Pembohong Besar
Aku ingin lupa, ingin lupa caramu tetap tersenyum saat aku memaki. Ingin lupa caramu memperhatikanku saat aku tidak peduli. Ingin lupa suara rendahmu saat meyakinkan ketulusanmu yang aku anggap omong kosong. Ingin lupa caramu bertahan untukku saat aku sudah berteriak untuk menjaga jarak. Aku memilih lupa. Namun otakku memilih untuk menerima.

Sumber foto: hellosehat.com
[contact-form][contact-field label=”Name” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Email” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Website” type=”url” /][contact-field label=”Message” type=”textarea” /][/contact-form]
Oleh: Rohadatul Aisy Idra
Hubungan kita hanya sebuah kebiasaan. Tidak ada romansa di antara kita. Jangankan sebuah ikatan perasaan, pertemanan pun tidak. Kamu hanya seseorang yang harus aku temui di pagi hari bukan karena aku ingin menemuimu, lebih karena konsekuensi kontrak setahun lalu yang sekarang aku sesali.
Aku tak terlalu suka kamu, norma kesopananlah yang membuatku mau tidak mau memaksaku untuk tetap melempar senyum padamu. Aku tak pernah benar-benar merindukanmu, sama seperti mendengar suara tukang sayur yang lalu-lalang di pagi hari. Sering kali berjumpa, namun sesaat setelah pertemuan singkat aku lebih memilih lupa. Tidak ada yang perlu apalagi yang pantas diingat.
Hari sudah larut. Perumahan sudah dari tadi lengang. Menyisakan pedangan angkringan di perempatan, terangguk-angguk menahan kantuk karena menunggu dua pelanggan yang keasyikan bercerita, terlarut dalam bahasa nostalgia, maklum sudah lama tidak bertemu. Masing-masing mereka sesekali menyesap kopi yang mulai mendingin.
TV yang dipasang di bawah penyangga tenda juga sibuk berbicara sendiri. Menyiarkan pertandingan bola yang baru-baru ini kerap kali disebut-sebut. Tapi pembicaraan mereka lebih menarik. Bagaimanapun, masa lalu memang topik yang seru untuk manusia yang terpisah jarak dan waktu.
Akibat dari semua perbuatanmu berefek bertahun-tahun kepadaku. Beribu kalipun aku mencoba, memaksa alam bawah sadarku untuk melupakanmu. Sayangnya, amnesia disosiasi hanya diderita oleh 0.7% dari populasi dunia.
Salah satu jenis kerja otak yang melumpuhkan dan membenamkan ingatan terperih dalam alur kehidupan seorang anak manusia. Jika orang lain ingin sehat-sehat saja, aku ingin ditimpakan sakit itu. Buat aku amnesia, agar aku tak perlu mengingat-ingat kembali semua mimpi buruk yang sudah kamu buat.
Aku ingin lupa, ingin lupa caramu tetap tersenyum saat aku memaki. Ingin lupa caramu memperhatikanku saat aku tidak peduli. Ingin lupa suara rendahmu saat meyakinkan ketulusanmu yang aku anggap omong kosong. Ingin lupa caramu bertahan untukku saat aku sudah berteriak untuk menjaga jarak. Aku memilih lupa. Namun otakku memilih untuk menerima.
Orang-orang bilang aku punya ingatan fotografis. Sebab kenapa aku bisa mengingat jelas nama teman TK yang jahil sekali menjawil rambutku. Aku mampu mengulang kembali dialog drama picisan dengan sekali lihat. Aku mampu menghafal rute dan jalan ke tempat pertama kali aku datangi. Aku mampu mengikuti gerakan-gerakan detail dance Boyband Korea yang sedang naik daun baru-baru ini. Sayangnya, aku juga merekam selaksa luka yang kamu torehkan dengan jelas.
Fajar sudah menyingsing sejak lima belas menit yang lalu. Sembari aku melamun, waktu berlalu amat cepatnya. Genap sudah semalaman aku diperempatan jalan. Ayam-ayam berkokok merdu saling bersahutan. Mega-mega merah tipis mulai muncul di kaki langit. Pendar cahaya matahari malu-malu menghiasi ufuk timur.
Sesekali truk-truk besar bermuatan besar lewat mengantar barang antar kota maupun provinsi. Truk setinggi tiga kali tubuhku acap kali lewat di jam-jam begini, menghindari macet. Tanah sedikit bergetar mengingat sopir mengendarainya dengan kecepatan super kilat. Tanah boleh bergetar, tapi hatiku tidak. Tidak akan kubiarkan.
Jatuh hati tidak pernah ada dalam rencana manusia, mangsanya bisa siapa saja. Namun dalam kasusku, aku tidak pernah menjadi mangsa. Posisiku berada di piramida makanan tertinggi. Jangan tanya sensasi jatuh cinta padaku. Kadar cintaku hanya sebatas kopi pagi hari atau akhir pekan tanpa tugas dan cucian yang menumpuk. Umurku sudah seperempat abad, tapi bagiku lelaki hanyalah sebatas makhluk dengan system reproduksi berbeda. Tidak lebih.
Aku menempatkan hatiku dengan baik. Bukan di singgasana, karena raja cepat atau lambat akan lengser dari kuasanya. Hatiku di tempat paling aman. Lebih aman dari Fort Knox, pembendaharaan Amerika Serikat untuk menyimpan semua emas miliki negara yang digadang-gadang sebagai brankas paling aman di dunia. Hatiku lebih aman dari itu. Tanpa sensor gerak, robot penjaga, sistem keamanan suara atau bom nuklir sekalipun, hatiku punya banyak trauma sebagai benteng terbaik.
Hatiku seperti benteng Masada, Israel. Dibangun diantara bebatuan dataran tinggi dengan struktur yang mengagumkan. Terisolasi dari keramaian dan sulit untuk didaki. Kemiringan tebing yang sangat terjal tidak memberikan dukungan apapun untuk orang yang memanjat. Tapi dengan segala ketangguhannya, tentu saja ada kelemahannya. Pada akhirnya akan ada penyusup handal menelisik kekurangannya dan masuk semaunya tanpa izin.
Penyusup kecil itu bernama waktu. Waktu berhasil memporak-porandakan hatiku. Benteng yang aku desain dengan cermat disusupi dengan mudahnya. Meluluhlantakkan hal yang aku bangun bertahun-tahun dengan hati-hati hingga tidak ada yang tersisa. Dan aku tahu, bedebah kecil itu adalah kamu.
Kamu adalah alasan aku berdiri di sini semalaman melawan dingin. Menunggu kamu di halte, tempat terakhir yang akan kamu singgahi di kota ini. Seperti katamu tiga hari lalu, jika memang benar-benar tidak ada lagi kesempatan, kamu akan pergi. Aku tercenung, mempertanyakan perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuh. Aku mulai takut. Takut merasa kehilangan.
Aku tak bisa tidur. Bagaimana bisa aku memejamkan mata saat teringat dinginnya semua perlakuanku padamu. Kukira hatiku sudah beku, tapi terimakasih sudah mencairkannya. Aku lupa makan. Rasa bersalah membuatku bisa bertahan tiga hari tanpa asupan. Aku ingin membayar semua keangkuhanku namun tidak punya cukup nyali untuk menemuimu. Tubuhku menolak tenang. Setidaknya dengan menunggumu di penghujung waktu bisa mengurangi rasa sesak yang menghantui.
Akulah pembohong besar itu. Berbohong kepada orang tua, teman-teman kantor, tetangga sebelah rumah kontrak, dan juga bahkan pada diriku sendiri. Berani-beraninya aku menafikan perasaan nyaman yang muncul. Menyangkal semua perbuatan baikmu yang tulus. Lancangnya aku membuang luahan perhatian dan membalasmu dengan diam.
Saat awal kita bertemu, aku ingat mata hangatmu sambil menyentuh pundakku, berkata ingin membantu menyembuhkan luka. Tak butuh waktu lama, tangan itu aku tepis. Tapi mohon jangan salahkan aku. Luka mengajariku banyak hal. Luka mengajarkanku untuk berhati-hati, waspada akan luka berikutnya. Manusia dengan nalurinya, tidak ingin tersengat lebah yang sama.
Pelajaran masa lalu memberiku lampu merah untuk tidak melangkah terlalu jauh. Tapi aku terlalu lama di dalam benteng tanpa perapian. Sepi dan diam dalam kedinginan. Lalu kau datang dengan seobor kehangatan. Aku mengira kau ingin membakar bentengku. Baru tiga hari ini aku terhenyak, tersadar jika kau hanya ingin menyalakan perapian. Menyeduh teh atau coklat panas untuk mencairkan suasana sekaligus hatiku yang beku.
Sepertinya sudah pukul tujuh lewat, aku tak tau pasti, jam tanganku ketinggalan di kamar. Anak-anak manusia mulai beraktifitas. Hari mulai terang. Di sebelahku juga sudah ada beberapa anak sekolah bergurau, menertawakan gigi temannya yang diselipi cabe sisa sarapan. Saling meledek sambil menunggu angkutan umum. Aku melepas jaketku, melipatnya dengan pelan. Matahari mulai menghangat.
Dari simpang jalan aku melihat siluetmu. Baju kaus putih itu. Celana selutut warna hitam. Sambil memanggul ransel besar kamu menyapa kenalanmu yang kebetulan lewat. Kamu berjalan pasti kearah halte. Jarak kita menipis sesuai langkahmu yang mendekat. Jantungku tak karuan. Bingung harus pasang ekspresi yang bagaimana.
Akhirnya kamu menyadari kehadiranku. Berjalan cepat dan berdiri persis disampingku. Heran kenapa kali ini aku di halte, tidak dengan mobil pribadi seperti biasanya. Menyapaku dengan riang, menyebut pelan namaku. Kamu masih tetap menanyakan kabarku yang biasanya aku jawab tanpa kata. Namun untuk kali ini, saat mata kita bertemu, mataku langsung berurai air mata.