Kepa Dusun (Kadus), Desa Candi Garon, Eko Sugiyanto saat ditemui reporter justisia.com di peternakan ayam. Foto: Syaifur.

Justisia.com – Sabtu (4/11/) pagi tim justisia.com ditemani mas Ceprudin menuju ke Desa Candi Garon yang dikatakan sebagai desa paling toleran di Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang oleh satu penganut kepercayaan Sapta Darma, Mugio. Saya sempat terheran dan kurang percaya dengan apa yang dikatakan Gio, sapaan akrabnya.

“Disini di (dusun candi), masyarakatnya menerima baik bagi masyarakat yang menganut kepercayaan,” kata Titarno di rumah Tri Utami salah satu warga di dusun tersebut. Dia melanjutkan, saya, dan istri merupakan penganut kepercayaan Sapta Darma dan bagusnya diterima oleh masyarakat, meski kelompok kami disini bisa dibilang minoritas.

Lalu bagaimana mas awalnya kepercayaan Sapta Darma berkembang disini tanyaku kepadanya melanjutkan obrolan. “Kalau soal berkembangnya saya kurang tahu mas, pokoknya itu sudah ada sejak kakek saya, palingan ya sekitar tahun 1970-1975.an mas,” jawabnya.

“Kalau mengenai masyarakatnya yang mau menerima keberadaan penganut kepercayaan itu sejak kapan mas,” tanyaku dengan penuh semangat. “Kalau itu setelah rezim Pak Harto mas, namun bisa dibilang tahun 2000.an itulah menjadi titik awal masyarakat mulai menerima penganut kepercayaan Sapta Darma,” tuturnya.

Ibadahnya warga Sapta Darma itu bagaimana mas? Apakah seperti kami (Islam) dan kitab atau buku panutannya apa mas? tanyaku yang seolah tak ada hentinya. “Begini yo mas, kami (warga Sapta Darma) ibadahnya itu jam 7,9,11 dan 1 malam sebagai permohonan itu dilakukan setiap harinya, ibadahnya dianjurkan loeh mas. Kalau kitabnya itu Wewarah Kerokhanian Sapta Darma dan didalamnya itu ada tujuh amalan yang harus dilaksanakan oleh kami,” tegas pria berjenggot.

Membangun Rumah Ibadah Sendiri

Sambil terus mengobrol dengan Mugio, dkk, kami melanjutkan perjalanan ke Sanggar (tempat ibadanya penganut kepercayaan Sapta Darma). “Wah tempatnya bagus dan besar mas,” kagumku. “Xox bangunannya seperti masjid atau musholla ya mas,” tanyaku kepada Mugio.

Mugio menjelaskan Sanggar ini bisa dikatakan seperti tempat ibadahnya orang Islam, namun ada perbedaan. Kalau di tempat ibadahnya Islam itu ada kubah kalau di Sanggar adanya gambar semar yang lagi menunjuk.

“Bangunan ini merupakan hasil kerja keras warga Sapta Darma, disini kami iuran uang dan iuran tenaga dalam membangun Sanggar. Pembuatannya ini ngentekke wektu rong tahunan (menghabiskan waktu 2 tahun) mas, lha wong seng kerjo wong kene dewe ntok, yo jelas suwi toeh yoe (lah yang mengerjakan aja dari warga Sapta Darma sendiri, makanya lama),” paparnya kepadaku. “Kemarin dapat sumbangan dari parpol yaitu dari PDI-P untuk memperbaiki kamar mandi di Sanggar,” tambahnya.

“Kalau bangunan depannya ini baru 2 bulanan mas, dan didepan sanggar juga ada labu siam yang ditanam oleh warga Sapta Darma,” ungkapnya.

Agama dan Kepercayaan di Dusun Candi

“Di Desa Candi Garon warganya kurang lebih 3000.an mas dan didalamnya ada Islam, Budha, Kristen, Sapta Darma, dan Katholik,” tutur Kepala Dusun Candi, Eko Sugiyanto kepada reporter justisia.com saat ditemui di peternakan ayam.

Dia menambahkan di Dusun Candi ada 230 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah penduduk yang beragama Islam sekitar 100 KK lebih, menganut agama Budha sebanyak 60 KK, menganut Kepercayaan Sapta Darma 35 KK, dan menganut agama Kristen 20 KK.

“Di Dusun Candi, Alhamdulillah tidak ada diskriminasi antar penganut kepercayaan dan keagamaan, palingan ada itu dalam penganut kepercayaan Ngestika Sampurnan yang sanggarnya dirobohkan karena tidak ada izin, tutur warga Sapta Darma,” Titarno. (Red.Syaifur/Ed.Adib)