakata ini mungkin yang cocok untuk menggambarkan sosok pembudi dalam novel ini. ia dilecehkan karena bertindak benar dan difitnah di desanya karena diduga melarikan uang koperasi yang didalangi oleh lurahnya sendiri. setelah itu perempuan yang dicintainya dinikahkan oleh lurahnya sendiri.
Semenjak merantau ke Yogya, pembudi bekerja dari tempat satu ke tempat lain. di toko dan juga di surat kabar kalawarta sebagai radaktur. Berkat pak Barkah inilah Pembudi menduduki posisi di harian kalawarta. Dan Pak Barkah inipula yang selalu membimbing dan menasehati dalam segala urusan yang dialami pembudi mulai dari pekerjaan, perkuliahan, cerita desanya. Termasuk urusan asmara pembudi yang ditinggal kekasihny lantaran dinikahi oleh lurahya. Pak Barkah berkata bagi laki-laki cinta bukanlah segalanya
Cukup lama pembudi tinggal di Yogya. Kegersangan hatinyapun dihampiri oleh perempuan bernama Mulyani yang tak lain adalah anak majikanya sendiri waktu Pembudi kerja di Toko. Perempuan itu menaksir pembudi, dan sebaliknya. Perempuan itu tidak mempersoalkan dari mana pembudi berasl. Awalnya mereka kenal beratasnamakan pegawai dan majikan. Lalu berajak menjadi seorang sahabat yang saling memberi semangat satu diantara yang lain, mengajaknya ngobrol ilmu jika pelajaran yang diterima Mulyani di sekolah tidak difahami. Tidak berhenti disitu, Mulyani melanjutkan kuliah di universitas dan jurusan yang sama, secara kebetulan ia menjadi adik kelas daripada Pembudi. Lalu kemudian keduanya saling mencintai diam-diam.
Ahmad Tohari novelis asal desa, cerpen dan novelnya mempunyai ciri khas tersendiri dibanding karya orang lain. termasuk novel berjudul Di Kaki Bukit Cibalak ini. suasana desa yang dijadikan latar tempat dalam penulisan novel ini mengajak pembaca menghirup udara segar, mengelilingi perbukitan dan ketika membacanya kata demi kata membawa fikiran terasa hidup di desa. desa yang digambarkan Tohari, mengandung banyak problem agar supaya tidak dilupakan oleh negara. pendidikan belum tersalurakan dengan baik, perekonomian masyarakat masih belum stabil, dan kondisi masyarakat desa masih dipenuhi ketergantungan.
Seperti diceritakan Ahmad Tohari, novel ini menceritakan tentang kalau ada orang berbuat benar di desa setempat, dan menggangu stabilitas kekuasaanya lurahnya. Maka harus siap dimusnahkan. Seperti dialami pria dalam novel ini pembudi. Ia harus rela meninggalkan kampungnya, meninggalkan kedua orang tuanya. Sebab dilenyapkan oleh kekuasaan lurahnya dan dibenci masyarakat lantaran difitnah yang didalangi oleh lurahnya sendiri.
lantas bagaimana dengan kondisi di luar desa Tanggir itu, di birokrasi contohnya, di struktur politik yang lebih tinggi misalnya. Kalau kalian yang sedang duduk di posisi tersebut dan melihat ketidakberesan dalam setiap kebijakan, dan berani mengungkapkan kebenaran dan menyuarakanya, siapkah menerima resiko untuk dimusnahkan atau malah rela tunduk pada kekuasaan ?