Wajah Islam Vis a Vis Ujaran Kebencian

Ini bukan hanya soal peran pemerintah semata tetapi butuh bantuan dari masyarakat agar bisa meminimalisir kasus hate speech.

( ilustrasi : berita9.id)

( ilustrasi : berita9.id)

Indonesia dihuni dari berbagai latar belakang, dari suku, etnis, agama, dll. Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan 207 juta muslim. Wajah Muslim di Indonesia sangat beragam. Akhir maret 2016 Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei di 34 Provinsi dan membuktikan bahwa wajah Islam Indonesia, damai dan toleran.

Mengutip dari survei yang dilakukan Wahid Foundation dan LSI bahwasanya ; masyarakat menolak tindakan radikal atas nama agama (72%), warga negara bebas memeluk agama apapun yang sesuai dengan pikiran dan kesadaran tanpa ada paksaan dari pihak manapun (88,37%), negara dengan diwakili pemerintah harus melindungi setiap pemikiran masyarakat yang berkembang (65,35%), dukungan kalangan muslim Indonesia terhadap pancasila dan nilai demokrasi ternyata luar biasa tinggi (82,3%), menyatakan bahwa pancasila dan UUD 45 amat sesuai bagi Indonesia dan warga negara mendukung nilai demokrasi (67%).

Di era sekarang Indonesia menghadapi tantangan yang serius yaitu menguatnya potensi intoleransi antar agama. Jika dibiarkan, potensi ini akan berujung aksi memecah belah bangsa. Aksi radikalisme mencakup pemberian dana atau materi terhadap kelompok radikal dan melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain. Ini sangat potensial hasil proyeksi bukan angka actual

. Ada beberapa hal yang berpengaruh pada intoleransi dan radikalisme ; pemahaman literalis atas konsep jihad yang harus menggunakan kekerasan, materi ceramah yang berisikan permusuhan dan kebencian, dan kebencian terhadap satu kelompok meski se-agama.

Orang pada umumnya berpandangan bahwa pendidikan, pendapatan, dan wilayah tempat tinggal di desa atau kota tidak berhubungan langsung dengan adanya kasus intoleransi berupa ujaran kebencian (hate speech).

Tantangan terbesar pemerintah saat ini, penegakan hukum yang tegas terutama bagi pelaku hate speech dan memastikan kebijakan yang tidak diskriminatif dan memenuhi hak-hak warga negara yang dijamin dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekan

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, tanpa memandang agama, keyakinan, suku, ras, dan pilihan politiknya. Namun hal tersebut dibenturkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena dalam menyampaikan pendapat dibatasi dengan HAM orang lain maupun diri sendiri.

Peran Pemerintah dalam Menjamin Stabilitas Negara

Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh memberikan dukungan terhadap pada kelompok atau organisasi yang diketahui melakukan aksi-aksi intoleransi dan radikal. Harus bisa membedakan mana organisasi radikal yang bisa merusak keutuhan NKRI, dan harus lebih objektif dalam mensuport organisasi yang baru lahir.

Bukan hanya sekedar tidak mendukung organisasi yang radikal, yang paling penting adalah memantau organisasi yang sudah ada dan yang baru lahir agar tidak ke ranah radikal dan aksi intoleransi.

UU di Indonesia yang membahas tentang kebhinekaan, intoleransi, perdamaian, dan diskriminasi sering kita jumpai dalam UU yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Salah satu perlindungan pemerintah terhadap warganya dengan membuat aturan tentang tindakan intoleransi berupa ujaran kebencian yang termaktub dalam KUHP Pasal 156-157 serta penghapusan diskriminasi ras dan etnis pasal 16 UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial serta Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Itu salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap warga negaranya. Pemerintah harus lebih gencar terhadap pelanggaran hate speech, karena itu bisa menyebabkan kerusakan NKRI. Ini bukan hanya soal peran pemerintah semata tetapi butuh bantuan dari masyarakat agar bisa meminimalisir kasus hate speech.

DPR selaku pemangku kebijakan tertinggi dalam membuat atau merevisi suatu UU yang tidak sesuai di masyarakat. Oleh karenanya DPR harus menghapus atau merevisi UU yang bertentangan dengan kebhinekaan perdamaian dan non diskriminasi.

Organisasi Keagamaan sebagai Penopang

Organisasi sosial keagamaan moderat seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah (MD) harus memperkuat basis dan kapasitas anggotanya dengan pemahamaan kegamaan yang lebih kritis dan terbuka. Ini bisa terwujud dengan ditopang dari organisasi lain dan dari pemerintah.

Dengan bantuan organisasi keagamaan moderat akan membantu peran pemerintah dalam memberantas pelaku hate speech. Bukan soal membrantas para pelakunya tetapi yang terpenting adalah bisa mencegah aksi hate speech yang bisa memecah bangsa. Dalam hal ini bisa dalam bentuk ceramah maupun sosialisasi tentang bahayanya.

Setelah itu mengamalkan nilai agama yang positif dan damai, membuka ruang dialog, menggiatkan interaksi antar kelompok, memupuk saling pengertian dan pemahaman. Ketika semua itu terlaksana akan menjadikan wajah Islam Indonesia sangat damai dan toleran, dan menjadikan Indonesia sebagai rumah yang menyenangkan dengan dihuni dari berbagai macam elemen.

Mari kita warga Indonesia membangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi. Inilah esensi tugas kesejarahan yang tidak boleh kita lupakan sama sekali, karena Indonesia bukan milik sesuatu golongan, sesuatu agama, sesuatu suku, serta golongan adat istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. (SYAIFUR/LESEN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *